Pelapor Khusus PBB Desak Sanksi untuk Junta Militer Myanmar

Pelapor khusus PBB mengusulkan dilakukan embargo senjata global

AP/AP
Para biksu Buddha memamerkan plakat selama pawai protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar Selasa, 16 Februari 2021. Dalam sebulan sejak kudeta 1 Februari, protes massal yang terjadi setiap hari adalah pengingat yang tajam akan perjuangan panjang dan berdarah untuk memperebutkan kekuasaan. demokrasi di negara di mana militer memerintah secara langsung selama lebih dari lima dekade.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak asasi manusia di Myanmar Tom Andrews mengatakan, penolakan terhadap junta militer akan terus berlanjut. Oleh karena itu, dia mengimbau agar komunitas internasional perlu meningkatkan tanggapannya terhadap situasi di Myanmar yang semakin genting. 

Baca Juga

Andrews mengusulkan dilakukan embargo senjata global, dan menjatuhkan lebih banyak sanksi dari dunia terhadap mereka yang berada di balik kudeta militer di Myanmar. Sanksi bisa berupa sanksi bisnis militer dan rujukan Dewan Keamanan PBB ke Pengadilan Kriminal Internasional. 

“Kata-kata kutukan saja tidak cukup. Kita harus bertindak. Mimpi buruk di Myanmar yang terbentang di depan mata kita akan bertambah parah. Dunia harus bertindak," ujar Andrews. 

Pada Senin (1/3), sekitar 10 kendaraan polisi dan militer dikerahkan di persimpangan Yangon, yang menjadi tempat pengunjuk rasa bentrok dengan pasukan keamanan. Beberapa pengunjuk rasa menyerukan penghancuran kamera pengintai yang digunakan oleh pihak berwenang. Sementara yang lain membagikan resep cara membuat semprotan merica di media sosial, yang digunakan jika demonstran diserang oleh petugas keamanan berpakaian preman. 

Para pengunjuk rasa bertekad untuk menggelar lebih banyak demonstrasi setelah terjadi bentrokan berdarah yang menewaskan sedikitnya 18 orang pada Ahad (28/2). Polisi menembakkan gas air mata dan tembakan peringatan ke udara untuk membubarkan kerumunan. Namun para demonstran tak kunjung bubar, sehingga polisi melepaskan tembakan ke arah mereka. 

“Saya menyatakan militer Myanmar sebagai organisasi teroris,” ujar seorang aktivis pemuda terkemukan Thinzar Shunlei Yi. 

Surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah memperingatkan "tindakan keras pasti akan diambil" terhadap "massa anarkis" yang tidak dapat diabaikan oleh militer. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan sedikitnya 270 orang ditahan pada Ahad (28/2). Beberapa saksi mata mengatakan, mereka melihat orang-orang itu dipukuli oleh polisi sebelum dibawa pergi.

 

Menteri-menteri Eropa telah menyetujui sanksi terhadap militer Myanmar atas kudeta tersebut, dan telah memutuskan untuk menahan beberapa bantuan pembangunan. Sanksi tersebut diharapkan akan diselesaikan dalam beberapa hari mendatang dan berlaku setelah pemberitahuan resmi diterbitkan oleh Uni Eropa.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan terhadap para demonstran. AS mengumumkan sanksi baru terhadap dua jenderal yang terlibat dalam kudeta militer pada 1 Februari di Myanmar.

"Kami berdiri teguh dengan orang-orang yang berani di Burma dan mendorong semua negara untuk berbicara dengan satu suara untuk mendukung keinginan mereka," ujar Blinken. 

 
Berita Terpopuler