Ketakutan Perempuan Afghanistan Setelah Pasukan Asing Pergi

Perempuan Afghanistan hadapi dilema setelah ditinggal pergi pasukan asing

google.com
Wanita Afgahnistan
Rep: ferginadirabach Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, KABUL -- Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden yang berencana menarik semua pasukan AS dari Afghanistan pada 11 September 2021, menuai kontroversi dan kekhawatiran bagi wanita Afghanistan.

Sebagian dari mereka, terutama yang selama ini tinggal di kota dan hidup di bawah perlindungan pasukan AS dan sekutunya, khawatir bila nanti Mujahidin berkuasa maka situasinya akan kembali kehidupan ketika kelompok ini berkuasa, yakni penghujung awal tahun 2000.

Dan kekhawatiran ini menjadi makanan empuk media barat. Media Inggris 'The Guardian' menyebut banyak perempuan di Afghanistan khawatir dengan penarikan tersebut akan menimbulkan ketidakamanan bagi kehidupan mereka dari Taliban.

"Orang Amerika akan pergi," ujar seorang mahasiswa Universitas Herat, Basireh Heydari seperti dikutip laman The Guardian, Kamis (15/4). "Kami memiliki hari-hari yang mengerikan di depan dengan Taliban. Saya khawatir mereka tidak akan membiarkan saya meninggalkan rumah, apalagi apa yang saya lakukan sekarang," ujarnya menambahkan.

Para petinggi keamanan AS berkonsultasi dengan Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Rabu (14/4). Sekutu NATO lain seperti Jerman pun telah mengumumkan akan mengikuti jejak AS dan keluar dari Afghanistan.

Namun rakyat Afghanistan khawatir akan intensifikasi pertempuran antara pemerintah nasional dan Taliban. Kekerasan terhadap warga sipil terutama wanita dan anak-anak memang telah melonjak selama setahun terakhir.

Kendali Taliban atas negara tersebut lebih besar daripada titik manapun dalam dua dekade terakhir. Manfaat dari kehadiran militer asing yang ada di sana pun dipertanyakan.

 

Pada Rabu, Heydari dan teman-temannya mencoba menyerap berita penarikan pasukan asing tersebut saat mereka duduk di becak di dekat gerbang universitas.
 
"Saya hanya punya satu keinginan, dan itu untuk menyelesaikan studi saya dan tentu saja pekerjaan, tetapi dengan kedatangan Taliban, saya tidak berpikir saya akan mencapainya," katanya.

Tidak ada jaminan bahwa kelompok Islamis akan mengambil alih kekuasaan, dan mereka telah memberi isyarat yang mungkin secara oportunistik, bahwa pemerintahan masa depan mereka akan lebih fleksibel dalam masalah sekolah perempuan.

 
Jika bukan perubahan dari para fundamentalis, Heydari berharap setidaknya ada kompromi.

"Jika mereka memiliki masalah dengan pendidikan bersama, saya siap untuk belajar di kelas khusus perempuan," katanya.

Mahasiswa ekonomi Salma Ehrari merasa ragu. Dia menilai Taliban membodohi semua orang dan tidak akan berubah sampai kapanpun.

 
"Mereka menggunakan teknologi dan ada di Twitter, tetapi mereka memiliki pemikiran yang sama seperti 20 tahun lalu. Saya akan kehilangan pendidikan saya dan tentu saja orang Amerika bertanggung jawab untuk itu, bukan Taliban, ini hanya sifat Taliban," kata dia.

Beberapa warga sipil perempuan di provinsi, di mana Taliban menguasai beberapa distrik, mengatakan keamanan yang memburuk sudah mengarah pada pembatasan kebebasan mereka.

 
"Gerai saya membatasi pergerakan kolega saya karena masalah keamanan, dan ayah saya baru-baru ini meminta saya berhenti bekerja untuk sementara waktu," kata Atifa Alizadeh, seorang reporter dan bagian dari generasi wanita Afghanistan yang telah bersekolah dan mendapatkan pekerjaan sejak jatuhnya Taliban pada 2001.

Setidaknya delapan jurnalis telah tewas di negara itu selama enam bulan terakhir. Kekerasan terjadi sebagai bagian dari gelombang serangan terhadap pekerja media, aktivis, dan tokoh masyarakat sipil lainnya.

Seorang aktivis sosial Basireh Safa Theri memulai sekolah anak perempuan setelah invasi yang dipimpin AS. Dia mengatakan, masih memantau dengan cermat negosiasi yang terhenti antara pemerintah nasional dan Taliban tentang konsekuensi yang bakal terjadi setelah pasukan asing pergi.

"Mereka bernegosiasi setiap hari tapi sayangnya tidak ada kabar tentang pendidikan anak perempuan, mereka hanya berbicara tentang kekuasaan," katanya.

Sementara itu, para gadis di sekolahnya sudah mulai giat belajar. "Mereka merasa berada di hari-hari terakhir sekolah mereka," katanya.

 
"Para siswa datang ke kantor saya dan bertanya, 'Apakah Taliban akan datang? Bisakah kita tetap bersekolah atau tidak? Kami ingin menggunakan detik-detik terakhir."
 
Seperti diketahui, setelah 20 tahun bercokokl di Afganisthan, pasukan AS dan sekutunya memutuskan akan segera menarik pasukan dari negara ini.
 
Selama ini mereka ternyata tak bisa menguasai Afghanistan secara penuh. Mereka hanya menguasai kota yang dijaga sangat ketat. Sementara wilayah di luar itu, misalnya pedesaan tak bisa mereka kendalikan. Pasukan Taliban menguasai daerah itu secara penuh.

sumber:

https://www.theguardian.com/world/2021/apr/14/afghan-women-fear-the-return-of-the-taliban

 

 

 
Berita Terpopuler