Dari Kudeta Hingga Jalan Demokrasi Para Jenderal

Jalan terjal demokrasi bagi para jenderal.

Anadolu Agency
Tentara Mynmar tengah berjaga.
Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, Oleh: DR Dipo Alam, Pemerhati Ekonomi-Politik dan Sekretaris Kabinet Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu II. 

Di era demokrasi, setiap jenderal yang ingin menggapai kursi kekuasaan mestinya belajar kepada Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jenderal TNI (Purn) Wiranto, dan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto.

Tampilnya sejumlah elite militer Indonesia sebagai aktor-aktor baru demokrasi dengan segala catatan kekurangan dan kelebihannya memang pantas untuk dibanggakan.

Sebab, tak semua negara yang pernah dipimpin oleh rezim militer mampu mereformasi tentaranya secepat dan sedrastis Indonesia. Meskipun pada mulanya tak terbayangkan, Reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia) memang berjalan lebih cepat daripada yang diperkirakan.

Sesudah Presiden Soeharto lengser pada 1998, semula peran politik militer disepakati untuk dihapuskan setelah Pemilu 2004 dan diharapkan selesai pada Pemilu 2009. Nyatanya, proses itu berlangsung lebih cepat.

Sejak 2004, Fraksi TNI dan Polri resmi dihapuskan dari parlemen dan militer Indonesia sepenuhnya kembali ke barak. Bagi personel militer yang ingin mengambil jabatan-jabatan sipil, mereka kemudian diharuskan untuk mundur dari dinas ketentaraan dan menjadi warga sipil biasa.

 

 

Mereka berjuang mendapatkan kekuasaannya kembali bukan dengan bedil atau tank, melainkan dengan jalan demokrasi: masuk ke dalam partai politik, atau berjuang membesarkan partai politik.

Sebelum maju dalam pemilihan presiden tahun 2004, SBY terlebih dahulu telah menyiapkan kendaraan politik Partai Demokrat pada tahun 2002. Demikian juga halnya dengan Wiranto dan Prabowo yang di masa lalu sering disebut-sebut sebagai anak emas Presiden Soeharto, keduanya juga kembali masuk ke dalam kekuasaan melalui jalur partai politik.

Sesudah menang dalam konvensi calon presiden Partai Golkar, namun gagal dalam pemilihan presiden tahun 2004, Wiranto berusaha memelihara peluangnya menjadi calon presiden dengan mendirikan Partai Hanura pada tahun 2006.

Sementara, sesudah kalah dari Wiranto dalam konvensi Partai Golkar tahun 2004, untuk merealisasikan visi dan agenda politiknya, Prabowo juga kemudian mendirikan partai, yaitu Gerindra, pada tahun 2008.

Apa yang dilakukan oleh tiga pensiunan jenderal tadi, dalam catatan saya, telah memberi teladan penting bagi kehidupan demokrasi. Sama seperti halnya dengan para politisi sipil, untuk terlibat dalam kontestasi demokrasi, mereka—para pensiunan jenderal tadi—memang harus tergabung ke dalam partai politik.

Sebab, di alam demokrasi, partai politik adalah kendaraan resmi untuk meraih kekuasaan. Partailah yang menjembatani publik dengan pemerintah, baik dalam kedudukannya di parlemen maupun di eksekutif.

Selain ketiga nama tadi, sebenarnya bisa juga disebut nama almarhum Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, serta Jenderal (Hor) TNI (Purn) A.M. Hendropriyono, yang pernah memimpin Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) dan kemudian berubah menjadi PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia). Namun, sejak dideklarasikan pada awal 1999, kiprah partai tersebut tidak pernah mencorong. 

 

 

Kudeta Jenderal Myanmar

Saya teringat kembali pada pada teladan yang diberikan oleh ketiga jenderal tadi sesudah membaca dua buah berita pada awal pekan lalu.

Pertama, berita tentang kudeta militer di Myanmar. Dan kedua, berita tentang isu “kudeta” di tubuh Partai Demokrat. Kedua peristiwa tadi kebetulan sama-sama “melibatkan jenderal” di dalamnya.

Myanmar, sama seperti halnya Thailand yang juga terus-menerus dilanda kemelut politik, hingga hari ini memang belum bisa membebaskan dirinya dari bayang-bayang militerisme.

Bahkan, orang-orang di Bangkok memiliki lelucon mengenai hal itu. Katanya, ada dua hal yang rutin terjadi di Thailand, yaitu pembukaan mal baru, dan rumor bahwa angkatan bersenjata sedang merencanakan kudeta lagi. 

Apa yang terjadi pada hari Senin pekan lalu di Myanmar memang cukup dramatik. Pagi itu, Aung San Suu Kyi seharusnya pergi ke gedung parlemen untuk memulai periode kedua kekuasaannya.

Pada November 2020 silam, partai yang dipimpinnya, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (The National League for Democracy, NLD), memang kembali menang telak dalam Pemilu dengan memenangkan 396 dari 476 kursi parlemen.

Sementara, oposisi sokongan militer, Partai Solidaritas dan Pembangunan (The Union Solidarity and Development Party, USDP) hanya kebagian 33 kursi saja. Dengan kemenangan tersebut, NLD mengulangi kemenangan besarnya pada Pemilu 2015 silam.

Meski dua kali menang Pemilu dengan angka mutlak, Suu Kyi tidak bisa menjadi Presiden. Di dalam Konstitusi 2008, pihak militer telah mencegah kemungkinan tersebut dengan memasukan klausul yang melarang siapa pun yang memiliki anggota keluarga asing bisa menjadi Presiden.

Karena Suu Kyi menikah dengan seorang pria Inggris, secara konstitusional ia tidak bisa menduduki jabatan tersebut. Namun, meski secara formal tak bisa menjadi presiden, sejak 2016 NLD berhasil menciptakan posisi Penasihat Negara (State Counsellor of Myanmar) untuk Suu Kyi yang secara de facto menjadikannya sebagai pemimpin tertinggi negara dengan kekuasaan yang lebih kuat daripada yang dikehendaki oleh para jenderal.

Tetapi, pekan lalu, Suu Kyi tak pernah sampai ke gedung parlemen. Pada Senin dini hari rumahnya keburu disatroni tentara dan ia kemudian dijadikan tahanan.

Selain Suu Kyi, pihak militer juga menahan Presiden Win Myint, lusinan pejabat senior, tokoh-tokoh NLD, serta para aktivis masyarakat sipil. Pihak militer telah menggunakan sebuah pasal dalam konstitusi Myanmar tahun 2008 yang memungkinkan mereka untuk menyatakan keadaan darurat dan mengambil alih tiga cabang pemerintahan.

Mereka mengumumkan bahwa keadaan darurat akan berlangsung selama satu tahun. Setelah itu, pemilihan baru akan diadakan. Sejak hari Senin pekan lalu, demokrasi kembali mati suri di tangan rezim militer Myanmar.

Peristiwa kudeta itu telah menarik mundur kembali roda demokrasi yang terus merangkak sejak satu dekade lalu di Myanmar.

Seperti kita ketahui, lebih dari sepuluh tahun lalu para jenderal di Myanmar mulai membuka diri. Mereka menyusun konstitusi, membuat rencana untuk mengadakan pemilihan umum, meliberalisasi ekonomi, dan bersedia melakukan transisi semidemokrasi, meskipun tetap berusaha mempertahankan kekuasaannya.

Dalam Konstitusi 2008, misalnya, militer tetap mendapatkan alokasi seperempat kursi parlemen, mendapatkan hak veto atas amandemen konstitusi, serta diberi kewenangan penuh atas tiga kementerian utama, yaitu pertahanan, perbatasan, dan dalam negeri.

Meski masih sarat dengan kepentingan militer, sejak itu, Myanmar mulai menapaki perubahan-perubahan politik yang menjanjikan. 

 

 

Pada 2010, mereka menyelenggarakan pemilihan umum yang kemudian dimenangkan oleh USDP. Meskipun diprotes oleh NLD yang mengeklaim adanya sejumlah kecurangan, di bawah pemerintahan Thein Sein yang naik sesudah Pemilu 2010, perubahan-perubahan berarti terus terjadi di Myanmar, mulai dari pembebasan tahanan politik, termasuk pembebasan Aung San Suu Kyi menjadi tahanan rumah sejak tahun 1989, hingga pembukaan diri Myanmar pada dunia internasional.

Myanmar cukup berubah secara signifikan sejak saat itu. Kebebasan sosial mulai mendapat ruang, investasi asing berdatangan, dan kelas menengah mulai tumbuh di sana.

Pemilu 2010 memang tidak serta merta mengubah Myanmar menjadi negara demokrasi. Namun, berbeda dengan pandangan sejumlah negara Barat, Uni Eropa, atau kelompok pendukung HAM dan demokrasi yang melihat perubahan itu dengan nada skeptis, ASEAN dan PBB ketika itu memiliki penilaian yang lebih positif pada lembaran baru yang tengah dijajaki Myanmar.

Bagaimanapun, sejak 1962, negara itu hidup di bawah junta militer. Sehingga, perubahan sekecil apa pun perlu dianggap berarti. Apalagi, pada pemilu sela yang diadakan bulan Maret 2012, NLD kemudian meraih kemenangan besar. Sehingga, banyak orang kemudian menjadi optimistis dengan masa depan demokrasi Myanmar.

Menarik untuk dicatat, dalam buku biografinya, Hard Choices (2016), mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mengaitkan nama Presiden SBY dengan sejumlah perubahan yang terjadi di Myanmar ketika itu.

Sebagai pemimpin ASEAN, sekaligus sebagai pensiunan jenderal, SBY saat itu dinilai Hillary mampu berkomunikasi dengan penguasa Myanmar, Jenderal Tan Shwe, sehingga upaya untuk melakukan demokratisasi di Myanmar bisa menggelinding sebagaimana yang telah berlangsung. Ucapan terima kasih Hillary kepada SBY itu ia sebutkan beberapa kali dalam memoarnya.

Selama setengah abad terakhir, militer Myanmar adalah institusi paling kuat di negara tersebut. Sejak 1962 hingga 2011, para diktator militer silih berganti berkuasa.

Selain memiliki kendali atas pemerintahan, mereka juga menguasai ekonomi dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Mereka mengasingkan negerinya dari pergaulan internasional, memerintah dengan tangan besi, sehingga membuat negaranya menjadi paria. Ironisnya, di tengah-tengah penduduk yang miskin, militer Myanmar adalah institusi yang kaya raya.

Tahun lalu, misalnya, penyelidikan Amnesty International menemukan bahwa hampir setiap unit militer memiliki saham di perusahaan konglomerasi Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) yang memiliki gurita bisnis dan berjejaring global. Karena mengendalikan hampir semua usaha strategis, seperti pertambangan, tembakau, perbankan, transportasi, dan manufaktur, militer telah menjadi institusi terkaya di negeri miskin tersebut.

Jenderal Min Aung Hlaing yang pekan lalu melakukan kudeta terpilih menjadi panglima tertinggi ketika transisi semidemokrasi di Myanmar dimulai pada 2011 silam.

Jenderal yang sering disebut bertanggung jawab atas pembantaian etnis Rohingya pada tahun 2017 itu, sejak awal sangat mungkin telah membayangkan dirinya akan menjadi presiden setelah pensiun dari militer tahun ini.

Namun, ketika politisi sipil memenangi Pemilu 2015 dan kembali menang pada Pemilu 2020 lalu, ia mungkin melihat jika peluangnya meraih posisi itu melalui jalur demokratis telah tertutup. Sehingga, sebelum parlemen hasil Pemilu 2020 bersidang pada Senin pekan lalu untuk mengesahkan pemerintahan baru, ia menggunakan jurus lama yang dipelajari dari para pendahulunya; kudeta.

Tetapi, kudeta kali ini saya kira akan berbeda ujungnya. Demonstrasi besar-besaran masyarakat sipil yang terjadi di Myanmar pekan ini seharusnya dicatat oleh para jenderal di Naypyidaw sebagai hal baru. Mereka kini bukan lagi menghadapi para pendukung Suu Kyi, melainkan tengah menghadapi masyarakat Myanmar yang menginginkan perubahan dan tak ingin mundur kembali ke belakang.

Di sisi lain, meskipun reputasi Suu Kyi di panggung internasional telah merosot menyusul sikap tak simpatiknya ketika terjadi pembantaian etnis Rohingya, di dalam negeri, ia sedang dalam puncak popularitasnya. Sehingga, jika para jenderal itu bersikeras menutup dialog, saya kira, hasilnya tidak akan sepadan buat mereka.

Sikap Cina yang sebelumnya selalu menentang intervensi internasional atas Myanmar, kini juga mulai berubah. Cina sudah mendesak semua pihak yang terlibat konflik untuk “menyelesaikan perbedaan” sesegera mungkin. Ini menunjukkan jika dukungan kepada para jenderal di Myanmar tak akan lagi sama.

 

Demokrasi yang Merosot

Kudeta militer yang terjadi di Myanmar pekan lalu berlangsung hanya kurang dari seminggu setelah The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis data tentang merosotnya Indeks Demokrasi secara global sepanjang tahun 2020 lalu.

Menurut IEU, sepanjang tahun lalu, skor rata-rata Indeks Demokrasi secara global memang turun menjadi 5,37 (dalam skala 0-10) yang merupakan skor terburuk sejak indeks tersebut pertama kali disusun 14 tahun silam.

Dari 167 negara yang disurvei, 116 di antaranya (hampir 70 persen) mengalami penurunan skor. Hanya 38 negara (22,6 persen) yang skornya mengalami perbaikan, sementara 13 lainnya skornya stagnan. 

Ada 60 indikator yang digunakan EIU untuk menentukan indeks demokrasi suatu negara. Enam puluh indikator itu dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.

Berdasarkan skor atas indikator-indikator tadi, EIU akan mengklasifikasikan negara-negara yang disurvei ke dalam empat kategori, yaitu demokrasi penuh (full democracies), demokrasi cacat (flawed democracies), rezim hibrida (hybrid regimes), dan rezim otoriter (authoritarian regimes).

Menurut parameter yang disusun IEU, hampir separuh dari populasi dunia (49,4 persen) hidup di tengah sistem demokrasi dan lebih dari sepertiga populasi hidup di bawah pemerintahan otoriter.

Sesuai dengan indikator kemerosotan skor demokrasi secara global, jumlah negara yang masuk kategori rezim otoriter sepanjang tahun kemarin memang mengalami peningkatan, dari semula 54 (2019) menjadi 57.

Sebenarnya, tren global dalam hal kemunduran demokrasi sudah bisa dibaca sejak beberapa tahun sebelumnya. Naiknya tokoh-tokoh iliberal, seperti Donald Trump di Amerika Serikat serta kecenderungan publik di berbagai wilayah untuk menerima kembali kendali militer dan aparat keamanan yang lebih kuat di sejumlah negara merupakan penandanya.

Mengutip The Washington Post, pada tahun 2017 sebuah jajak pendapat di Brasil menunjukkan bahwa 43 persen responden mendukung kebangkitan kembali militer. Sementara, di Filipina, sebuah jajak pendapat terbaru menunjukkan, 80 persen masyarakat menyetujui penggunaan kekerasan yang agresif dalam perang melawan narkoba yang dikampanyekan Presiden Duterte.

Di Indonesia sendiri, menurut riset Asian Barometer pada tahun 2016, 38 persen orang Indonesia yang disurvei menyatakan “sangat setuju” atau “setuju” bahwa “Angkatan Darat harus datang untuk mengatur negara”. Persentase ini adalah tertinggi kedua setelah Thailand (54 persen).

Ekspose atas tokoh-tokoh semacam itu dengan pendekatan kekuatan represif yang menyertainya, telah memberikan efek demonstratif berupa melemahnya norma-norma mengenai kontrol sipil secara global. 

Munculnya pandemi Covid-19 yang kemudian telah melahirkan pembatasan sosial secara global telah berimplikasi pada kian mundurnya praktik demokrasi di mana-mana. Di sisi lain, karena pandemi ini juga diperlakukan sebagai isu keamanan maka penanganannya juga telah memberikan potensi lebih lanjut terhadap terbukanya peran militer yang kian luas di wilayah-wilayah sipil.

Pada masa Orde Baru militer Indonesia juga pernah memiliki peran yang luas dalam urusan politik dan ekonomi, seperti yang kini masih kita lihat di Myanmar dan Thailand. Namun, sesudah Soeharto lengser dan mereformasi sistem ketatanegaraan, kita sudah berhasil memindahkan militer kembali ke peran tradisionalnya.

Ketika Jenderal SBY menjadi Presiden Republik Indonesia, ia dikenal sangat egaliter dan tertarik pada isu-isu global serta perdamaian. Hal ini telah ikut membantu mengubah citra militer Indonesia yang pada masa sebelumnya dikenal cenderung inward looking.

Catatan tentang pentingnya supremasi sipil, hidupnya masyarakat sipil, serta terjaminnya kebebasan masyarakat sipil, penting untuk terus-menerus disampaikan di tengah-tengah kemerosotan demokrasi secara global yang kini tengah terjadi.

Meminjam Robert Dahl (1989), demokrasi memang membutuhkan dua syarat. Pertama, angkatan bersenjata tunduk pada kontrol sipil. Dan kedua, warga sipil yang mengontrol militer dan polisi juga harus tunduk pada proses demokrasi. Artinya, demokrasi mustahil bisa ditegakkan oleh nilai-nilai atau aktor-aktor yang anti-demokrasi.

Saya kira, dunia sekarang ini sudah cukup berat menanggung pandemi Covid-19, jangan sampai otoritarianisme dan “virus kudeta para jenderal” juga ikut-ikutan menjadi pandemi.

Diktumnya jelas. Kalau ingin berkuasa, maka Anda harus berjuang melalui partai. Jika Anda belum punya partai, dirikanlah partai, atau masuklah ke dalam partai yang sudah ada melalui cara-cara demokratis. 

Begitulah cara kontestasi di alam demokrasi, Jenderal!

 

 

Jakarta, 10 Februari 2021

 
Berita Terpopuler