Tahun Duka Cita Bagi Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad kehilangan pamannya dan istrinya Khadijah di tahun yang sama.

Pixabay
Tahun Duka Cita Bagi Nabi Muhammad SAW
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yunahar Ilyas

Baca Juga

Pascapemboikotan, orang-orang kafir Quraisy tidak berhenti menekan Nabi dan orang-orang yang beriman, mereka tetap saja menghalang-halangi kaum Muslimin dari jalan Allah. Sementara itu, fisik Abu Thalib yang sudah berumur 80 tahun semakin lemah, apalagi setelah mengalami penderitaan hampir tiga tahun selama masa pemboikotan.

Orang-orang kafir Qurasy khawatir, urusan dengan Muhammad belum selesai sementara Abu Thalib meninggal. Mereka tidak ingin bangsa Arab menilai mereka baru berani dengan Muhammad setelah pamannya meninggal dunia.

Oleh sebab itu mereka sepakat membicarakannya kembali dengan Abu Thalib. Di samping itu mereka juga ingin memperbaiki hubungan dengan Abu Thalib yang sudah uzur dan semakin lemah setelah pemboikotan.

Mereka tidak ingin Bangsa Arab mengatakan Abu Thalib meninggal karena penderitaan setelah diboikot oleh kaumnya sendiri. Lima orang tokoh Quraisy ditunjuk menemui Abu Thalib.

Mereka adalah Utbah ibn Rabi’ah, Syaibah ibn Rabi’ah, Abu Jahal ibn Hisyam, Umayyah ibn Khalaf dan Abu Sufyan ibn Harb. Mereka berlima didampingi oleh rombongan besar, total semua termasuk lima tokoh tersebut berjumlah 25 orang.

 

Mereka meminta Abu Thalib memanggil Muhammad. Intinya mereka akan memberikan apa yang diminta Muhammad, asal Muhammad berhenti mengganggu mereka. “Muhammad harus membiarkan kami dengan agama kami, kami pun akan membiarkan dia dengan agamanya. “

Setelah mendengarkan tawaran mereka, Nabi menjawab: ”Bagaimana pendapat kalian kalau kusampaikan satu kalimat saja, yang kalau kalian ucapkan, kalian akan merajai bangsa Arab dan bangsa asing akan tunduk kepada kalian.” Mendengar ucapan Nabi itu Abu Jahal dengan tidak sabar segera menukas: “Satu kalimat apa yang engkau maksud? Kami bisa memberimu sepuluh kali lipat.”

Dengan tegas Nabi berkata: “Kalian harus mengucapkan La ilaha illallah dan meninggalkan apa yang kalian sembah selain Dia.” Mendengar jawaban itu, mereka bertepuk tangan lalu berkata:”Hai Muhammad ,apakah engkau ingin tuhan-tuhan itu menjadi satu Tuhan saja? Aneh sekali agamamu ini”.

Salah seorang di antara tokoh Qurasy itu berkata: “Demi Allah orang ini tidak mau memberi sedikitpun dari yang kalian inginkan. Pergilah kalian dan pertahankan agama leluhur kalian sampai Allah memberikan keputusan antara kalian dan dirinya.” Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing.

 

Allah berfirman tentang mereka ini dalam Surat Shad:

صٓۚ وَٱلۡقُرۡءَانِ ذِي ٱلذِّكۡر(1) ِ بَلِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فِي عِزَّةٖ وَشِقَاقٖ(2)  كَمۡ أَهۡلَكۡنَا مِن قَبۡلِهِم مِّن قَرۡنٖ فَنَادَواْ وَّلَاتَ حِينَ مَنَاصٖ(3) وَعَجِبُوٓاْ أَن جَآءَهُم مُّنذِرٞ مِّنۡهُمۡۖ وَقَالَ ٱلۡكَٰفِرُونَ هَٰذَا سَٰحِرٞ كَذَّابٌ(5)  أَجَعَلَ ٱلۡأٓلِهَةَ إِلَٰهٗا وَٰحِدًاۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيۡءٌ عُجَابٞ وَٱنطَلَقَ ٱلۡمَلَأُ مِنۡهُمۡ أَنِ ٱمۡشُواْ وَٱصۡبِرُواْ عَلَىٰٓ ءَالِهَتِكُمۡۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيۡءٞ يُرَادُ(6)  مَا سَمِعۡنَا بِهَٰذَا فِي ٱلۡمِلَّةِ ٱلۡأٓخِرَةِ إِنۡ هَٰذَآ إِلَّا ٱخۡتِلَٰقٌ(7)

“Shaad, demi Al Quran yang mempunyai keagungan. Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, lalu mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”.

Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.  Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan, (Q.S. Shad 38: 1-7)

 

Tahun Duka Cita

Enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan, Abu Thalib meninggal dunia. Musibah yang sangat menyedihkan Nabi ini terjadi pada bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian.

Yang menyebabkan Nabi Muhammad SAW sangat berduka dengan kematian paman beliau itu adalah kenyataan sampai akhir hayatnya Abu Thalib tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadah. Menjelang ajalnya, Nabi masih mencoba mengajak Abu Thalib, “Wahai Pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, dengan satu kalimat itu saya bisa membela paman di hadapan Allah kelak.”

Sayangnya, Abu Jahal dan Abdullah ibn Abu Umayyah yang juga ada di sisi Abu Thalib langsung menukas: ”Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agama Abdul Muthalib?”

Mereka berdua terus-menerus membicarakan hal itu sampai akhirnya Abu Thalib menghembuskan nafasnya yang terakhir tanpa mengucapkan kalimat yang diminta Nabi. Nabi kemudian berkata, “Aku akan memintakan ampun untukmu selama tidak dilarang,”

Sebagai jawaban atas keinginan Nabi itu Allah SWT menurunkan firman-Nya:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن يَسۡتَغۡفِرُواْ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓاْ أُوْلِي قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (Q.A. At-Taubah 113)

 

Nabi sangat sedih sekali, sepertinya sangat menyesali kenapa paman yang beliau kasihi dan telah melindungi beliau sepanjang hayatnya, bahkan bersedia ikut menderita bersama dengan Nabi dan orang-orang beriman lainnya, kok sampai akhir hayatnya tidak mau beriman. Tentang kegundahan Nabi itu Allah SWT menurunkan firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Q, S, Al-Qashash 28: 56)

Kisah kematian Abu Thalib ini ditulis oleh Ibn Katsir dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah (4: 404-407). Diriwayatkan juga dalam Shahih al-Bukhari dari Abbas ibn Abdul Muthalib, dia berkata kepada Nabi SAW, “Tidakkah engkau memedulikan pamanmu? Bukankah dia yang melindungimu dan marah demi membela dirimu?” Nabi menjawab, “Dia berada di neraka yang dangkal. Kalaulah tidak karena aku, tentu dia di neraka yang paling bawah.”

Siapa pun, termasuk Nabi hanya bisa berusaha, menampaikan risalah Islam dan mengajak orang menerimanya, tapi tidak bisa menjamin seseorang dapat menerimanya. Menjadikan seseorang beriman atau tidak adalah otoritas mutlak Allah SWT.

 

Nabi Nuh AS tidak bisa menjadikan istri dan anaknya menjadi mukmin. Nabi Ibrahim AS tidak bisa menjadikan bapaknya Azar menjadi seorang mukmin. Luth AS tidak bisa menjadikan istrinya seorang mukmin.

Demikian juga Nabi Muhammad tidak bisa menjadikan beriman paman yang sangat dikasihi dan melindungi beliau sepanjang hayatnya. Itulah rahasia Allah SWT.

Tiga hari setelah kematian Abu Thalib, Nabi kembali berduka, kali ini dengan meninggalnya istri beliau Khadijah RA. Khadijah meninggal dalam umur 65 tahun, setelah 25 tahun mendampingi Nabi dengan penuh setia dan pengorbanan.

Tentang peran Khadijah Nabi pernah bersabda: “ Dia beriman kepadaku saat semua orang mengingkariku. Dia membenarkanku saat semua orang mendustakanku. Dia mendukungku dengan hartanya selagi semua orang menghalangiku. Allah menganugerahiku anak darinya.” Tahun kematian Abu Thalib dan Khadijah ini disebut sebagai tahun duka cita atau ‘amul hazn. 

-----

Sumber: Majalah SM Edisi 05 Tahun 2019

 

https://suaramuhammadiyah.id/2021/03/12/nabi-muhammad-saw-18-tahun-duka-cita/

 
Berita Terpopuler