PBB Peringatkan Militer Myanmar

Militer Myanmar telah memutukan koneksi internet di wilayah itu.

EPA/FRANCK ROBICHON
Warga Myanmar di Tokyo, Jepang pada 12 Februari 2021 melakukan aksi demonstrasi menentang kudeta di negaranya.
Rep: Puti Almas Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan militer Myanmar atas konsekuensi besar terhadap setiap respons keras pengunjuk rasa yang menentang kudeta di negara itu. Seperti diketahui aksi unjuk rasa kembali dilakukan pada Senin (15/2) di beberapa wilayah di kota besar Myanmar, meski kendaraan lapis baja dan tentara dikerahkan.

Para demostran mengecam kudeta militer yang dilakukan pada 1 Februari lalu dan menuntut pembebasan terhadap para pemimpin pemerintahan sipil yang ditangkap, termasuk Aung San Suu Kyi.

Baca Juga

Utusan khusus PBB Christine Schraner Burgener berbicara kepada wakil kepala militer Myanmar melalui panggilan. Ia menegaskan bahwa hak berkumpul secara damai harus sepenuhnya dihormati dan demonstran tidak seharusnya diberi tindakan keras.

“Ia (Burgener) telah menyampaikan kepada militer Myanmar bahwa dunia sedang mengawasi dengan cermat dan segala bentuk tindakan keras akan memiliki konsekuensi,” ujar juru bicara PBB Farhan Haq.

Baca juga : Survei: 1 dari 4 Orang Eropa tak Suka Orang Islam

Dalam catatan pertemuan tersebut, militer Myanmar mengatakan wakil Soe Win telah membahas rencana dan informasi pemerintah tentang situasi sebenarnya dari apa yang terjadi. Selain mendesak tentara menghormati hak asasi manusia dan institusi demokrasi, Burgener juga telah memperingatkan pemadaman internet yang dilakukan di negara Asia Tenggara itu.

Militer memutus koneksi internet hingga Selasa (16/2) pagi ini, meningkatkan kekhawatiran di antara para penentang kudeta.

“Ada kecurigaan bahwa pemadaman dilakukan untuk melakukan kegiatan tidak adil, termasuk penangkapan sewenang-wenang,” jelas kelompok Asosiasi Bantuan Tahanan Politik Myanmar.

Situasi di Myanmar saat ini telah menghidupkan kembali ingatan akan pecahnya konflik berdarah hampir setengah abad lalu, di mana pemerintahan langsung militer yang berakhir pada 2011, dengan memulai proses penarikan diri dari politik sipil.

Militer mengatakan bahwa protes merusak stabilitas dan membuat orang-orang ketakutan. “Orang-orang senang memiliki patroli keamanan dan pasukan keamanan akan melakukannya siang dan malam,” kata militer Myanmar dalam sebuah pernyataan.

 
Berita Terpopuler