Umroh tanpa Pembimbing

Sebuah kisah unik pergi umroh tanpa pembimbing

Foto : MgRol100
Ilustrasi Wisata Umrah
Red: Elba Damhuri

Oleh : Bustanul Arifin, Akademisi/Kolomnis

REPUBLIKA.CO.ID -- Kemarin di WA Group jumpa dan ngobrol dengan Kang Asep (Prof. Dr. Asep Saeful Muhtadi, Guru Besar UIN Sunan Gunung Jati, Bandung). Kami satu sekolah waktu Program Masters di University of Wisconsin-Madison, AS.

Izin saya berbagi cerita sedikit tentang kekonyolan (tepatnya: ketidaktahuan) saya dan Kang Asep, yang pergi umroh tanpa pembimbing, untuk refresh memori saja agar tidak pikun.

Begitu selesai sekolah, saya dan Kang Asep memang berniat mau mampir umroh, dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Kita urus-urus surat-surat administrasi ke KBRI Washington DC, dibantu Pak Hamdan. Kita belum pernah jumpa beliau, tapi orangnya sangat helpful. 

Bahkan, menguruskan visa masuk Arab Saudi juga, menggunakan paspor biru kita. Saya lupa berapa membayar biaya administrasinya. Seandainya pas jadwal pulang bersamaan dengan musim haji, insya Allah kita akan mampir haji juga. Bang Azhar Lubis pernah melakukan hal ini, juga dibantu Pak Hamdan. 

Tiket pulang dari sponsor kita ubah rutenya, melalui Travel Agent. Biasanya, tiket pulang ke Indonesia lewat LA (Garuda) atau lewat Narita (Northwest) atau Hongkong (United). Kita ubah lewat Chicago-London, terus Jeddah, transit sekian hari, terus Jakarta. Saya lupa, berapa harus nambah biaya. Tidak mahal sih, mungkin sekitar US$ 200 atau 250. 

Namanya saja kita pergi sendiri, tanpa Travel, semua dikerjakan sendiri/berdua, setiap orang membawa 2 koper gede-gede. Begitu mendarat di Jeddah, pemeriksaan imigrasi aman-aman. Sempat ditanya mau ke mana?

Kita bilang mau mampir umroh, sekalian perjalanan pulang sekolah dari AS ke Indonesia. Kalau kita bisa berhasa Inggris, orang-orang Arab biasanya agak hormat. 

Kita tukar uang Riyal secukupnya untuk naik taksi. Di luar Bandara banyak sopir taksi (dan mungkin calo-calo) menawarkan jasanya “Haram...haram...haram”. 

Kang Asep dan saya bisa lah sedikit berbicara Bahasa Arab, “Nahnu nadzhabu ila masjidil haram”. Kosa kata itu yang sering kita ingat waktu sekolah madrasah di kampung.

Ya, benar. Kita diturunkan di depan Masjidil Haram, ada semacam Terminal Taxi Bayangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 2.30 dini hari Waktu Makkah.

Begitu melihat kita bawa koper gede-gede, banyak orang yang menawarkan jasa hotel atau penginapan, “Funduk...funduk..” Setelah negosiasi keras, dapatlah kita penginapan sederhana, di seberangnya Pasar Seng, mungkin sekarang dekat Clock Tower itu. Kita sambil bergumam, “Oo.. mungkin ini menjadi salah satu Maktab Jamaah Haji Indonesia”.  

Di kamar mandi, ada sabun bekas penghuni sebelumnya. Kita pakai saja, karena kita memang tidak membawa sabun. Setelah mandi-mandi dan ganti baju bersih, kita pergi ke Masjidil Haram, menggunakan celana dan kemeja atau T-shirt biasa, sambil menunggu waktu subuh.

Believe it or not, saya dan Kang Asep merasa tidak kuasa atau tidak sanggup menatap Ka’bah, Baitullah, “Rumah” Allah yang Mahagung. Mengapa? Kita sama sekali tidak mengikuti aturan fiqih atau tatakrama beribadah umroh. Pengalaman adalah guru terbaik. Kita tidak pakai baju ihram, tidak patuh aturan miqat, dll. Kita tidak membaca doa-doa yang dituntunkan Rasulullah SAW. 

Setelah shalat subuh, sambil memandangi keagungan Masjidil Haram dan merencanakan untuk cari sarapan, tiba-tiba ada pemuda Indonesia mendekat, ngajak ngobrol. Rupanya dia orang Madura, kelahiran Bondowoso yang sudah lama bermukim di Mekkah, mungkin memang berniat “membantu” jamaah umroh atau orang-orang bingung seperti kami berdua. 

Dia kasih saran kami untuk membeli baju ihram, kemudian naik taksi keluar Masjidil Haram dulu ke Ji’ronah, yaitu miqat bagi penduduk Makkah. Kita mulai berniat umroh, pakai baju ihram, shalat 2 rakaat di Masjid Ji’ronah dan kembali lagi ke Masjidil Haram. Saya lupa, apakah Pemuda itu ikut kita ke Ji’ronah apa tidak. 

Kang Asep panggil pemuda itu dengan “Ustadz”. Beliau merasa senang dan dihormati. Kita tentu memberikan tip sekadarnya kepada Ustadz. Kemudian, bismillah, kita mulai dengan thawaf dan sa’i, terus tahalul. Seingat saya, kita tidak sempat mencium Hajar Aswad, cuma mengucapkan “Bismillahi Allahu Akbar” sambil mengangkat tangan. Alhamdulillah, prosesi umroh sudah boleh dikatakan selesai. 

Hari-hari berikutnya, kita juga sering melakukan thawaf, sambil menunggu shalat-shalat fardhu. Pada momen-momen itu, kalau tidak salah, kita sempat mencium Hajar Aswad. Pada hari ke-3 kita berdua ingin mengunjungi atau ziarah ke Madinah. 

Kita pergi ke Terminal Bus di Makkah, beli tiket 55 Riyal sekali jalan. Kita cuma membawa diri saja, semua koper kita tinggal di penginapan. Kita naik bus pagi, tiba di Madinah siang hari. Kalau tidak salah, tidak sempat ikut shalat dzuhur berjamaah, tapi sempat shalat ashar di Masjid Nabawi. Setelah ziarah ke Makam Rasulullah SAW mengikuti arus orang yang selesai shalat, kita keluar cari makan dan belanja oleh-oleh. 

Kang Asep tidak henti-henti berkomentar “Saya senang sekali di Madinah ini, Mas. Kotanya teratur, orangnya ramah-ramah, sangat sopan kepada kaum pendatang dll”. Kita berada di Madinah mungkin sampai shalat isya’, kemudian kembali lagi ke Makkah naik bus, malam itu juga. Kita masih sempat shalat subuh di Masjidil Haram lagi. 

Setelah satu malam lagi di Makkah, besoknya kita ke Jeddah naik taksi. Terus pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, perjalanan lancar, sampai di Jakarta dijemput oleh calon isteri. Kang Asep dijemput isteri dan anaknya, mampir sebentar, terus ke Bandung. Besoknya, saya terus pulang ke Madura, mengurus persiapan pernikahan. 

Pada bulan Juni tahun 1991 saya dan Sari terus menikah. Suatu kisah perjalanan yang tidak terlupakan, kombinasi antara berpetualang, nekad, sok tahu, konyol, dll. Saya ingat, pernah menuliskan cerita detail yang lebih lengkap di milis ISNET dan PERMIAS. 

Mungkin saya akan cari lagi, semoga masih ada, dan bisa dijadikan buku, untuk dibagi kisahnya kepada pembaca. Terima kasih. The End.

 
Berita Terpopuler