John Hollis, Pria dengan Antibodi Super

Orang dengan antibodi super seperti John Hollis termasuk langka.

Ron Aira/George Mason University
John Hollis, pria AS yang memiliki antibodi super.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- John Hollis mulai merasa khawatir tertular Covid-19 ketika teman sekamarnya terkena penyakit tersebut. Pria yang merupakan mantan jurnalis tersebut tak sadar bahwa saat itu dia sebenarnya sudah pernah terkena Covid-19 dan dia mungkin yang menularkan penyakit tersebut kepada teman sekamarnya.

Yang lebih mengejutkan, Hollis ternyata juga memiliki antibodi yang tergolong langka di dalam darahnya. Antibodi yang dimiliki Hollis dikenal sebagai antibodi super.

Antibodi ini dapat menetralisir virus penyebab Covid-19, yaitu SARS-CoV-2. Meski diencerkan hingga 10 ribu kali, antibodi dari Hollis tetap bisa menangkal Covid-19.

Baca Juga

Antibodi seperti ini terbilang langka karena hanya ditemukan kurang dari lima persen pada populasi orang-orang yang pernah terkena Covid-19. Antibodi super yang dimiliki Hollis juga membuat darahnya menjadi sangat berguna dalam penelitian. Antibodi ini dapat membantu peneliti untuk mengidentifikasi terapi potensial untuk Covid-19.

"Mempelajari antibodinya memberikan kami cara-cara baru untuk melawan Covid-19," ujar ahli patologi dan bioengineer Dr Lance Liotta, seperti dilansir NBC News.

Dengan menggunakan antibodi dari Hollis, Liotta dan tim peneliti dapat memahami dengan lebih baik bagaimana cara membunuh virus SARS-CoV-2 dan cara memproduksi antibodi seperti milik Hollis secara massal. Saat ini, vaksin Covid-19 sudah mulai didistribusikan dan diberikan kepada masyarakat dunia.

Akan tetapi, terapi untuk mengobati Covid-19 juga tetap diperlukan. Hal ini membuat antibodi super dari Hollis menjadi sangat penting.

"Bila itu terdengar gila untukmu, bayangkan bagaimana perasaan saya," jelas Hollis.

Kisah Hollis dan antibodi super miliknya bermula ketika dia mengajak anaknya, Davis, untuk berjalan-jalan ke Eropa pada awal Maret. Tak lama setelah itu, mereka kembali ke Amerika Serikat sesaat sebelum penerbangan menunju negara tersebut dihentikan.

Setelah itu, Hollis mulai mengalami gejala hidung tersumbat. Akan tetapi, dia berpikir itu hanya masalah sinus biasa yang kerap dia alami. Keluhan ini hanya dialami Hollis dalam waktu singkat.

Tak lama setelah itu, teman sekamar Hollis mulai jatuh sakit dengan kondisi yang berat. Teman sekamar Hollis positif terkena Covid-19 dan sakit selama sekitar satu bulan.

Pada pertengahan Juli, Hollis berpartisipasi menjadi relawan untuk studi virus corona yang didukung oleh George Mason University President Gregory Washington. Ini merupakan studi yang dipimpin oleh Liotta.

Di saat itulah baru diketahui bahwa Hollis memiliki antibodi super yang penting dalam penelitian Liotta dan tim. Hal ini yang kemudian membuat Hollis sadar bahwa dia kemungkinan sudah terkena Covid-19 sebelum teman sekamarnya. Dan Hollis juga menyadari bahwa kemungkinan dia yang membuat teman sekamarnya tertular Covid-19.

"Itu berdampak buruk baginya. Saya merasa sangat bersalah kepadanya. Dan saya tak habis pikir, saya kebal terhadap (penyakit itu)? Antibodi saya bisa menolong sains moderen? Terlalu banyak yang harus saya pahami," ujar Hollis.

 
Berita Terpopuler