Arab Saudi Damai dengan Qatar, Ini Kata Pangeran MBS

Arab Saudi setuju untuk membuka kembali perbatasan dengan Qatar.

AP/Amr Nabil
Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman
Rep: Kamran Dikarma Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID RIYADH -- Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) mengatakan kebijakan negaranya didasarkan pada pencapaian kepentingan utama negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC). Hal tersebut disampaikan setelah Arab Saudi sepakat mencabut blokadenya terhadap Qatar yang sudah berlangsung selama 3,5 tahun.

"Kebijakan Kerajaan Arab Saudi, di bawah kepemimpinan Penjaga Dua Masjid Suci Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud, didasarkan pada pendekatan solid yang menargetkan pencapaian kepentingan utama negara-negara anggota GCC dan negara-negara Arab, selain memanfaatkan seluruh upaya untuk kebaikan rakyat mereka serta mewujudkan keamanan dan stabilitas mereka," kata Pangeran MBS dalam sebuah pernyataan yang dirilis Saudi Press Agency pada Senin (4/1).

Baca Juga

Keputusan Saudi membuka kembali perbatasan darat, laut, dan udaranya terhadap Qatar dilakukan pada malam KTT GCC ke-41 yang digelar di kota AlUla. Kuwait adalah negara yang mengumumkan pencabutan blokade tersebut.

"Berdasarkan usulan (Emir penguasa Kuwait) Sheikh Nawaf, disepakati untuk membuka wilayah udara dan perbatasan darat serta laut antara Kerajaan Arab Saudi dan Negara Qatar, mulai malam ini," kata Menteri Luar Negeri Kuwait Sheikh Ahmad Nasser al-Sabah seperti disiarkan televisi pemerintah.

Tak lama setelah pengumuman tersebut, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani mengonfirmasi kehadirannya di KTT GCC ke-41. "Emir negara sedang memimpin delegasi Negara Qatar untuk berpartisipasi dalam pertemuan GCC yang dimulai pada Selasa," kata kantor Sheikh Tamim dalam sebuah pernyataan.

Pada Desember lalu, Sheikh Ahmad Nasser al-Sabah memang telah mengumumkan adanya kemajuan dalam upaya penyelesaian krisis Teluk. Sejak krisis pecah pada Juni 2017, Kuwait telah mengambil peran sebagai mediator. "Diskusi yang bermanfaat telah terjadi baru-baru ini di mana semua pihak menyatakan keinginan mereka untuk mencapai kesepakatan akhir," ujarnya.

Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani  menyambut pengumuman tersebut. "Pernyataan Kuwait adalah langkah penting untuk menyelesaikan krisis GCC," kata dia lewat akun Twitter pribadinya pada 5 Desember lalu.

Dia berterima kasih atas peran mediator yang diemban Kuwait. Al-Thani pun mengucapkan terima kasih kepada Amerika Serikat (AS) yang turut berperan dalam mendorong penyelesaian krisis Teluk. "Kepentingan dan keamanan masyarakat Teluk serta kawasan tetap menjadi prioritas utama kami," ujarnya.

Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan turut mengapresiasi peran dan upaya yang dilakukan Kuwait untuk menyelesaikan krisis Teluk. Dia pun menyampaikan terima kasih atas dukungan AS  dalam penyelesaian persoalan itu.

Menurut dia, berkat peran Kuwait, terdapat beberapa kemajuan dalam upaya penyelesaian krisis Teluk. Pangeran Faisal mengatakan pemerintahan Presiden AS Donald Trump juga membantu mendekatkan para pihak terkait. Ia berharap kemajuan itu akan mengarah pada kesepakatan akhir.

"Saya agak optimistis bahwa kami hampir menyelesaikan kesepakatan antara semua negara dalam sengketa untuk mencapai resolusi yang kami pikir akan memuaskan semua," kata Pangeran Faisal selama partisipasinya di Rome Med 2020.

Krisis Teluk telah berlangsung sejak Juni 2017. Hal itu bermula saat Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir menuding Qatar mendukung kegiatan terorisme dan ekstremisme di kawasan. Doha dengan tegas membantah tuduhan tersebut.

Kendati telah menyanggah, Saudi, Mesir, Bahrain, dan UEA tetap memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Keempat negara itu juga memboikot dan memblokade seluruh akses ke Doha. Saudi serta sekutunya kemudian mengajukan 12 tuntutan kepada Qatar.

Tuntutan itu antara lain meminta Qatar menurunkan hubungan diplomatik dengan Iran dan menutup media Aljazirah. Doha juga diminta menutup pangkalan militer Turki di negaranya. Jika menginginkan boikot dan blokade dicabut, Qatar harus memenuhi semua tuntutan tersebut.

Namun Qatar menolak melakukannya karena menganggap semua tuntutan tak masuk akal. Akibat sikap tersebut, Qatar dikucilkan.

 
Berita Terpopuler