Peneliti Israel: Efektivitas 1 Dosis Vaksin Pfizer 33 Persen

Peneliti Israel ingatkan bahaya Inggris menunda pemberian dosis kedua vaksin Pfizer.

AP/Tsafrir Abayov
Seorang paramedis militer Israel menyiapkan vaksin Pfizer Covid-19, untuk diberikan kepada lansia di pusat medis di Ashdod, Israel selatan, Kamis, 7 Januari 2021. Peneliti Israel menyebut, efektivitas satu dosis vaksin Pfizer hanya 33 persen.
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Di tengah rencana Inggris untuk menunda pemberian dosis kedua vaksin Covid-19 Pfizer menjadi tiga bulan, penelitian terbaru di Israel memberi tanda bahaya. Seharusnya, dosis kedua diberikan selang tiga pekan dari suntikan pertama.

Peneliti menyebut, banyak orang tua yang menerima vaksin Pfizer masih tetap rentan terhadap Covid-19 setelah menerima dosis pertama, terlepas dari 89 persen efikasi vaksin setelah 14 hari penyuntikan. Penasihat Organisasi Kesehatan Dunia, Profesor Ran Balicer, mengatakan, pihaknya tidak melihat adanya perbedaan antara kelompok yang divaksin dan tidak hingga hari ke-14 pasca vaksinasi.

Baca Juga

"Tetapi pada hari ke-14 pasca vaksinasi, penurunan sebesar 33 persen pada kelompok positif terlihat di kelompok yang divaksinasi, namun tidak di grup yang tak divaksin,” ujar dia, dikutip dari The Sun, Kamis (21/1).

Balicer merupakan seorang ahli epidemiologi dan kepala bidang inovasi untuk Clalit, suatu penyedia perawatan kesehatan terbesar di Israel yang melakukan penelitian itu. Dia menyebut, temuan tersebut benar-benar kabar baik di wilayahnya, namun tidak jika kondisi serupa terjadi di Inggris, di mana orang-orang tidak bisa menerima dosis kedua mereka dalam beberapa pekan ke depan.

Dalam penelitian di Israel itu, para ilmuwan membandingkan 200 ribu orang di atas usia 60 tahun yang telah diberi dosis pertama dengan 200 ribu orang yang tidak divaksin. Mereka melihat, adanya tingkat kepositifan harian dari berapa banyak orang yang dites positif terkena virus.

Menurut peneliti Israel, Profesor Nachman Ash, dosis tunggal tampak kurang efektif dari yang diduga sebelumnya. Bahkan, efeknya lebih rendah dari yang diungkap Pfizer.

Pfizer sempat mengatakan, satu dosis vaksinnya sekitar 52 persen efektif dan efektivitasnya meningkat menjadi 95 persen setelah dosis kedua. Ini didasarkan pada berapa banyak orang dalam percobaan yang mengembangkan gejala Covid-19.

Namun, penelitian Israel lebih kepada mencari kasus Covid-19 yang bergejala dan tidak bergejala dengan pengujian. Hasilnya menunjukkan kemanjuran yang menurun karena kasus infeksi asimtomatik.

Menanggapi penelitian itu, penasihat vaksin Pemerintah Inggris mengatakan, kemanjuran vaksin itu sekitar 89 persen, dimulai 14 hari setelah dosis pertama. Komite Bersama Vaksinasi dan Imunisasi (JCVI) Inggris juga menyebut bahwa perlindungan jangka pendek satu dosis cukup tinggi.

Berpegang pada alasan itulah, keputusan untuk memberi warganya dosis kedua setelah 12 pekan dilakukan alih-alih tiga pekan. Hal itu dilakukan untuk mempercepat peluncuran vaksin secara luas dan menyelamatkan banyak nyawa. Namun demikian, penelitian pendahuluan yang tidak dipublikasikan dari Israel tersebut melukiskan gambaran yang mengkhawatirkan.

Penelitian di dunia nyata

Penelitian yang dilakukan Israel menjadi pertama yang mencermati dampak vaksin dipelajari di luar uji klinis, yakni di dunia nyata. Menurut Kepala Penasihat Ilmiah di Inggris, Sir Patrick Vallance, kemanjuran pada kenyataannya memang bisa saja menurun dibandingkan hasil yang terlihat dalam uji klinis.

Menurut Vallance, dengan mempertimbangkan data penelitian baru dari Israel, saat ini Inggris juga harus berhati-hati. Ia menyebut, Inggris harus mengumpulkan lebih banyak informasi mengenai dampak pemakaian vaksin tersebut dalam beberapa pekan mendatang.

Ditanya tentang klaim Israel, Vallance mengatakan, penelitian menunjukkan bahwa dari hari ke 10 setelah vaksinasi hingga 21 hari dan seterusnya, ada peningkatan jauh, lebih seperti 89 persen. Meskipun ia mengakui, ketika operasional langsung dilakukan kepada khalayak, banyak hal baik seperti saat di uji klinis tidak terjadi.

"Mungkin tidak akan setinggi itu dalam praktiknya, tapi menurut saya tidak akan serendah angka yang baru saja disodorkan," jelas dia.

Sejauh ini, berdasarkan data, Israel menjadi negara dengan program vaksinasi yang paling luas dibanding wilayah manapun. Perbandingannya sekitar satu dari lima penduduknya.

Stephen Evans, profesor farmakoepidemiologi, London School of Hygiene & Tropical Medicine, mengatakan bahwa laporan penelitian dari Israel "tidak cukup untuk memberikan bukti" bahwa strategi vaksin Inggris saat ini adalah keliru.

 
Berita Terpopuler