Setiap Malam Orang Indonesia Ngelonin 'Istri Belanda'

Kelonan bareng Istri Belanda jadi media berfantasi melawan sepi bagi para pria Eropa.

Ricky Bay/Gahetna.nl
Para aparat kolonial Belanda dengan para gundiknya di Batavia tahun 1900-an.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu

Siapa yang tidak bisa tidur tanpa memeluk guling? Bagi rakyat Indonesia, guling adalah benda yang nyaris mustahil absen ada di atas kasur. Bagi sebagian besar orang, memeluk guling saat tidur akan menambah rasa nyaman. Lantas, sejak kapan guling menjadi teman tidur orang Indonesia?

Guling saat ini memang menjadi benda yang lumrah dimiliki semua kalangan. Harganya juga tak mahal. Mulai dari berbahan kapuk, busa, sampai bulu angsa. Namun, tidak semua orang di abad 18 dan 19, memiliki guling. Barang ini hanya dimiliki kaum bangsawan, baik dari bangsa Eropa, atau pun pribumi.

Mendaras sejarah guling, mari kita mundur ke periode 300 tahun ke belakang, saat Indonesia masih berjuang mengusir para bangsa kulit putih yang menjajah negeri tercinta kita ini. Saat itu orang-orang Belanda datang ke negeri koloni tanpa didampingi kekasih atau istri.

Mereka yang tiba di Indonesia untuk urusan pekerjaan di berbagai sektor; pemerintahan, pelabuhan, sampai serdadu berpangkat rendah, merasa kesepian lantaran bertahun-tahun merantau di tanah jajahan. Untuk membunuh rasa kesepian di Indonesia itu, mereka yang memiliki harta akan mendatangkan istri atau kekasihnya dari Belanda atau negara Eropa lainnya. Persoalannya, ongkos mendatangkan istri, kekasih, atau perempuan dari Belanda sangatlah mahal.

Bagi pria Eropa yang hanya memiliki sedikit uang, mereka akan pergi ke rumah-rumah bordil untuk menyewa (maaf) gundik guna melepaskan hasrat biologis. Tak jarang mereka juga memelihara gundik yang diambil dari rumah bordil. Dari hubungan transaksional atau terlarang itulah lahir anak campuran yang dikenal dengan istilah Indo.

Seperti tertulis dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim China, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (1988), karya Leonard Blusse, anak laki-laki Indo itu banyak yang bekerja di pemerintahan kompeni. Malangnya, tidak sedikit anak perempuan Indo yang terjerembab di dunia pergundikan.

Untuk para pria Belanda yang enggan berurusan dengan rumah bordil, mereka akan menikahi wanita pribumi yang disebut Nyai. Namun, meski berstatus istri, hanya hitungan jari Nyai yang beruntung karena diperlakukan setara dengan warga Eropa oleh suami Belandanya.

Penjajah tetaplah penjajah. Pria-pria Belanda memperlakukan Nyai layaknya pembantu. Meski berstatus suami istri, hubungan mereka tetap layaknya majikan dan budak.

Para Nyai dianggap seperti pembantu, yang bertugas mengurus keperluan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah, dan mencuci pakaian. Bedanya, para Nyai memiliki tugas lemburan; menemani suami Belanda mereka di atas ranjang kala malam. Kehidupan para Nyai itu pun melekat hingga sekarang, jika seorang istri hanya berurusan dengan tiga hal; dapur, sumur, dan kasur.

Lain hal bagi pria Belanda yang kere bin koret seperti para serdadu berpangkat rendah. Mereka yang belum kaya, tidak memiliki opsi lain untuk memenuhi hasrat biologis yang datang saban malam.

Untuk menyalurkan libido, pilihan paling murah adalah membeli guling yang menjadi obat kesepian lelaki Belanda. Uang bisa dikumpulkan, tapi hasrat kelelakian yang bertahun-tahun tertahan harus disalurkan.

Guling dimanfaatkan sebagian orang Belanda untuk melepaskan kerinduan terhadap pasangan yang tertinggal di kampung halaman. Ngelonin guling menjadi cara untuk berfantasi membunuh sepi. Semua pria tahu, kesepian adalah musuh terbesar untuk tetap bugar.

Haryoto Kunto & Deddy H. Pakpahan dalam Seabad Grand Hotel Preanger, 1897-1997 (terbitan tahun 2000) menjelaskan, para prajurit atau bahkan pejabat Belanda, akan berfantasi dengan memeluk guling seakan-akan benda itu adalah perempuan yang dicintainya.

“Bagi pemuda dan pria Belanda yang tinggal di Nusantara, meninggalkan kekasih atau istrinya jauh di negeri Belanda sana, mereka mengobati rasa rindunya dengan cepat berangkat tidur, mengkhayal, seraya memeluk guling erat-erat,” tulisnya. Melihat kebiasaan itulah Sir Thomas Stamford Bingley Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia menamai guling sebagai "Dutch Wife" alias istri Belanda.

Salah satu penulis ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, dalam novelnya Jejak Langkah sedikit banyak menceritakan tentang sejarah guling. Pram menyebut orang Indonesia hanya meniru-niru orang Belanda karena belum lama menggunakan guling. Termasuk, Pram menyindir, para priyayi berkepala kapuk.

"Orang Belanda terkenal sangat pelit. Mereka ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Maka banyak juga yang tak mau menggundik. Sebagai pengganti gundik mereka membikin guling –gundik yang tak dapat kentut itu.”

Guling sebenarnya pertama kali bukan diperkenalkan orang-orang Belanda. Benda berbentuk tabung memanjang tersebut memiliki sejarah panjang, khususnya di wilayah Asia.


Para aparat kolonial Belanda dengan para gundiknya di Batavia tahun 1900-an. - (Ricky Bay/Gahetna.nl)

Guling lahir di kebudayaan Indisch abad ke-18 atau 19 yakni percampuran antara kebudayaan Eropa, Indonesia, dan China. Hadinoto, dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Kristen Petra Surabaya, dalam Indische Empire Style yang dimuat Jurnal Dimensi Arsitektur, Desember 1994 menjelaskan, percampuran budaya juga menciptakan berbagai benda seperti kursi Eropa, meja, dan tempat tidur dengan bantal.

"Termasuk perlengkapan baru yang disebut guling atau Dutch Wife, yang tidak ada dalam perlengkapan tempat tidur Eropa. Jadi khusus Indisch,” kata Hadinoto.

Di wilayah Asia Timur, seperti Jepang, China, Korea, guling memiliki nama "istri bambu". Nama lokalnya jukbuin, chikufujin, atau zhufuren. Istri bambu disematkan karena barang itu dibuat orang-orang di Asia Timur dari bambu yang dianyam hingga membentuk menyerupai tabung yang bisa dipeluk.

Keberadaan guling bahkan mengejutkan orang-orang yang baru tiba di Hindia Belanda. Sejarawan dan pastor dari Amerika Serikat John S.C. Abbott (1805–1877) menceritakan pengalamannya bertemu guling dalam “A Jaunt in Java”, yang dimuat di Harper’s New Monthly Magazine Volume XV, Juni-November 1857.

Abbott mengatakan, ketika berbaring di ranjang, Anda akan tidur dengan Dutch Wife. “Jangan terkejut! Anda tak akan mendapatkan ‘kuliah tirai’ (curtain lecture) karena Dutch Wife berbentuk bulat, bantal panjang keras, yang bikin takjub setiap orang asing ketika melihatnya terbaring rapi dan kaku di tengah ranjang seperti mayat kecil,” tulis Abbott.

Saking melekatnya guling dengan rakyat Indonesia, Presiden pertama RI, Ir Soekarno tak malu membanggakan guling sebagai salah satu identitas bangsa. Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1965) yang ditulis Cindy Adam, Bung Karno menyebut orang Indonesia adalah bangsa yang hidup dalam getaran perasaan.

“Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu‐satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang dipergunakan sekadar untuk dirangkul. Di setiap tempat‐tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulat‐ panjang yang dinamai guling. Guling ini bagi kami gunanya hanya untuk dirangkul sepanjang malam.”

Guling pun menjadi daya tarik pariwisata di Hindia Belanda. Dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda 1891–1942 (2019) karya Achmad Sunjayadi, menyebutkan guling adalah salah satu benda istimewa dari Indonesia. Sunjayadi merawikan, seorang penulis Inggris, William Basil Worsfold yang berkunjung ke Jawa pada 1892 mengaku sangat puas dengan pelayanan hotel-hotel di Pulau Jawa.

“Di depan kamar masing-masing terdapat beranda. Tempat tidur dilengkapi kelambu untuk menghindari nyamuk pada malam hari. Di atas tempat tidur ada bantal dan guling yang disebut Dutch Wife."

Sayangnya pengalaman Worsfold bersama guling di hotel-hotel Indonesia saat ini mulai menghilang. Anda yang pernah atau sering menginap di hotel, perhatikanlah, kenapa ya banyak kamar hotel di Indonesia sekarang tidak menyediakan guling? Padahal, meski di hotel, tidur tanpa memeluk guling, emang bisa? Apa ada yang lain untuk dipeluk? Hmmm...

 
Berita Terpopuler