Mualaf Hannah dan Pahit Getir Melawan Islamofobia

Hannah Keeling paham seperti apa rasisme dan Islamofobia itu.

Foto : MgRol112
Ilustrasi Islamofobia
Rep: Umar Mukhtar Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, BIRMINGHAM -- Hannah Keeling paham seperti apa rasisme dan Islamofobia itu. Perempuan berusia 23 tahun ini tumbuh besar di Tamworth, Australia, dan telah menyaksikan penghinaan rasial sepanjang hidupnya dan xenofobia sejak sekolah dasar dari orang-orang sekitar.

Baca Juga

"Tamworth tidak sebaik yang seharusnya. Menurutku tidak ada orang yang boleh memakai Niqab di Tamworth, tetapi menurutku tidak ada orang yang mau memakainya," katanya, seperti dilansir dari laman Birmingham Mail, Rabu (21/4).

Kemungkinan besar yang memakai niqab akan diteriaki oleh sebuah mobil. Seseorang dapat merobeknya dan berteriak teroris. Di sana tidak ada masjid atau daging halal. Setiap tempat yang memiliki daging halal yang dimasak di restoran mereka tidak akan mengiklankannya.

"Ketika saya tumbuh dewasa, ada dua anak kulit hitam dan dua anak Asia di sekolah SMA saya. Saya memiliki seorang teman yang mengatakan bahwa ayah mereka adalah bagian dari EDL (gerakan anti-Muslim di Inggris). Tetapi saya tidak mendengarkan mereka karena Muslim bisa dari kalangan mana saja. Itu agama damai," ungkapnya.

Hannah resmi memeluk agama Islam pada Januari 2019 lalu. Sejak itulah dia menghadapi berbagai tanggapan berisi kebencian, dan terpaksa merahasiakan keyakinannya di media sosialnya sendiri.

"Saya hanya tidak memposting dengan hijab saya karena saya tahu saya akan menerima kebencian," katanya.

 

 

Hannah saat ini tinggal di Hall Green, Birmingham. Dia mengatakan, kehidupannya dari kecil hingga dewasa dirusak oleh ketidakpahaman tentang Islam dan penghinaan rasial. Sebagai mualaf, ia juga ingin menutup berbagai pandangan keliru soal Islam.

Karena itu, untuk meningkatkan pemahaman di kalangan masyarakat Barat, Hannah bergabung dengan Ration Challenge. Dia mengirim bantuan untuk migran Suriah yang tinggal di kamp pengungsi di Yordania. Bahkan pernah selama sepekan ia makan seperti migran Suriah di kamp pengungsi Yordania untuk menunjukkan keseteraan antarsesama.

Selama tujuh hari itu Hannah harus memilih beras, minyak goreng, buncis, lentil, tepung dan tahu. "Hari pertama saya makan satu kali yaitu nasi, kacang-kacangan dan saya tambahkan sedikit bumbu. Makanannya tidak terlalu buruk, itu bukan sesuatu yang akan saya pilih untuk dimakan secara tiba-tiba. Tubuh saya masih menyesuaikan sekarang dengan berbagai cara dan itu hanya sepekan. Saya sering sakit kepala setiap hari. Saya juga mengumpulkan 166 poundsterling untuk memberi makan seorang pengungsi selama setahun penuh. Ini membawa kesadaran tentang penderitaan pengungsi, dan bukan hanya soal uang," ujarnya.

 

Hannah sering berbicara dengan seorang wanita dengan niqab di luar tempat kerjanya dan membahas soal rumah. Wanita itu berkata, "itulah mengapa kami tidak memiliki rumah, orang-orang kami berada di jalanan," katanya.

 
Berita Terpopuler