Jenderal Haftar Ancam Targetkan Pasukan Turki

Haftar meminta pasukan Turki keluar dari Libya.

Yannis Kolesidis/EPA
Jenderal Khalifa Haftar.
Rep: Fergi Nadira Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pemimpin Tentara Nasional Libya atau Libyan National Army (LNA) Jenderal Khalifa Haftar mengancam akan menggunakan kekuatan terhadap pasukan Turki. Hal itu bakal dilakukan milisinya jika Ankara tidak menghentikan dukungan kepada pemerintah Libya yang diakui PBB, Government of National Accord (GNA) di Tripoli.

Komentar panglima perang Haftar muncul sebagai tanggapan atas keputusan Parlemen Turki memperpanjang selama 18 bulan undang-undang soal penempatan pasukan Turki ke Libya. Seperti diketahui, bantuan militer Turki kepada pemerintah sah yang berbasis di Tripoli, termasuk penasihat, peralatan, dan intelijen, membantu menghentikan serangan Haftar selama setahun di ibu kota.

"Tidak akan ada keamanan atau perdamaian selama militer Turki menodai tanah kami yang bersih," kata Haftar  seperti dikutip laman Daily Sabah, Jumat (25/12).

Komentarnya dibuat di Benghazi pada peringatan 69 tahun hari kemerdekaan Libya. "Kami akan membawa senjata mewujudkan perdamaian dengan tangan kita sendiri dan keinginan bebas kita," ujar Haftar.

Keputusan anggota parlemen Turki diambil Selasa (22/12) waktu setempat. Sebelumnya kedua pihak bertikai di Turki, otoritas yang berbasis di Timur dan Barat sepakat melakukan gencatan senjata ada Oktober. Kesepakatan gencatan senjata memuat kepergian pasukan asing dan tentara bayaran dalam waktu tiga bulan.

"Musuh yang menjajah memiliki satu dari dua pilihan: pergi dengan damai atau diusir dengan paksa," kata Haftar, mengacu pada Turki.

Sementara itu, Misi Dukungan PBB di Libya menggunakan kesempatan nasional yang sama untuk mendesak pemberontak Libya (LNA) menjalankan kesepakatan gencatan senjata. UNSMIL juga menyerukan pihak-pihak bertikai menghormati peta jalan politik untuk membayangkan penyelenggaraan pemilihan nasional pada Desember 2021.

"Sementara Misi menyerukan kepada warga Libya untuk mengkonsolidasikan upaya mereka dan mengambil langkah berani menuju rekonsiliasi nasional, dan untuk menantikan masa depan yang cerah bagi semua warga Libya untuk hidup dalam perdamaian dan kemakmuran, dan kami menegaskan komitmen penuhnya untuk membantu rakyat Libya dalam membangun negara bersatu," tulis pernyataan UNSMIL yang dikeluarkan Kamis (24/12).

Baca Juga



Awal bulan ini, 75 politisi Libya dari kubu oposisi bertemu secara virtual dalam forum politik yang diprakarsai oleh PBB. Mereka setuju untuk mengadakan pemilihan tahun depan. Namun, pihak bertikai gagal mencapai kesepakatan soal mekanisme pemilihan dan pemerintahan transisi yang akan menjalankan negara menjelang pemungutan suara.

"Gencatan senjata yang lemah terus berlangsung di Libya antara pasukan yang bersekutu dengan pemerintah yang berbasis di Tripoli dan saingan mereka di timur," kata sebuah komentar yang diterbitkan oleh The International Crisis Group.
Sepanjang kampanyenya untuk mencoba merebut Tripoli, Haftar mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Prancis, dan Rusia. Sebuah laporan ahli PBB mengatakan bahwa Rusia telah mendukung pasukan Haftar dengan peralatan militer dan operasi bersenjata swasta. Sementara pemerintahan di Tripoli menikmati dukungan dari Turki, Italia dan Qatar.

Libya mengalami kekacauan setelah pemberontakan 2011 berhasil menggulingkan dan membunuh diktator Muammar Gaddafi. Sejak 2015, Libya telah terbagi antara dua pemerintahan, satu di timur dan satu di barat. Pemerintah barat dikenal sebagai GNA yang secara resmi diakui oleh PBB.


 
Berita Terpopuler