Kasus SMKN 2 Padang Berujung SKB Larangan Pemaksaan Jilbab

Menag Yaqut Cholil Qoumas menilai kasus SMKN 2 Padang hanyalah fenomena gunung es.

Republika/Febrian Fachri
SMK Negeri 2 Padang yang sedang jadi sorotan karena pro kontra aturan siswi memakai jilbab|.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Febrian Fachri

Sekolah negeri kecuali di Provinsi Aceh, dilarang memaksa atau melarang penggunaan atribut keagamaan pada seragam guru dan murid. Aturan pelarangan ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah.

Terbitnya SKB tiga menteri ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari kasus jilbab di SMKN 2 Padang yang sempat viral pada akhir bulan lalu. Salah seorang orang tua murid bernama Elianu Hia memprotes pihak SMKN 2 Padang karena merasa anaknya dipaksa memakai pakaian berkerudung di sekolah.

Baca Juga

Protes Elianu ini menjadi viral karena ia sebarkan melalui akun sosial media Facebook milknya. Elianu yang merupakan non-Muslim terpaksa mendatangi sekolah karena anaknya sudah tiga kali dipanggil ke ruang bimbingan konseling lantaran tidak berpakaian seperti siswi lain yang memakai kerudung.

"Jadi, anak saya ini sudah tiga minggu ini dipanggil terus ke kantor BK, sehingga akhirnya saya datang. Saya tanya, ini kebijakan siapa, karena tidak ada keputusan menteri pendidikan atau keputusan gubernur. Mereka menjawab, ini keputusan sekolah. Wajib katanya," kata Elianu, Jumat (22/1).

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, adanya kasus-kasus yang mengarah kepada intoleransi beberapa waktu lalu di salah satu sekolah negeri di Padang hanya merupakan fenomena gunung es. Data-data yang dimiliki pemerintah, masih banyak sekolah negeri yang memaksa atau melarang penggunaan atribut keagamaan.

Baca juga : Soal SKB Seragam Sekolah, AYPI: Kebijakan tidak Mendesak

Oleh karena itu, kata Menag, SKB soal Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah mendorong untuk mengajarkan perdamaian dan menghargai perbedaan. Yaqut mendorong agar seluruh masyarakat, termasuk di lingkungan sekolah selalu mencari titik persamaan di antara perbedaan yang dimiliki.

"Tentu dengan cara bukan memaksakan supaya sama, tapi bagaimana masing-masing umat beragama ini memahami ajaran-ajaran agamanya secara substantif, bukan sekadar simbolik," kata dia, dalam telekonferensi, Rabu (3/2).

Menurut Yaqut, yang paling penting bukan kepada penggunaan atribut, namun pengetahuan agama secara substantif. Selain itu, indikator keberhasilan moderasi beragama adalah toleransi.

"Toleransi itu menghormati perbedaan, memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan. Mengekspresikan keyakinan dan menyampaikan pendapat," kata dia lagi.

Dalam telekonferensi yang sama, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, toleransi dalam keberagaman harus terus didorong. Sekolah seharusnya juga membangun wawasan sikap dan karakter pendidik dan tenaga kependidikan.

Baca juga : Nadiem Tiadakan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan

"Tujuan penerbitan SKB ini bahwa sekolah memiliki peran penting dan tanggung jawab dalam menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara," kata Tito.

Di dalam SKB ini, para murid serta orang tua dan guru tenaga kependidikan adalah pihak yang berhak memilih penggunaan seragam. Baik itu seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau dengan kekhususan agama.

Pihak selain individu tersebut tidak diperkenankan membuat peraturan yang memaksa penggunaan atau pelarangan terhadap atribut keagamaan. Mendikbud Nadiem Makarim menjelaskan, kunci yang ditekankan dalam SKB ini adalah hak untuk memakai atribut keagamaan itu adalah milik individu guru, murid, atau orang tua yang bersangkutan.

"Bukan keputusan daripada sekolahnya," kata dia.

 

Infografis Insiden Lepas Jilbab di Kepolisian New York - (Republika.co.id)

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara menyambut baik SKB tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah. Menurutnya, sekolah negeri adalah tempat keberagaman dan tidak seharusnya menekan siswa untuk menggunakan pakaian beratribut agama.

"Saya termasuk yang setuju bahwa sekolah negeri adalah sekolah yang multi atau beragam latar belakang anak, keluarga, bahkan agama. Sehingga seragam sekolah idealnya tidak melahirkan satu tekanan pada anak didik tertentu," kata Dudung, dihubungi Republika, Rabu (3/2).

Ia berpendapat, kebijakan yang disampaikan oleh pemerintah tidak terlalu bermasalah dan menyampaikan betapa pentingnya moderasi dalam beragama. Jangan sampai, kata dia, karena agama tertentu sehingga merugikan anak-anak tertentu.

"Agama itu adalah pilihan, warisan dari kedua orang tuanya sehingga semua penganut agama harus bisa merasa aman, nyaman, dan tidak tertekan," kata Dudung menambahkan.

Lebih lanjut, ia mengatakan, dalam proses pendidikan yang terpenting adalah pendidikan karakter atau pendidikan yang menguatkan akhlak peserta didik. Seragam atau pakaian merupakan satu hal penting yang bisa dikaitkan dengan menguatkan karakter atau kekhasan agama tertentu.

Namun, sekolah negeri mestinya menggambarkan tentang dunia yang penuh ragam. "Kecuali sekolah-sekolah khusus, sekolah swasta yang memang sekolah agama tertentu sehingga pembentukan karakter anak terkait dengan penguatan karakter pendidikan agama," kata dia lagi.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai perlu ada penegasan dalam SKB tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah. Kabid Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri mengatakan, SKB ini justru berpeluang untuk mencederai hak beragama di masyarakat.

Peraturan yang disusun di dalam SKB ini bisa diartikan bahwa pemerintah dan sekolah negeri tidak boleh mewajibkan siswanya menggunakan seragam beratribut agama. Di satu sisi, terdapat ajaran agama yang mewajibkan umatnya untuk menggunakan atribut tertentu.

"Tiap agama kan memiliki sisi konservatif dimana setiap agama ingin penganutnya menjalankan kewajibannya. Nah, ini bagaimana kementerian terkait dalam mengakomodasi keinginan atau hak beragama orang-orang tersebut?" kata Iman, pada Republika, Rabu (3/2),

Iman menjelaskan, orang-orang tersebut juga ingin agar ajaran agama ini bisa terlaksana. Misalkan kewajiban menutup aurat atau menggunakan jilbab bagi perempuan. Jika melihat SKB ini, maka siswi muslim juga tidak boleh diwajibkan menggunakan jilbab.

"Yang awalnya melalui perda ada intervensi terhadap kehidupan lingkungan sekolah dengan perubahan ataupun pemaksaan terhadpa sekolah, sekarang justru negara mengatakan tidak mewajibkan, sehingga orang tidak punya legitimasi untuk misalkan mewajibkan umatnya untuk menjalankan agamanya," kata Iman.

Pemaksaan atribut agama tertentu kepada seseorang yang berbeda agamanya memang salah. Namun, Iman mempertanyakan bagaimana dengan siswa yang agamanya sama dengan atribut keagamaan tersebut.

Selain itu, ia juga berharap agar Kementerian Dalam Negeri mengumumkan daerah-daerah mana saja yang melakukan pelanggaran. "Artinya, kita sebagai masyarakat kan butuh kepastian, mana nih yang melanggar, sekolah ini melanggar atau tidak," kata Iman menambahkan.

Kepala Sekolah SMKN 2 Padang Rusmadi mengatakan dirinya siap mematuhi SKB tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah. Rusmadi mengaku belum mendapatkan atau membaca detail isi SKB yang diumumkan pemerintah pusat hari ini.

Tetapi, katanya, sebagai lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan pemerintah, SMKN 2 Padang menurut dia akan mematuhi SKB tersebut.

"Saya belum baca detail isi SKB itu seperti apa. Tapi kita siap mematuhi," kata Rusmadi kepada Republika, Rabu (3/2).

Rusmadi menyebut dirinya juga akan segera melakukan koordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar mengenai detail implementasi dari SKB 3 menteri ini.

"Kita tentu akan koordinasikan dulu dengan Disdik provinsi," ucap Rusmadi.

Kepala Sekolah SMKN 2 Padang, Rusmadi (berdiri) saat konferensi pers terkait komplain ortu siswi memakai jilbab - (Febrian Fachri/Republika)

 

 

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Sekolah SMA N 1 Batusangkar Rahmat Hidayat mengatakan, pihaknya juga siap mematuhi SKB tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah. Rahmat menyebut selama ini di SMA 1 Batusangkar tidak pernah ada pemaksaan bagi siswi non-Muslim menggunakan seragam rok panjang, baju kurung dan berjilbab.

"Selama ini tidak pernah siswi non-Muslim kami keberatan menggunakan seragam berjilbab. Kami memberi mereka pilihan dan tidak ada pemaksaan," kata Rahmat kepada Republika, Rabu (3/1).

Rahmat mengatakan, di SMA 1 Batusangkar sekarang terdapat delapan orang siswi non-Muslim. Delapan orang ini menurut dia tidak pernah merasa terdiskriminasi dari sesama siswa dan guru yang mayoritas beragama Islam.

Begitu juga dengan pemeluk agama Islam di sekolah juga menghormati agama yang dianut murid non-Muslim tersebut. Dengan adanya SKB 3 menteri, Rahmat pun siap mematuhi. Menurut dia, SMA N 1 yang notabene sekolah negeri berada di bawah naungan pemerintah siap mematuhi arahan dari menteri.

"Tidak pernah ada persoalan perbedaan agama di SMA 1 Batusangkar," ujar Rahmat.

 

 
Berita Terpopuler