Militer Myanmar Kembali Tutup Akses Internet

Junta dinilai ingin membungkam perbedaan pendapat di media daring

EPA-EFE/LYNN BO BO
Demonstran berkumpul di dekat jalan di mana tentara dan kendaraan lapis baja dikerahkan selama protes di luar Bank Sentral Myanmar (CBM) di Yangon, Myanmar, 15 Februari 2021. Junta militer Myanmar pada 15 Februari menghentikan layanan internet dan mengerahkan pasukan serta kendaraan lapis baja di seluruh penjuru Myanmar. negara dalam tanda-tanda meningkatnya kekuatan untuk menekan protes massa terhadap kudeta militer dan gerakan pembangkangan sipil yang tumbuh yang telah melumpuhkan layanan pemerintah.
Rep: Lintar Satria Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Militer Myanmar menutup akses internet dua malam berturut-turut. Lembaga pemantau jaringan internet NetBlock melaporkan sejak pukul 01.00 waktu setempat Selasa (16/2) akses internet di Myanmar 'hampir sepenuhnya ditutup'.

Ini keempat kalinya pemerintah militer menutup akses internet sejak kudeta 1 Februari lalu. Junta ingin membungkam perbedaan pendapat di daring. Sebelumnya militer juga mengumumkan akan memberikan hukuman keras bagi yang menentang pemimpin kudeta.

Seperti dilansir BBC, penyedia layanan internet mengatakan akses daring sedang diblokir. Penutupan jaringan internet ini bertujuan untuk mengganggu perlawanan terhadap kudeta yang menggulingkan pemerintah terpilih dan pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi yang hingga kini masih ditahan.

Akses ke media sosial Facebook yang menjadi tempat aktivis menyuarkan ajak pembangkangan sipil ditutup tidak lama usai kudeta. Penggunaan Twitter dan Instagram juga terdistrupsi.

Penyedia jaringan telekomunikasi utama Myanmar, Telenor mengatakan tidak akan lagi memperbaharui disrupsi jaringan internet di situs mereka. Perusahaan itu mengatakan situasinya 'membingungkan dan tidak jelas' dan kini 'prioritas utama' mereka adalah keamanan karyawan.

Pada Ahad (14/2) pemerintah militer Myanmar mengerahkan kendaraan lapis baja di Yangon, Myitkyina dan Sittwe. Itu pertama kalinya militer mengerahkan kendaraan lapis baja sejak kudeta.

Baca Juga

Baca juga : Tolak Divaksin, Komnas HAM: Monggo Ancaman 1 Tahun Penjara

Junta juga menambah kehadiran prajurit  di jalan-jalan untuk membantu polisi mengendalikan massa, termasuk Divisi Infanteri Ringan ke-77. Divisi ini dituduh menggelar operasi militer brutal terhadap pemberontak etnik minoritas dan unjuk rasa di masa lalu.

Pada Senin (15/2) kemarin jumlah pengunjuk rasa pun semakin mengecil. Tidak diketahui apakah karena terintimidasi oleh kehadiran tentara atau karena kelelahan setelah 12 hari berdemonstrasi. Demonstran fokus berunjuk rasa di depan gedung Bank Sentral, Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) dan China serta markas partai Suu Kyi yakni National League for Democracy. (NLD).

Polisi kabarnya melepaskan tembakan peluru karet ke pengunjuk rasa di kota Mandalay. Dalam rekaman video di media sosial terdengar suara tembakan saat massa bubar. Lalu muncul sejumlah orang yang terlihat terluka. "Kami sangat percaya pada demokrasi dan hak asasi manusia, kami tahu ini berisiko," kata aktivis mahasiswa  Myo Ko Ko.

"Saya telah pindah ke tempat lain siang ini karena digeledah oleh polisi, kami berharap komunitas internasional membantu kami," tambahnya.

Mahasiswa juga berunjuk rasa di ibukota Nay Pyi Taw. Puluhan orang ditangkap dan kemudian dibebaskan. Warga sejumlah kota dilaporkan menggelar jaga malam untuk menahan serangan dari gerombolan yang kabarnya dikirim tentara untuk menimbulkan kerusuhan.

Pemerintah militer telah membebaskan puluhan ribu narapidana.  Muncul kekhawatiran militer akan menggunakan sejumlah narapidana yang dibebaskan untuk menekan siapa pun yang melawan rezim.

 
Berita Terpopuler