Kedelai Mahal? Urban Farming Bisa Jadi Solusi

Perajin tahu dan tempe sempat mogok produksi karena mahalnya harga kedelai.

Ilustrasi panen kedelai
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren bertani di pekarangan atau urban farming yang dilakukan masyarakat perkotaan tengah naik daun. Kegiatan pertanian kian digemari akibat pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas di luar rumah sekaligus keharusan untuk meningkatkan imun tubuh dengan konsumsi makanan sehat.

Baca Juga

Memasuk 2021, persoalan pangan muncul dari produk tahu dan tempe. Para pengrajin tempe bahkan sempat melakukan aksi mogok produksi disebabkan harga kedelai yang mayoritas impor kian meroket.

Sementara, produksi lokal belum dapat diandalkan lantaran jumlahnya yang minim serta kebiasaan industri untuk menggunakan barang impor.

Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani), Guntur Subagja, menuturkan, tren urban farming sejatinya bisa menjadi solusi untuk, setidaknya, menambal kebutuhan kedelai impor yang tengah mengalami kendala.

"Apakah kedelai bisa dengan urban farming? bisa, seperti ditanam dengan cara tabula pot. Jadi tidak hanya hidroponik, intinya semua kegiatan pertanian di pekarangan rumah itu adalah urban farming," kata Guntur dalam webinar yang digelar pada Rabu (6/1).

Sebagaimana diketahui, tren urban farming yang populer saat ini dilakukan masyarakat dengan sistem hidroponik. Komoditas yang ditanam yakni sayur-mayur dengan instalasi pipa yang dibuat bertingkat sehingga mudah dilakukan dalam lahan yang sempit.

 

 

Guntur melanjutkan, Indonesia punya potensi lahan yang sangat subur, tak terkecuali untuk kedelai. Sayang, produk tahu tempe yang digemari masyarakat saat ini justru menggunakan bahan baku kedelai yang diimpor seperti dari Amerika Serikat dan Kanada.

Covid-19 membuat jalur distribusi logistik mengalami gangguan. Guntur mengatakan, waktu pengiriman yang biasa membutuhkan 2-3 minggu jadi lebih lama hingga mencapai 9 minggu. Itu menyebabkan ongkos naik dan berdampak pada harga jual. Di sisi lain, permintaan kedelai AS dari China mengalami lonjakan sehingga Indonesia menerima dampaknya.

"Indonesia mestinya bisa menanam kedelai sendiri, namun pengrajin tahu dan tempe juga perlu diedukasi untuk menggunakan produk lokal," ujarnya.

Ia mengakui, terdapat perbedaan antara kedelai impor dan lokal. Menurut para pengrajin, kata Guntur, kedelai lokal memiliki sejumlah kelemahan dibanding impor. Oleh karena itu, edukasi menjadi penting sambil teknologi rekayasa terus dilakukan untuk menghasilkan komoditas kedelai lokal yang mampu menyaingi produk impor.

 
Berita Terpopuler