Isu Taliban Muncul Lagi, Kasus Bansos dan Bungkamnya Juliari

Medsos kembali diramaikan isu soal radikalisme dan taliban di dalam tubuh KPK.

ANTARA/M Risyal Hidayat
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menunjukkan sampel barang bukti berupa paket bantuan sosial (Bansos) Covid-19 yang akan diserahkan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (16/12). Kasus korupsi bansos dengan salah satu tersangkanya adalah mantan mensos, Juliari Batubara saat ini tengah disidik oleh KPK. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Rizkyan Adiyudha

KPK kembali diserang oleh isu radikalisme dan taliban di dalam tubuh lembaga antikorupsi itu. Serangan lewat media sosial itu, menurut penyidik senior KPK, Novel Baswedan, adalah upaya pendukung koruptor yang kepentingannya terganggu dengan kerja pengusutan korupsi yang dilakukan oleh lembaganya.

"Isu radikal-taliban sudah sering digunakan oleh para pendukung koruptor padahal jelas itu isu tidak benar dan mengada-ada," tegas Novel dalam pesan singkatnya, Senin (25/1).

Baca Juga

Novel mengatakan, baik pegawai ataupun penyidik KPK saat ini sudah bisa memahami bahwa ketika isu tersebut kembali diramaikan, memperlihatkan ada kepentingan sejumlah pihak yang terganggu.

“Kawan-kawan sudah bisa menandai bahwa bila isu itu diembuskan, biasanya ada kepentingan mereka yang terganggu di KPK,” tutur Novel.

“Dan selama ini memang demikian, bila KPK sedang bekerja benar untuk perangi korupsi, maka mereka (para pendukung koruptor) menyerang menggunakan isu itu,” tambahnya.

Meski isu ini sudah berulang kali dibantah oleh KPK, Novel melihat isu ini masih efektif sebagai alat menyerang KPK. Namun, Novel juga yakin, belakangan sudah banyak masyarakat yang paham jika isu ini dihembuskan hanya untuk mengganggu kerja yang dilakukan oleh KPK.

"Rasanya masyarakat semakin paham bahwa upaya mengganggu dan menyerang pemberantasan korupsi dilakukan dengan segala cara, termasuk dengan cara membuat fitnah dan narasi-narasi seperti itu," ujarnya.

Novel enggan menyimpulkan jika isu radikal-taliban ini muncul karena kasus korupsi tertentu yang tengah diproses saat ini. Sebab, hal ini perlu dibuktikan.

Sebelumnya, dalam akun Twitter miliknya @nazaqistsha, Novel menyebut bahwa isu radikal dan taliban adalah lagu lama. Unggahan Novel tersebut menanggapi pernyataan dari akun @paijodirajo yang menyebut ketika KPK mulai diserang isu radikal-radikal atau taliban, itu artinya sedang ada misi yang sedang dijalankan oleh koruptor.

Mantan Juru KPK Febri Diansyah justru yakin bahwa isu taliban dan radikalisme di KPK kembali muncul lantaran lembaga antirasuah itu tengah mengerjakan kasus besar. KPK saat ini tengah menyidik perkara bantuan sosial (bansos) Covid-19 hingga penetapan izin ekspor benih lobster.

"Isu taliban dengan video tahun 2019 sebelum demo mahasiswa dimunculkan lagi. Berbarengan dengan mulai menghangatnya penanganan kasus korupsi Bansos Covid-19," kata Febri seperti dikutip dalam akun Twitter miliknya, Senin (25/1).

Dia menertawakan oknum yang "menjual" isu taliban di dalam tubuh KPK. Dia menduga, isu taliban ini selanjutnya akan digunakan untuk menyerang penyidik senior KPK Novel Baswedan dan kawan-kawannya.

"Dan mungkin dikaitkan dengan penyidik-penyidik yang sedang menangani kasus korupsi besar. Misalnya, kasus korupsi benur ataupun korupsi Bansos Covid-19 yang sedang ditangani KPK," katanya.

Dia berharap, kasus korupsi pengadaan bansos dan ekspor benih lobster dapat segera dituntaskan. Dia yakin, seluruh pegawai KPK sedang bersungguh-sungguh berjuang menangani kasus besar tersebut.

"Pimpinan KPK meskita juga bisa buktikan keseriusan mereka," kata pegiat antikorupsi ini.

Adapun video Taliban yang dimaksudnya sempat diunggah oleh akun Twitter @mochamadarip pada Sabtu (23/1) lalu. Dalam video itu, Febri menjadi orang yang dicatut sebagai anggota Taliban KPK dan disebut tengah menggembleng mahasiswa untuk melakukan tindakan anarkistis saat demo menolak revisi UU KPK 2019 lalu.

KPK menegaskan, akan terus mengusut perkara korupsi bansos Covid-19 hingga tuntas. Perkara tersebut diketahui telah mentersangkakan mantan menteri sosial (mensos) Juliari Peter Batubara.

"Terkait materi penyidikan tidak bisa kami sampaikan kepada masyarakat secara detail, nanti pada waktunya akan dibuka di depan persidangan," kata plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Senin (25/1).

Ali mengatakan, KPK terbuka terkait informasi apa pun yang berkembang di masyarakat. Dia mengatakan, KPK juga akan mengonfirmasi informasi tersebut kepada para saksi yang akan dipanggil untuk dimintai keterangan terkait perkara yang bersangkutan.

"Pemanggilan seseorang sebagai saksi dalam penyelesaian perkara tentu karena ada kebutuhan penyidikan," katanya.

Ali menjelaskan, pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi dilakukan terhadap pihak-pihak yang diduga mengetahui rangkaian peristiwa perkara. Sehingga, sambung dia, perkara yang ditangani akan menjadi lebih terang.

"Begitu juga dengan dugaan perbuatan para tersangka dalam perkara ini," katanya.

Perkara pengadaan bansos Covid-19 tidak hanya menjerat Juliari. Perkara itu juga mentersangkakan pejabat pembuat komitmen (PPK) kemensos Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW), Direktur PT Duta Putra Perkasa (DPP) Suharjito (SJT) serta satu pihak swasta lainnya, Sanjaya (SJY).

Juliari disebut-sebut menerima suap Rp 17 miliar dari fee pengadaan bansos sembako untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Jabodetabek. Suap tersebut diterima politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu melalui dua tahap.

Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, diduga diterima fee Rp 8,2 miliar. Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar.

JPB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Pekan lalu, KPK mengungkapkan bahwa, Juliari masih bungkam terakit kasus yang menjeratnya. Kondisi itu menyebabkan KPK jarang memeriksa Juliari.

"Sekarang, kalau ada seorang yang mempunyai informasi dia tidak mampu membuka sama sekali kan kita cari. Biarin saja mereka enggak mau ngaku, tapi kita cari pendukung yang ke arah sana, gitu loh," kata Deputi Penindakan KPK Karyoto di Jakarta, Rabu (20/1).

Karyoto mengatakan, akan menjadi pekerjaan yang sia-sia jika pemeriksaan terhadap Juliari dilakukan hingga memakan waktu panjang namun tidak memiliki hasil. Dia melanjutkan, KPK lebih baik memeriksa saksi-saksi lain guna mendapati konstruksi perkara tersangka.

"Kalau menteri kan perannya sudah di atas sekali, kebijakan. Dia hanya memerintah atau apa, tidak mungkin secara spesifik di lapangan dia ikut ini ikut ini, itu kan tergantung saksi-saksi itu bicara apa," katanya.

Korupsi Bansos Menjerat Mensos - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler