Empat Kondisi Penyebab Batalnya Puasa

Puasa artinya menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa.

Pixabay
Empat Kondisi Penyebab Batalnya Puasa. Ilustrasi Berpuasa
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Puasa artinya menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa. Namun, tidak sedikit orang berpuasa kemudian batal puasanya karena sebab tertentu.

Baca Juga

Isnan Ansory dalam bukunya Pembatal Puasa Ramadhan menuliskan, batalnya puasa seseorang bisa karena sebab lupa, disengaja, kesalahan, atau karena ada udzur yang membolehkannya membatalkan puasa. Dalam bukunya tersebut, Isnan merangkum ada empat kasus yang berbeda dalam hal membatalkan puasa.

Melakukan hal yang membatalkan puasa karena lupa

Seseorang yang sedang berpuasa, tetapi kemudian ia lupa sehingga memasukkan makanan atau menenggak air, maka lupa itu tidak membatalkan puasanya, pelakunya dimaafkan, bahkan menjadi rezeki tersendiri dari Allah SWT.

Sebagaimana sabda Rasulullah, dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW berkata, "Siapa saja yang makan karena lupa, padahal ia sedang berpuasa, maka hendaknya ia melanjutkan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum," (HR. Bukhari Muslim)

 

 

 

Melakukan hal yang membatalkan puasa karena salah

Kasus kedua adalah orang puasa dan melakukan hal-hal yang lazimnya membatalkan puasa, namun penyebabnya bukan karena lupa, tetapi karena dia salah dalam mengira waktu. Seperti seseorang yang mengira matahari sudah terbenam, lalu dia makan atau minum, padahal matahari belum terbenam. Atau seseorang yang masih saja makan dan minum karena menyangka hari masih malam, padahal fajar sudah keluar. 

Hanya saja, apakah puasanya batal atau tidak, para ulama berbeda pendapat. Pertama, mayoritas ulama atau pendapat ulama empat mazhab sepakat puasanya orang tersebut adalah batal dan karenanya puasa tersebut harus diqadha’ di hari yang lain. 

Namun bukan berarti pada siang hari, ia bebas dan tidak berpuasa. Ulama sepakat seseorang itu wajib menahan dari makan dan minum hingga tiba waktu berbuka, meskipun puasanya hari itu tidak dihitung sebagai ibadah.

Kedua, sebagian ulama seperti Ishaq bin Rahawaih, satu riwayat dari imam Ahmad, Mazhab Zhahiri, al-Muzani dari Syafi’iyyah, dan Ibnu Taimiyyah berpendapat puasanya tidaklah batal. Mereka berpendapat dengan dalil-dalil yang menilai sah ibadah karena sebab kekeliruan. 

 

"Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu," (QS. Al-Ahzab: 5)

 

Membatalkan puasa secara sengaja karena ada udzur syar’i

Kasus yang ketiga adalah seseorang yang secara sengaja melakukan hal-hal yang membatalkan puasanya, namun disebabkan adanya udzur syar’i. Misalnya, seorang musafir dan seseorang yang menderita suatu penyakit yang dikhawatirkan bila tetap berpuasa maka penyakitnya akan bertambah parah. Keduanya tetap harus mengqadha puasa di lain hari.

Membatalkan secara sengaja tanpa udzur syari

Kasus yang keempat adalah seseorang yang secara sengaja berniat untuk membatalkan puasanya, tanpa adanya udzur yang syar’i, maka puasanya bukan hanya batal, tetapi juga ia menanggung dosa dan wajib mengqadhanya. Namun apakah wajib pula membayar kaffarat, para ulama berbeda pendapat.

 

Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki mewajibkan kaffarat. Sedangkan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali tidak mewajibkannya.

 
Berita Terpopuler