Varian Corona Afsel Vs Kemanjuran Vaksin dan Terapi Plasma

Varian baru virus corona dari Afrika Selatan disebut lebih menular.

Republika/Putra M. Akbar
Plasma konvalesen milik penyintas Covid-19 saat proses pendonoran di PMI DKI Jakarta, Selasa (19/1). PMI DKI Jakarta mencatat per tanggal 1 hingga 15 Januari 2021, sebanyak 307 penyintas Covid-19 telah mendonorkan plasma konvalesen yang nantinya akan ditransfusikan ke tubuh pasien positif Covid-19 untuk membantu penyembuhan. Republika/Putra M. Akbar
Rep: Rizky Suryarandika Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Temuan awal menambah bukti yang berkembang bahwa varian SARS-CoV-2 yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan lolos dari kemampuan netralisasi oleh antibodi dalam plasma pemulihan. Temuan itu diunggah di situs bioRxiv oleh beberapa universitas di Afrika Selatan dan Institut Nasional untuk Penyakit Menular (NICD) dari Layanan Laboratorium Kesehatan Nasional.

Varian 501Y.V2 melibatkan sembilan mutasi pada spike protein virus yang digunakan untuk menginfeksi sel. Hal ini membuat cemas para ilmuwan karena vaksin dan terapi plasma konvalesen yang dikembangkan belum lama ini menargetkan protein.

Baca Juga

Perubahan pada bagian spike protein virus dikhawatirkan dapat berdampak pada kemanjuran terapi dan vaksin. Para ilmuwan meyakini vaksin Covid-19 yang telah disetujui tetap efektif melawan varian virus corona di Inggris, meskipun penelitian tentang varian yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan mungkin sedang berlangsung.

Awal pekan ini, para peneliti mengatakan, strain Afrika Selatan 50 persen lebih menular dan telah terdeteksi di lebih dari 20 negara sejak akhir Desember 2020 dari data Organisasi Kesehatan Dunia. Hingga saat ini, tidak ada kasus strain yang dilaporkan di AS.


Sementara itu, dalam temuan awal yang diunggah pada Rabu lalu, para peneliti mengatakan, strain yang bermutasi nyaris lolos dari deteksi antibodi pelindung yang didapat dari terapi plasma konvalesen. Plasma dengan antibodi dari pasien virus corona yang sembuh diberikan dengan cara diinfuskan ke pasien Covid-19 untuk melawan infeksi.

Terapi tersebut sudah memiliki izin darurat di AS. Meski dapat memberikan manfaat bagi mereka yang melawan virus, bukti belum meyakinkan tentang cara kerja plasma konvalesen atau bagaimana cara kerjanya.

"Garis keturunan ini menunjukkan pelarian total dari tiga kelas antibodi monoklonal yang relevan secara terapeutik," tulis temuan itu dilansir Fox News pada Jumat (22/1).

"Selain itu, 501Y.V2 menunjukkan pelarian yang substansial atau lengkap dari antibodi penawar dalam plasma pemulihan Covid-19," menurut hasil penelitian itu.

Para peneliti mengatakan, data tersebut menekankan risiko infeksi ulang dan mungkin menunjukkan berkurangnya kemanjuran vaksin berbasis spike protein saat ini. Tim menguji plasma sembuh dari pasien virus corona terhadap jenis 501Y.V2, dan 48 persen dari 44 sampel tidak memiliki aktivitas netralisasi yang terdeteksi.

"Data ini juga berimplikasi pada keefektifan vaksin SARS-CoV-2, yang pada prinsipnya didasarkan pada respons kekebalan terhadap spike protein virus," kata makalah tersebut.

Para peneliti mendesak adanya platform desain vaksin yang dapat beradaptasi dengan cepat, sebab target virus bisa saja berubah. Peneliti juga mengingatkan perlunya mengidentifikasi target virus yang tak terlalu cepat bermutasi untuk digabungkan ke dalam imunogen masa depan.

"Penelitian terpisah yang dirilis Selasa lalu juga mengindikasikan vaksin mRNA (seperti yang dikembangkan oleh Pfizer dan Moderna) mungkin memerlukan pembaruan untuk menjaga efektivitas terhadap strain baru," tulis penelitian tersebut.

Temuan itu tidak berarti vaksin yang sudah ada menjadi tak berguna. Pakar imunologi dari University of Pennsylvania, E John Wherry, menyebut, vaksin Covid-19 tetap bermanfaat.

"Jangan berpikir kalau vaksin yang ada usang, karena masih ada perlindungan yang diberikan dengan level proteksi yang bagus," tuturnya.

 
Berita Terpopuler