Cerita Rolex Berharga Rp 700 Juta untuk "Paus" Edhy Prabowo

Dalam perkara korupsi ekspor benih lobster, Edhy Prabowo mendapatkan kode

Republika/Thoudy Badai
Jurnalis mengambil gambar tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus suap ekspor benih lobster yang disiarkan secara virtual di gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/3). Edhy menjadi saksi dalam sidang terdakwa, Pemilik sekaligus Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dian Fath Risalah

Sidang lanjutan perkara suap terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikaran, Edhy Prabowo terkait ekspor benih lobster mengungkap fakta pembelian jam tangan Rolex senilai Rp 700 juta untuk Edhy. PNS di Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Andhika Anjaresta menyebut Edhy Prabowo memiliki kode "paus".

"Saya dapat voice note dari Amiril (Amiril Mukminin, sespri Edhy), pas dibuka isinya 'Bang tolong carikan Rolex, terus saya tanya Rolex itu apa, jam katanya. Kemudian dikirimkan gambarnya. Saya tanya buat siapa? Terus dijawab 'paus'," kata Andhika di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (17/3).

Andhika menyampaikan hal tersebut saat menjadi saksi untuk terdakwa Direktur PT. Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito. Sebelumnya Suharjito telah didakwa memberikan suap senilai total Rp 2,146 miliar yang terdiri dari 103 ribu dolar AS (sekitar Rp 1,44 miliar) dan Rp 706.055.440 kepada Edhy Prabowo.

"Saya tanya, 'Paus Pak Menteri? Lalu dijawab Amiril 'Iya buat Pak Menteri'," ungkap Andhika.

"Dia mengatakan, 'Tolong dong carikan Rolex', saya katakan saya tidak ada waktu karena saya besok jam 10 pagi dari Dubai dan hasil swab belum datang," ucap Andhika.

"Ini paus ikan atau Paus Fransiscus?" tanya ketua majelis hakim Albertus Usada.

"Kodenya 'paus' Pak," jawab Andhika.

"Kodenya 'paus', karena kementerian perikanan ya? Mungkin paus karena saking besarnya," kata hakim Albertus.

Baca Juga

In Picture: Edhy Prabowo Bersaksi dalam Sidang Suap Ekspor Benih Lobster

Jurnalis mengambil gambar tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus suap ekspor benih lobster yang disiarkan secara virtual di gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/3). Edhy menjadi saksi dalam sidang terdakwa, Pemilik sekaligus Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito. - (Republika/Thoudy Badai)

 

Andhika lalu pulang ke Indonesia, dan dua hari kemudian Amiril kembali menelepon-nya dan masih minta dicarikan jam Rolex. Tetapi, Andhika beralasan sudah tiba di Indonesia dan banyak pekerjaan.

"Lalu (Amiril mengatakan) 'tolong dicarikan', saya katakan ini ada orang KJRI mas Yosi, kalau saya kasih nomornya, terus beliau (Amiril) bilang 'Saya saja yang hubungi mas Yosi itu'," ungkap Andhika.

Andhika pun menyebut Amiril lalu meminta Yosi untuk mencarikan jam Rolex untuk Edhy Prabowo di Dubai.

"Saya telepon Yosi lagi, saya bilang mas ini minta dicarikan Rolex, kalau tidak salah merek-nya yang Master versi II tapi harus yang kuning. Yosi mengatakan, 'Oke saya carikan di toko Rolex, tapi ternyata tidak ada yang kuning, saya katakan ke Amiril adanya yang silver, tapi Amiril bilang harus kuning, jadi saya sampaikan lagi ke Yosi," tutur Adhika.

Akhirnya, Yosi menemukan Rolex Yacht Master II Yellow Gold tersebut seharga sekitar Rp700 juta. Adhika lalu meminta Amiril mentransfer uang ke Yosi.

"Kata Amiril nanti saya cari dulu uangnya, beberapa hari kemudian Amiril, mengatakan 'Daun sudah ada untuk si kuning'," kata Andhika.

"Kalau kuning itu yellow, gold begitu ya?" tanya hakim Albertus.

"Saya belum pernah lihat jamnya secara langsung," jawab Andhika.

"Tadi daun untuk si kuning sudah ada artinya apa?" tanya jaksa.

"Kami artikan uang untuk bayar Rolex sudah ada," jawab Andhika.

Lalu Andhika meminta stafnya bernama Dwi untuk mengurus transfer uang itu dari Amiril ke Yosi.

"Kemudian Amiril tanya 'Bagaimana kan sudah dibayar, mana barangnya? Saya jawab masih di Dubai. Amiril mengatakan tolonglah ambil, saya katakan saya tidak bisa keluar negeri seenak saya, karena saya pegawai negeri," ungkap Andhika.

Amiril pun menawarkan agar Yosi mengantarkan jam Rolex tersebut ke Jakarta. Yosi pun bersedia membawa Rolex itu ke Jakarta.

"Yosi mengatakan, ternyata tanggal 25 mau ke Jakarta ada urusan keluarga jadi dia bawa pulang jamnya, tapi barang ditahan Bea Cukai," kata Andhika.

Dalam dakwaan Suharjito sebelumnya, disebutkan Ainul Faqih selaku sekretaris pribadi istri Edhy, Iis Rosita, menggunakan uang dalam rekeningnya atas arahan Amiril Mukminin untuk kepentingan Edhy Prabowo dan Iis Rosita Dewi termasuk untuk membeli 1 jam tangan merek Rolex Yacht Master II Yellow Gold. Jam itu dibeli di Dubai pada Oktober 2020 senilai Rp 700 juta.

Namun, jam tersebut ditahan petugas bea cukai Bandara Soekarno Hatta dan diminta untuk membayar pajak sekitar Rp 175 juta. Amiril pun kemudian menyerahkan uang kepada Dwi Kusuma Wijaya sejumlah 10 ribu dolar AS dan Rp 71 juta untuk membayar pajak dan mengambil jam tangan itu.

Dalam kesaksian terpisah melalui sambungan video, Edhy Prabowo meyakini ia tidak pernah kekurangan uang. Karena, ia beralasan, memiliki dana yang dikelola sekretaris pribadinya Amiril Mukminin yang mencapai Rp 10 miliar - Rp12 miliar.

"Selama saya jadi anggota DPR dan jadi staf saya selama dia kelola uang saya Rp 10-12 miliar minimal makanya saya yakin uangnya tidak pernah kurang," kata Edhy, Rabu.

"Tapi tidak pernah mengecek sendiri secara angka?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) KPK Siswandhono.

"Tidak pernah," jawab Edhy.

"Ada laporan berapa uang yang dipegang Amiril?" tanya jaksa Siswandhono.

"Tidak bicara bicara jumlah tapi hanya mengatakan uang bapak masih ada," jawab Edhy.

"Memangnya tidak tanya?" tanya jaksa.

"Saya hanya menanyakan kalau kebutuhan saya Rp 20 juta, Rp 100 juta cukup tidak, dan dijawab selalu ada," jawab Edhy.

Namun, Edhy mengaku tidak minta uang ke Amiril setiap hari.

"Keyakinan saudara masih ada uang Rp 10 miliar - 12 miliar dari mana?" tanya jaksa.

"Dari 5 tahun saya di DPR, saya bisa mengumpulkan Rp 2,5 miliar tiap tahun, itu uang reses yang saya minta dikelola Amiril jadi saya tidak bawa pulang ke rumah dan uang itu adalah kegiatan lump sum yang belum pernah saya pakai," ungkap Edhy.

"Apakah uang itu masuk ke LHKPN?" tanya jaksa.

"Tidak saya lapor karena uang itu belum saya yakini hak saya, jadi tidak saya bawa pulang ke rumah," jawab Edhy.

 

Daftar Belanja Edhy Prabowo di AS - (Infografis Republika.co.id)

Dalam kesaksian untuk terdakwa penyuapnya, Suharjito, Edhy Prabowo mengakui pernah memerintahkan mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan M Zulficar Mochtar untuk mengurus benih lobster yang tertahan di Bandara Soekarno-Hatta.

"Saksi Zulficar Mochtar pernah tidak mau tanda tangan surat pengeluaran karena perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspor adalah perusahaan baru dan belum melakukan budi daya, lalu Saudara telepon Zulficar agar mengurus benih yang akan diekspor tapi tertahan di bandara, betul?" tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Siswandhono, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

"Betul saya dilaporkan Saudara Andreau ada beberapa perusahaan yang sudah sampai bandara tapi tidak bisa dikirim, biasanya kalau sudah di bandara tidak ada masalah, jadi saya minta Zulficar untuk meluruskan ini, karena biaya yang keluar sudah besar, kalau tidak jadi ekspor kan rugi," ujar Edhy.

"Saya intinya minta agar tidak disebut satu-satu perusahaan, karena saya tidak kenal perusahaannya," ujar Edhy.

Menurut Edhy, Zulficar pun menuruti perintahnya itu.

"Zulficar hanya mengatakan 'Baik Pak, baik Pak', hanya saya minta tindak lanjuti masalah, kan sudah di bandara kok bisa tidak jadi ekspor. Artinya rekomendasi sudah beres," kata Edhy pula.

Dalam sidang 3 Maret 2021, Zulficar Mochtar mengatakan, ia pernah ditelepon staf khusus Edhy Prabowo bernama Andreau Misanta dan menyebut Edhy Prabowo akan mencopot Zulficar, karena tidak menandatangani rekomendasi perusahaan pengekspor benih lobster.

"Saat diminta untuk tanda tangan rekomendasi pengekspor pada 9 Juli, saya tolak meski dari Dirjen Budi Daya sudah lolos, lalu Andreau lapor ke Menteri, kemudian Pak Menteri telepon saya, kemudian Andreau bilang 'Ficar ini akan dicopot oleh Menteri'," kata Zulficar di pengadilan pada Rabu (3/3).

"Pak Menteri mengatakan ke saya 'Pak Ficar sudah diloloskan saja perusahaan tersebut, barangnya sudah di bandara kalau gagal ekspor karena suratnya tidak keluar bisa-bisa barangnya rugi, kita yang bermasalah'. Saya katakan, baik saya cek lagi, secara administratif memang sudah lengkap semua," ujar Zulficar.

Akhirnya, Zulficar menandatangani dokumen persyaratan untuk PT Aquatic SSLautan Rejeki, PT Tania Asia Marina, UD Samudera Jaya, PT Grahafoods Indo Pasifik, dan PT Indotama Putra Wahana. Zulficar lalu memutuskan mundur dari KKP pada 14 Juli 2020, karena merasa tidak cocok dengan kebijakan Edhy Prabowo.

In Picture: Istri Edhy Prabowo Bersaksi dalam Sidang Kasus Ekspor Benur

Istri mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang juga anggota DPR Fraksi Gerindra Iis Rosita Dewi bersaksi dalam sidang kasus ekspor benur dengan terdakwa Direktur PT. Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (17/3/2021). Sidang Suharjito yang didakwa memberikan suap senilai Rp2,146 miliar terkait impor Benih Bening Lobster (BBL) tersebut menghadirkan delapan saksi termasuk Edhy Prabowo yang dihadirkan secara virtual. - (Antara/Reno Esnir)

 
Berita Terpopuler