Dakwah Terbuka Dimulai, ke Siapa Nabi Pertama Serukan Islam?

Sebelumnya, dakwah dilakukan diam-diam untuk menghindari gangguan kaum Quraisy.

Republika.co.id
Dakwah Terbuka Dimulai, ke Siapa Nabi Pertama Serukan Islam?
Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada fase awal perjalanan Islam, Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah secara diam-diam sebagai langkah taktis menghindari penyiksaan dan gangguan dari kaum kafir Quraisy. Setelah perintah dakwah secara terbuka diturunkan, kepada kalangan mana Nabi mulai menyerukan Islam?

Baca Juga

Setelah sekian lama berdakwah secara tertutup dan rahasia, Allah memerintahkan Nabi memberi peringatan kepada keluarga besar beliau yang terdekat. Hal ini sebagaimana yang diabadikan dalam Alquran Surah As-Syuara ayat 214-216.

Allah SWT berfirman: “Wa andzir ‘asyirataka al-aqrabina. Wakhfidh janaahaka limanittaba’aka minal-mukminin. Fa in ashauka faqul inniy bari-un mimma ta’maluna,”. Yang artinya: “Peringatilah kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu dari orang-orang mukmin. Jika mereka (kaum musyrik) mendurhakaimu maka katakanlah: sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan,”.

Pakar Ilmu Tafsir Prof Quraish Shihab dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW menjelaskan, memenuhi perintah tersebut maka Nabi menyiapkan santap siang dengan mengundang sekitar 30-40 orang dari keluarga terdekat beliau. Antara lain Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab.

 

 

Seselesainya makan dan sebelum Nabi berbicara, Abu Lahab mengajak hadirin meninggalkan rumah sehingga Nabi tidak sempat menyampaikan sesuatu yang penting itu terhadapnya. Nabi hanya sempat mengajak keluarga Ka’ab bin Luaiy, Bani Murrah bin Ka’ab, Bani Abd Syams, Bani Abdul Muthalib, dan bahkan menyebut putri beliau Fatimah (yang saat itu belum memeluk Islam).

Masing-masing dari mereka diingatkan tentang akidah. Nabi berkata: “Anqidzuu anfusakum minannaari,”. Yang artinya: “Selamatkanlah diri kamu dari api neraka,”. Caranya adalah dengan beriman kepada Allah SWT.

Nabi kemudian bersabda lagi: “Fa inniy la amliku lakum minallahi syai-an ghaira anna lakum rahiman sa-abuluha bibalaaliha,”. Yang artinya: “Karena aku tidak memiliki kemampuan sedikit pun untuk menampik kalian jatuhnya siksa Allah. Aku hanya menyadari bahwa ada hubungan kekeluargaan antara kita dan yang ini saya akan pelihara dan menghubungkannya,”.

Demikianlah bahwa Nabi SAW sejak dini telah mengingatkan bahwa kekeluargaan, hubungan darah yang terdekat sekalipun dalam bentuk hubungan ayah dengan anak kandung, tidak dapat membantu seseorang yang tidak percaya atau durhaka. Allah berfirman dalam Alquran Surah As-Syuara ayat 88-89: “Yauma laa yanfa maalun wa laa banuna, illa man atallahi biqalbil salimin,”. Yang artinya: “Pada hari kiamat tidak berguna harta dan anak-anak, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,”.

 

Jika demikian dijelaskan, masing-masing diri bertanggung jawab atas diri dan pilihannya sendiri. Perintah Allah untuk mengingatkan keluarga dekat, bahkan yang dipenuhi Nabi dengan mengingatkan juga anak kandung beliau mengisyaratkan, anggota keluarga berkewajiban mengingatkan perkara akidah kepada keluarga. Hal ini merupakan tanggung jawab yang perlu ditunaikan.

Selanjutnya, karena dalam pertemuan ini Nabi SAW tidak mendapat sambutan baik, maka sekali lagi Nabi mengundang mereka semua dan berkata: “Aku tidak melihat ada seseorang dari kalangan masyarakat Arab yang dapat mengundang suatu kebajikan di tengah mereka melebihi daripada apa yang aku sampaikan kepada saudara-saudara sekalian. Yang aku sampaikan adalah kebajikan duniawi dan ukhrawi, Allah mengutus aku untuk mengajak saudara-saudara ke arah itu, siapakah yang akan menyambut ajakanku ini?”

Kemudian mereka terdiam dan menolak. Namun tiba-tiba Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang ketika itu belum dewasa, berucap lantang: “Rasulullah, saya akan membantumu. Saya akan mejadi lawan siapa pun yang menantangmu,”. Mendengar hal itu, segenap hadirin yang hadir tersentuh dan bahkan tertawa melecehkan ucapan Sayyidina Ali.

 

Namun Nabi berkata: “Inilah saudaraku, inilah yang membantuku,”. Allah membuktikan melalui Sayyidina Ali bin Abi Thalib di beberapa tahun kemudian, bahwa bocah kecil itu pada akhirnya dapat memenuhi janjinya dengan sebaik-baiknya dan bahkan pembuktiannya melebihi dari kemampuannya ketika berjanji.

 
Berita Terpopuler