Cerita Petani Kedelai: Harga Jual Sangat Murah

Hasil dari panen kedelai hanya mampu memberikan balik modal tanpa keuntungan.

Petani kedelai
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masalah kedelai impor kembali mencuat setelah para pengrajin tahu dan tempe melakukan aksi mogok produksi lantaran harga bahan baku yang melambung tinggi. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) berjanji akan meningkatkan produksi lokal. Namun, petani menilai, harga jual kedelai lokal amat rendah dan sulit untuk mencari pasar.

Baca Juga

Salah seorang petani kedelai di Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Tata Marongge bercerita kepada Republika.co.id soal prospek usaha kedelai lokal. Ia menuturkan, kedelai menjadi salah satu komoditas yang ia tanam di musim kemarau.

Setiap tahunnya, maksimal penanaman hanya dilakukan sekali untuk luasan tanam berkisar 1 hingga 3 hektare. Menurut Tata, kadangkala hasil dari panen kedelai hanya mampu memberikan balik modal tanpa keuntungan. Itu lantaran harga yang sangat murah sementara biaya produksi yang tinggi.

"Harga jual kedelai sangat murah kalah dengan komoditas lain. Paling banter, bandar yang membeli itu sekitar Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kilogram," kata Tata kepada Republika.co.id, Selasa (5/1).

Adapun produksi maksimal yang diperoleh dalam 1 hektare sebesar 1,4 ton. Dengan kalkulasi harga jual tersebut, rata-rata pendapatan hanya Rp 7 juta - Rp 8,4 juta untuk satu hektare. Itu merupakan pendapatan maksimal jika hasil panen tidak ada gangguan.

Namun, Tata menuturkan, modal yang dikeluarkan dari kebutuhan sarana prasarana hingga biaya buruh bisa mencapai 7,8 juta. Itu sebabnya, usaha kedelai tak menarik bagi petani. "Itu kelemahan kedelai yang sudah saya alami sendiri. Bahkan hampir setiap musim tanam," ujarnya.

Kendati demikian, sebagai petani dirinya tetap berupaya untuk menanam kedelai. Alasannya sederhana, Tata menilai dalam berusaha tentu ada untung dan rugi dan menjadi petani tidak boleh mudah menyerah. Selain itu, ia mengaku pemerintah memiliki program bahwa seluruh kedelai lokal yang diproduksi petani setiap tahun harus terserap.

"Sebetulnya ada kedelai lokal yang dihargai sampai Rp 8.000 ke atas, cuma belum ketemu saja kemana harus menjualnya. Sebab saya hanya melalui tengkulak," ujarnya.

Selain dari segi harga, ia mengaku pengrajin tahu dan tempe juga sering membeda-bedakan antara kedelai lokal dan impor. Menurut dia, produsen tahu tempe menilai kedelai dari besaran bulir serta kandungan ampas kedelai yang bisa diperoleh. Dua patokan itu, menurut Tata, kedelai impor lebih unggul. "Kita kalah dengan kedelai impor," ujarnya.

BACA JUGA: Ternyata, Masih Banyak Warga di Kota Surabaya Tinggal di Kolong Jalan Tol

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengatakan, produksi kedelai dalam negeri harus dipacu untuk pemenuhan kedelai domestik kedepannya agar dapat dipenuhi secara mandiri. Pasalnya, kebutuhan kedelai setiap tahunya makin bertambah.

"Kondisi ini menyebabkan pengembangan kedelai oleh petani sulit dilakukan. Petani lebih memilih untuk menanam komoditas lain yang punya kepastian pasar. Tapi kami terus mendorong petani untuk melakukan budidaya. Program aksi nyatanya kami susun dan yang terpenting hingga implementasinya di lapangan," ucapnya.

Syahrul mengatakan, permasalahan kedelai saat ini dipicu oleh persoalan global sehingga membuat harga kedelai yang ada secara global itu terpengaruh khususnya dari Amerika Serikat. Menurutnya, masalah serupa tak hanya di Indonesia, namun juga di Argentina yang menjadi konsumen kedelai impor.

Karena itu, Syahrul, menuturkan Kementan fokus melipatgandakan produksi atau ketersediaan kedelai dalam negeri. Produksi kedelai dalam negeri harus bisa bersaing baik kualitas maupun harganya melalui perluasan areal tanam dan mengenergikan para integrator, unit-unit kerja Kementan dan pemerintah daerah.

"Tentu dengan langkah cepat dari Kementan bersama berbagai integtator dan pengembang kedelai yang ada kita lipatgandakan dengan kekuatan. Kita bergerak cepat, sehingga produksi kedelai dalam negeri meningkat," kata dia.

BACA JUGA: Ternyata, Masih Banyak Warga di Kota Surabaya Tinggal di Kolong Jalan Tol

 
Berita Terpopuler