Indef Proyeksikan Ekonomi Kuartal I 2021 Kontraksi 1 Persen

Konsumsi rumah tangga masih lambat dan bantuan pemerintah tak begitu membantu.

Republika/Thoudy Badai
Pekerja menaiki bus transjakarta saat jam pulang kerja di Halte Transjakarta Harmoni, Jakarta, Kamis (21/1). Institute for Development of Economic and Finance (Indef) memproyeksikan ekonomi Indonesia masih akan menghadapi situasi kontraksi yang dalam pada kuartal pertama. Perkiraan ini dengan melihat situasi pandemi Covid-19 yang masih dinamis dan perkembangan daya beli maupun inflasi yang terjadi.
Rep: Adinda Pryanka  Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economic and Finance (Indef) memproyeksikan ekonomi Indonesia masih akan menghadapi situasi kontraksi yang dalam pada kuartal pertama. Perkiraan ini dengan melihat situasi pandemi Covid-19 yang masih dinamis dan perkembangan daya beli maupun inflasi yang terjadi.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mencatat, kasus harian Covid-19 terus bergerak naik dengan angka lebih dari 11.500 kasus per hari. Total kasus sudah di atas 1,1 juta kasus dengan kematian 31 ribu jiwa. Situasi ini merupakan rentetan realitas dalam 10 bulan terakhir yang dikhawatirkan masih berlanjut hingga akhir tahun depan.

Di sisi lain, ketidakpastian global masih terasa meskipun mereda di banyak negara. Perbaikan ekonomi China belum memberikan manfaat cukup besar bagi perekonomian Indonesia. Sementara, konsumsi rumah tangga masih lambat. Bantuan sosial yang diberikan pemerintah tidak dapat mempertahankan kebutuhan konsumsi rumah tangga, terutama makanan dan minuman.

"Kami perkirakan, pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun 2021 sebesar minus satu persen," tutur Tauhid dalam keterangan resmi yang diterima Republika.co.id, Senin (8/2).

Belanja pemerintah yang menjadi tumpuan ekonomi selama masa pandemi pun dinilai masih tidak efektif mendorong pemulihan. Pada kuartal keempat, laju pertumbuhannya bahkan melambat menjadi 1,76 persen (yoy) dari 9,76 persen pada kuartal sebelumnya.

Penurunan ini banyak disebabkan pemberlakuan working from home juga kebijakan penghematan belanja, terutama perjalanan dinas pemerintah dan kegiatan lain. "Ini juga tercermin menurunnya aktivitas administrasi pemerintah pada kuartal keempat tahun 2020," kata Tauhid.

 

Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pun dinilai tidak mampu menjadi pendorong ekonomi secara signifikan pada kuartal terakhir. Hal ini dilihat dari beberapa aspek, seperti bantuan sosial program sembako dan nonsembako yang tidak mendorong konsumsi makanan dan minuman tetap terjaga.

Tauhid menyebutkan, ketidaktepatan sasaran, mekanisme yang tidak efektif hingga nilai bantuan yang kecil menyebabkan kompleksitas masalah. "Dampaknya, program ini tidak bisa diharapkan lagi apabila tidak ada perubahan mendasar," tuturnya.

Capaian pertumbuhan ekonomi kuartal empat tahun lalu sebesar minus 2,19 persen menunjukkan masih panjangnya proses perbaikan ekonomi ke depan. Tauhid mengatakan, besaran tersebut masih belum sesuai dengan target.

Implikasinya menunjukkan akselerasi pertumbuhan ekonomi masih belum optimal. Khususnya dalam pengelolaan bauran kebijakan (mixed policy) terkait dengan mikroprudensial yang berkaitan dengan kebijakan PEN dalam pemberian insentif UMKM.

Tauhid juga menyoroti kontribusi sektor jasa keuangan dan asuransi terhadap capaian pembentukan PDB kuartal terakhir yang sangat kecil, yakni 4,57 persen. Sementara kontribusi yang paling tinggi berasal dari industri manufaktur, perdagangan, pertanian, konstruksi dan pertambangan.

 

Kondisi ini menunjukkan nilai tambah yang dibentuk dari sektor keuangan belum optimal. "Transmisi keuangan dari sektor jasa keuangan ke sektor riil masih belum efektif," ucap Tauhid.

 
Berita Terpopuler