Edhy P: Kebijakan Susi Buat Rakyat Kehilangan Pekerjaan

Kebijakan ekspor benih lobster sebelumnya sempat dilarang saat Susi jadi menteri.

Republika/Thoudy Badai
Jurnalis mendengarkan keterangan saksi tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus suap ekspor benih lobster yang disiarkan secara virtual di gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/3). Edhy menjadi saksi dalam sidang terdakwa, Pemilik sekaligus Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito.
Rep: Dian Fath Risalah Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjelaskan, awal mula alasan dibukanya keran ekspor benih bening lobster. Kebijakan ekspor benih bening lobster sebelumnya sempat dilarang pada saat Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

Hal itu disampaikan Edhy saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus suap izin ekspor benih lobster atau benur dengan terdakwa Suharjito selaku pemilik PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta , Rabu (17/3).

Menurut Edhy, kebijakan Susi Pudjiastuti yang melarang ekspor benih lobster tersebut justru merugikan rakyat. Edhy mengatakan, banyak rakyat yang kehilangan pekerjaan karena kebijakan Susi Pudjiastuti. Atas dasar itulah, Edhy kemudian membuat kebijakan membuka keran ekspor benih lobster. 

"Pada saat saya Ketua Komisi IV, saya sebagai mitra KKP, Ibu Susi banyak masukan masyarakat di pesisir selatan Jawa, kemudian daerah Lombok, Bali, dan Indonesia timur, hingga Sulawesi, dan mereka merasa kehilangan pekerjaan dengan terbitnya aturan KKP (yang melarang ekspor benih lobster)," ujar Edhy. 

Menurut Edhy, Permen No 56/2016 yang mengatur larangan ekspor benih lobster seharusnya diimbangi dengan sosilalisasi kepada masyarakat. Sehingga, kebijakan pelarangan ekspor benih lobster itu tidak serta merta menghilangkan pekerjaan rakyat.

Baca juga : Edhy Sebut Dirjen Perikanan Tangkap tak Mundur Tapi Dicopot

"Ini (benih lobster) selama ini menjadi tempat kehidupan masyarakat persisir yang di sana banyak tergantung untuk menghidupkan anaknya, menyekolahkan anaknya," ungkap Edhy.

"Kalaupun ingin dilarang karena alasan lingkungan harus ada kajian, kami sebagai wakil rakyat bila ada kebijakan yang tiba-tiba menghilangkan lapangan pekerjaan rakyat itu harus ada solusi," tambahnya.

 

 

Mendengar penjelasan Edhy, Jaksa KPK Siswhandono menanyakan kebijakan Edht yang membuka keran ekspor lobster tersebut. "Apa tindak lanjut saudara membuka keran ekspor lobster itu apa?, " tanya Jaksa Siswhandono. 

"Ahli menyampaikan lobster ini bisa bertelur sampai 1 juta karena musim panas yang panjang. Dari tim kajian KKP itu lembaga yang dibentuk dari ahli-ahli yang diketuai kami," jawab Edhy. 

"Apa ada data baru sebagai tindak lanjut saudara membuka keran?, " cecar Jaksa. 

"Data itu diupdate setiap tahun. selain kajian jumlah, kami juga menghitung berapa potensi lobster yang dewasa yang dilepaskan ke alam, " terang Edhy. 

Edhy menilai ekspor benih lobster bernilai ekonomi tinggi untuk masyarakat, utamanya yang di daerah pesisir. "Lobster itu kalau hidup di alam, itu jumlahnya yang akan hidup hanya 0,01 persen saja. Jadi itu sangat kecil. Makanya, setiap 1 juta lobster di alam, kalau kita biarkan di alam, maka yang akan hidup hanya 1.000," terangnya. 

Sementara, lanjut Edhy, banyak masyarakat secara tradisional membesarkan sendiri. Sehingga lobster diambil dari alam, dibesarkan di keramba atau tambak, menurutnya, bisa sampai 30 persen.

Dia pun menuturkan bila pembudidayaannya bisa secara lebih produktif lagi, yaitu bila lobster besarnya harus dibudidayakan dengan kedalaman minimal 5-6 meter.  Karena, bila sampai kerambanya kedalaman 5-6 meter, potensi pembesarannya itu bahkan mendekati angka 70 persen. 

"Sekarang perbandingannya, kalau dilakukan di alam hanya 0,01 persen. Tapi kalau ada yang membudidayakan, bukankah ada gap sangat besar yang bisa dimanfaatkan?, " ujarnya 

"Ini semua, bukan mulut seorang menteri. Ini semua adalah para ahli yang buat, ada rujukannya semua," tegasnya. 

Edhy memastikan tahu betul dengan kebijakan yang ia jalankan. Bahkan, dalam pembuatan kebijakan itu ada pelepas biakkan. 

"Jadi seandainya lobster-lobster ini nanti setelah dibudidayakan, kami wajibkan mereka untuk melepas biakkan yaitu 2 persen, " terangnya. 

 

Jaksa pun mencecar untuk mendapatkan data tersebut apakah berdasarkan kajian sumber daya perikanan. Menjawab Jaksa, Edhy mengklaim kebijakannya membuka keran ekspor benih lobster itu telah dikonsultasikan dengan berbagai ahli. 

"Saya pun sudah berkonsultasi dengan para ahli terkait kebijakan itu. Kami juga telah berkonsultasi dengan Menko yang membawahi kami, yang telah menyarankan untuk melibatkan para ahli terkait kebijakan pembukaan ekspor benih lobster," jelasnya.

Pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito didakwa menyuap Menteri Keluatan dan Perikanan Edhy Prabowo. Jaksa meyakini Suharjito menyuap Edhy sebesar USD 103 ribu dan Rp 706 juta.

Suharjito menyuap Edhy Prabowo melalui Safri dan Andreau Misanta Pribadi selaku staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi sebagai anggota DPR sekaligus istri Edhy Prabowo, dan Siswandi Pranoto Loe selaku Komisaris PT. Perishable Logistics Indonesia (PT. PLI) sekaligus Pendiri PT. Aero Citra Kargo (PT. ACK).

 

Jaksa menyebut, pemberian suap yang diberikan Suharjito kepada Edhy melalui lima orang itu dengan tujuan agar Edhy Prabowo mempercepat persetujuan perizinan ekspor benih lobster atau benur di KKP tahun anggaran 2020. Menurut Jaksa, uang tersebut diperuntukkan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosita Dewi.

 
Berita Terpopuler