Dipaksa Nikah Usia 13 Tahun, Rasminah: Lawan Perkawinan Anak

Di pernikahan yang keempat Rasminah baru bisa merasakan kebahagiaan berumah tangga.

Republika/Lilis Sri Handayani
Rasminah (34), penyintas perkawinan anak asal Kabupaten Indramayu yang dipaksa menikah saat usia 13 tahun. Dia kemudian mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang kemudian dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
Rep: Lilis Sri Handayani Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Usia kanak-kanak sejatinya merupakan masa yang membahagiakan bagi siapapun. Belajar dan bermain, semestinya bisa dirasakan anak-anak tanpa harus memikirkan apalagi menjalani beban hidup yang berat.

Namun tidak demikian dengan Rasminah (34 tahun). Perempuan asal Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu itu harus rela meninggalkan masa kanak-kanak sebelum waktunya. Dia  dipaksa menikah saat berusia 13 tahun.

"Waktu itu saya baru keluar SD (sekolah dasar)," tutur Rasminah, saat ditemui di sela peringatan International Womans Day, yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Cabang Kabupaten Indramayu, di Universitas Wiralodra Indramayu, Selasa (23/3).

Rasminah mengaku, dijodohkan oleh orang tuanya dengan Suyanto, seorang pria asal Semarang, Jateng. Saat itu, dia tak kuasa untuk menolak karena merasa kasihan dengan kondisi perekonomian orang tuanya.

Ayah Rasminah menderita lumpuh. Karena itu, ibunyalah yang menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi buruh tani serabutan.  

"Saya kasihan sama ibu. Jadi saya nurut saja dijodohkan," tutur Rasminah.

 

 

 

Surita, remaja usia 16 tahun, menangis tak berdaya ketika akan ditemukan dengan calon suaminya untuk dinikahkan. (Ilustrasi) - (www.dailymail.co.uk)

Padahal, Rasminah sangat ingin melanjutkan sekolah. Dia bercita-cita menjadi guru. Namun sejak saat itu, cita-cita itu harus dikuburnya. Dia pun terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dicintainya.

Sejak menikah, kehidupan Rasminah sangat berubah. Tak ada lagi keceriaan. Batinnya tersiksa. Dia harus menjalani beratnya bahtera rumah tangga di usia yang masih belia.

Dari perkawinan itu, Rasminah dikarunia seorang anak. Namun, saat usia perkawinannya baru dua tahun, suaminya pergi meninggalkannya begitu saja.

Rasminah yang menjanda di usia 15 tahun, kembali dijodohkan oleh orang tuanya. Kali ini, dia dinikahkan dengan pemuda sedesanya bernama Darsiman. Dari pernikahan keduanya itu, dia kembali dikaruniai seorang anak.

Rasminah kembali harus menjadi janda saat suami keduanya itu juga meninggalkannya tanpa alasan. Sama seperti pernikahannya yang pertama, bahtera rumah tangganya dengan suami yang kedua juga hanya bertahan dua tahun.

Rasminah kemudian mengadu nasib ke Jakarta untuk bekerja. Baru tiga bulan bekerja di daerah Cilincing, orang tuanya menyuruhnya untuk pulang kampung. Ternyata dia kembali dijodohkan dengan seorang pria yang umurnya terpaut cukup jauh darinya. Pria itu memiliki ekonomi yang mapan.

Dengan suami ketiganya itu, Rasminah kembali dikarunia seorang anak. Dia juga harus mengurus semua urusan rumah tangga yang berat, termasuk mengurusi sawah dan memberi pakan ternak. Dia juga mesti mengurusi suaminya maupun mertuanya.

Penderitaan Rasminah tak hanya pada soal kehidupan perkawinannya. Saat sedang memberi pakan ternak, kakinya digigit ular berbisa. Karena peristiwa itu, dia harus rela kehilangan satu kakinya. Untuk beraktivitas, hingga kini dia harus bertumpu pada tongkat.

Setelah tujuh tahun berumah tangga, suami ketiga Rasminah meninggal dunia. Karenanya, dia kembali menjadi janda untuk ketiga kalinya.

 

Rasminah kemudian menikah lagi dengan seorang pria asal Kecamatan Indramayu bernama Runata. Di pernikahannya yang keempat inilah, dia bisa merasakan kebahagiaan berumah tangga. Dia dikarunia dua orang anak.

"Alhamdulillah pernikahan saya sekarang sudah delapan tahun," tutur ibu lima anak tersebut.

Meski kini sudah merasakan bahagia, namun ada kegundahan dalam hati Rasminah. Dia khawatir akan ada Rusminah-Rusminah lainnya yang harus terpaksa menikah di usia muda seperti dirinya. Karena itu, dia bergabung dengan KPI Kabupaten Indramayu untuk menghentikan perkawinan anak.

"Pokoknya jangan ada lagi yang merasakan perkawinan anak. Sudah setop! Cukup saya saja, jangan sampai ada anak-anak lain yang batinnya kayak saya, hancur," tukas Rasminah.

Rasminah bersama penyintas perkawinan anak lainnya, yakni Endang Wasrinah dan Maryanti, didampingi sejumlah organisasi kemudian mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Melalui langkah hukum itu, mereka memperjuangkan agar ada perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 

MK mengabulkan permohonan itu. Sidang Paripurna DPR pada 16 September 2019 kemudian menyetujui Perubahan Terbatas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di antaranya adalah menaikkan batas umur minimal perkawinan yang sama bagi perempuan dan laki-laki menjadi usia 19 tahun. Sebelumnya, batas umur minimal perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun. 

 
Berita Terpopuler