Tokoh Perubahan Republika: Junaedi Akim, Sang Penggali Kubur

Junaedi menggali makam 15 jam sehari dan menguburkan 40-50 mayat di puncak pandemi

Republika/Putra M. Akbar
Petugas gali kubur TPU Pondok Rangon Junaedi berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika di Jakarta.
Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Febryan A

Dua puluh tiga tahun lalu, Junaedi Bin Akim memulai pekerjaannya sebagai penggali makam di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Pria kelahiran Karawang 43 tahun lalu itu tak membayangkan bakal berada di pusaran salah satu wabah paling mematikan bagi umat manusia.

Pada Maret 2020 lalu, ia pertama kali mendapat kabar bahwa lokasinya bekerja bakal dipakai sebagai salah satu lokasi pemakaman khusus korban meninggal terkait Covid-19. Meski keluarga waswas dan sebagian tetangga sempat mencibir, Junaedi dan rekan-rekan di Grup D petugas pemakaman tak mundur. Risiko tertular ia abaikan guna menjalankan tugasnya meski sempat harus bermodal jas hujan pada masa-masa awal pandemi.

Biasanya pulang sore hari, pada masa pandemi ia harus bekerja dari pukul 07.00 hingga pukul 22.00. Istirahat sebentar, kemudian memulai kembali. Sebanyak 40 sampai 50 jenazah ia kuburkan sehari pada masa-masa puncak pandemi. Junaedi mengharapkan, yang ia lakukan dapat membantu keluarga korban Covid-19 yang berduka.

Republika menemui Junaedi pada Kamis (22/3) lalu, setahun lebih 10 hari saja sejak ia pertama kali diserahi tugas menggali kuburan khusus Covid-19. Berikut petikan wawancaranya.

Bisa ceritakan secara ringkas bagaimana awalnya Pak Junaedi jadi penggali kubur?

Awal mula saya masuk bekerja di TPU Pondok Ranggon itu tahun 1997. Tepatnya pada April saya masuk ke sini sampai sekarang. Berangkat dari kebanyakan para sesepuh yang ada di wilayah saya (Karawang), khususnya terkait dalam pekerjaan di pemakaman. Akhirnya, saya diarahkan sama keluarga, sama orang tua agar bekerja di permakaman.

Selama 20 tahun lebih bekerja, bagaimana beban kerja sehari-hari biasanya?

Sebelum pandemi ini ada, rata-rata yang kami makamkan di TPU Pondok Ranggon ini minimal 10 dalam satu hari. Maksimal 23 dalam satu hari. Jam kerja dari jam 08.00 normalnya sampai selesai, bisa sore atau lewat Maghrib.

Petugas gali kubur TPU Pondok Rangon Junaedi berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Bagaimana bayaran pekerjaan tersebut?

Beda dengan sebelum pandemi. Sekarang lebih diperhatikan, lebih terjamin karena dibayar dengan upah sesuai UMP. Sebelum pandemi upahnya nggak UMP. Kami itu di sini sebelum jadi PJLP (penyedia jasa lainnya orang perseorangan) pada 2014 sebagian besar pendapatan kami bersandar ke keluarga. Dalam artian ke ahli waris yang dimakamkan. Rumputnya diminta dirawat. Hal-hal seperti itu yang jadi pendapatan kami.

Kapan pertama kali menerima kabar bakal jadi penggali kubur pasien Covid-19?

Kalau tidak salah dua hari sebelum pelaksanaan saya dikabari. Semuanya serbamendadak. Semuanya serba-tidak dipersiapkan. Ketika dapat kabar, dua hari setelah itu langsung action. Kalau tidak salah tanggal 10 Maret (2020), langsung kerja tanggal 12. Pimpinan yang mengabarkan bahwa TPU Pondok Ranggon ditunjuk untuk menangani pemakaman protap Covid-19. Mendapat kabar itu saya harus mempersiapkan diri secara fisik dan mental. Mental khususnya. Hahaha.

Apa perasaan Pak Junaedi mendapat kabar menjadi petugas gali makam Covid-19?

Perasaan khawatir itu ada, rasa cemas. Ada rasa takut, rasa khawatir, kemudian ada rasa kasihan melihat di luaran sana banyak penolakan. Jadi berusaha menyiapkan diri.

Petugas gali kubur TPU Pondok Rangon Junaedi berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Bagaimana tanggapan keluarga?

Langsung malam itu saya kabarkan. Keluarga khawatir, cemas, itu pasti, takut. Malah kalau seandainya boleh memilih, keluarga menyarankan, “Mbok ya jangan ikut.” Hahaha.... saking khawatirnya. Tapi, ya coba saya kasih pemahaman bahwa ini bagian dari pekerjaan saya yang harus saya jalankan. Terlebih, kalau saya lihat ada sisi-sisi nilai-nilai kemanusiaan.

 

Bagaimana tanggapan tetangga?

Saya tidak menyalahkan mereka karena ketakutan-ketakutan itu wajar saja. Cuma sedikit miris aja. Saja jadikan hikmah saja dalam konteks untuk lebih berhati-hati. Seiring berjalannya waktu. 

Alhamdulillah, mereka berusaha memahami apa yang saya kerjakan. Sama seperti keluarga. Kemudian juga menyampaikan pesan agar berhati- hati dalam bekerja agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.

Bagaimana kemudian beban kerja saat pandemi?

Pada awal menangani jenazah protap Covid itu saya bekerja lebih awal. Jam 07.00 sudah langsung bekerja. Karena apa? Karena jam 08.00 sudah ada yang datang untuk dimakamkan. Satu hari itu ada 40 sampai 47 yang dimakamkan. Itu bulan-bulan pertama rata-rata 40 jenazah sehari.

Paling malam selesai jam 22.00. Ketika sudah tidak ada lagi yang akan dimakamkan di sini (baru istirahat). Dalam hal ini tergantung palang hitam (petugas antar-jemput jenazah di bawah Pemprov DKI). Kalau memang sudah tidak ada, baru bisa pulang.

Dengan jadwal seperti itu, bagaimana istirahatnya?

Istirahatnya ya pintar-pintar aja ngatur waktu ngatur tenaga. Karena nyaris tidak ada istirahat. Karena di samping harus menyiapkan, menurunkan, memakamkan, kembali menyiapkan, kembali menurunkan dan memakamkan. Jadi, seperti itu prosesnya. Seminggu tujuh hari penuh. Lalu enam hari melakukan pembabatan (rumput). Jadi, ketika mengurus jenazah Covid-19 itu, saya cuma libur dua hari selama sebulan.

Petugas gali kubur TPU Pondok Rangon Junaedi berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Bagaimana dengan ketersediaan APD saat itu?

Karena serbamendadak, di awal itu kami gunakan jas hujan plastik yang lumayan gerah, lebih gerah dari hazmat. Alhamdulillah, selanjutnya APD dan vitamin diberikan cukup kepada kami. Alhamdulillah, dinikmati saja. Cukup membantu juga suplemen yang diberikan.

Sukar tidak menggali kubur sembari memakai APD lengkap? 

Memakai APD itu kan sebagian. Untuk menghemat hazmatnya juga disiapkan enam orang dalam satu hari. Bagian menurunkan jenazah dari ambulans ke liang lahat, merekalah yang difasilitasi hazmat. Yang lainnya tidak pakai hazmat. Kalau dipaksa pakai APD seperti itu, malah kerepotan

Mengapa?

Karena, bisa jadi oksigen kita yang kerja itu malah terkuras karena gerah. Secara teori memang berbahaya, tapi saat pelaksanaan kami tersiksa memakai hazmat. Jangankan pakai hazmat, pakai baju biasa //aja// keringat ngucur. Apalagi pakai itu, bisa-bisa pingsan.

Jadi, bukannya sok berani. Kadang kala ada pandangan dari masyarakat, “Kok mereka yang gali tidak pakai hazmat? Berani-berani //amat//”. Padahal, bukan seperti itu. Kalau kami dipaksa pakai hazmat, itu kami yang pingsan. Saya pernah nyoba dipaksakan, tapi tidak kuat.

Ada teman-teman sepekerjaan kena Covid-19 atau Pak Junaedi pernah bergejala?

Alhamdulillah, sampai sekarang mungkin berkat doa keluarga kami tidak ada yang kena.

Petugas gali kubur TPU Pondok Rangon Junaedi berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Kapan puncak beban kerja tersebut?

Paling banyak bulan September. Jumlahnya mencapai 47, tapi kalau jam kerja malah menurun bisa sampai jam 19.00. Kemungkinan (sudah ada) kesiapan di sana. Di dinas, dalam hal ini Palang Hitam, kemungkinan pengirimannya dari awal dari pagi.

 

Petugas gali kubur TPU Pondok Rangon Junaedi berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Apa karena Anda sudah lama menggali juga?

Hahaha .... Kemungkinan di awal belum siap. Baik kami di sini dan Palang Hitam. Makanya wajar kalau ada keterlambatan bawa jenazah ke permakaman, sampainya malam.

Ada insentif mengurus jenazah Covid-19?

Ada, cuma tidak enak saya menyebutkan, tapi ada lah, cukup membantu.

Petugas gali kubur TPU Pondok Rangon Junaedi berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Bisa digambarkan lekas penuhnya permakaman di Pondok Ranggon pada masa pandemi ini?

Untuk pemakaian lahan normal saja, bukan protap Covid. Itu satu blad dengan 220 (makam) menghabiskan lahan paling lambat dua bulan. Untuk pemakaman Covid-19 lebih cepat. Satu blad itu habis satu bulan. Kalau dirata-rata 40 (makam) saja dalam sehari, satu bulan itu sudah berapa angkanya?

Sejak awal pandemi, ada penambahan lahan di (blad) 91, 92, 93. Berarti sudah ada delapan kali buka petak makam. Itu semua sudah habis sampai sekarang sampai pinggir area Pondok Ranggon.

Sekarang sudah tidak ada permakaman baru protap Covid-19 karena korban sudah tidak dirujuk ke sini. Masih bisa protap Covid-19, tapi ditumpang dengan keluarga yang sudah ada. Kalau tumpang, ada lima jenazah per hari.

Apa yang Pak Junaedi rasakan ketika melihat jenazah Covid-19 terus berdatangan?

Merasa sedih ketika banyak korban jiwa melayang karena Covid-19. Merasa sedih juga melihat jenazah yang dibawa Palang Hitam tanpa ada yang mengantar ke permakaman. Orang-orang yang dikasihi, dicintai, tidak bisa hadir saat terakhir beliau meninggal. Itu pun mereka (pihak keluarga) dengan sangat terpaksa tentunya karena mereka juga harus jalani karantina.

Ada keluarga jenazah yang tak terima dengan prosedur pemakaman ini?

Saya menyikapinya wajar sebagai bentuk tidak terima dari keluarga melihat kenyataan bahwa keluarga yang disayangi, dikasihi, meninggal kemudian masuk protap Covid, tidak seperti pemakaman umumnya. Kalau Muslim (semestinya) pakai kain kafan terus keluarga bisa memandikan, keluarga bisa menurunkan ke peristirahatan terakhir. Ketika terpapar masuk protap Covid itu, mereka tidak bisa melakukan hal itu.

Petugas gali kubur TPU Pondok Rangon Junaedi berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Apa saja tindakan keluarga ke penggali?

Emosi yang tidak terkontrol akhirnya membabi buta. Namun, menyikapi hal seperti itu, kami tidak meladeni emosi dia. Karena, kami di sini hanya melayani proses pemakaman, terlepas apa pun ceritanya kami tidak tahu hal itu, yang kami tahu ada jenazah yang datang kami makamkan.

Ada yang menolak dimakamkan dengan protap Covid. Ada juga yang marah karena tidak diizinkan mendekat. Namun, dalam hal ini memiliki toleransi. Terlepas benar atau tidak kami kasih toleransi, misalnya setelah jenazah diturunkan, salah satu perwakilan keluarga dipersilakan jika mau mengazankan. Itulah salah satu bentuk toleransi kami. Apakah itu berbenturan dengan prosedur? Tapi, itulah bentuk toleransi kami.

Dengan segala beban kerja, kemudian amarah keluarga dan risiko penularan, apa yang membuat Pak Junaedi bertahan?

Ini berangkat dari banyak kejadian penolakan di luar sana untuk pemakaman jenazah Covid-19. Berangkat dari hal itu secara pribadi, pada prinsipnya, nawaitu-nya ibadah. Nggak hanya bekerja untuk hidup, tapi juga ada nilai kebanggan tersendiri. 

Setelah menjalankan pekerjaan ini, permintaan pimpinan meminta saya terlibat menangani pemakaman Covid-19, ada kebanggaan akhirnya saya ditunjuk menangani pemakaman protap Covid. Mudah-mudahan, apa yang saya kerjakan itu bermanfaat. Itu yang membuat saya bertahan.

Pak Juanedi dan kawan-kawan menyadari peran sebagai tulang punggung penanganan pandemi?

Tidak. Di sini kami bekerja melayani. Terlepas ada penilaian seperti itu, saya tidak terpikir.

Bagaimana tanggapan bahwa pekerjaan Pak Junaedi diganjar Tokoh Perubahan Republika?

Hahaha .... Saya tidak terpikirkan dan tidak terbayangkan juga ada anugerah seperti itu. Selain rasa syukur, rasa terima kasih pada penilaian bentuk apresiasi buat kami, tapi sejujurnya kami tidak berharap lebih dalam hal ini. Kami hanya bekerja dan melayani.

Petugas gali kubur TPU Pondok Rangon Junaedi berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Apa pesan Pak Junaedi buat warga Indonesia?

Pesan untuk masyarakat tentu seperti yang disampaikan pemerintah agar lebih hati-hati, lebih waspada, baik keluarga atau secara pribadi. Tentunya menjalankan yang disampaikan pemerintah yang 3M itu (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak).

Ketika kita melalaikan itu, kalau nanti berimbas ke keluarga yang disayangi, kan sangat disayangkan. Jangan sampai ketidaktaatan soal apa yang disampaikan Departemen Kesehatan merenggut orang terkasih.

ed: fitriyan zamzami

 

 
Berita Terpopuler