Selamatkan Hak Anak Korban Perceraian 

Angka perceraian di Pulau Jawa Meningkat akibat pandemi Covid 19.

ANTARA/Novrian Arbi
ilustrasi:kasus perceraian suami istri.
Rep: Arie Lukihardianti Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Di sebuah kontrakan berukuran 3x4 meter, seorang ibu muda tampak menatap kosong layar handphone di tangannya. Matanya terlihat sembab berkaca-kaca sambil tersenyum getir saat Republika datang ke rumah itu. Tak banyak barang terlihat di rumah kontrakan petakan itu. Hanya sebuah tempat tidur, televisi satu lemari, dispenser dan beberapa piring serta gelas. 

Sementara, di sampingnya ada seorang balita berusia 2 tahun sedang bermain di atas tikar. Sesekali, perempuan muda yang tinggal di daerah Leuwi Panjang Kota Bandung itu mengelus rambut anak kecil disampingnya.

‘Saya sangat kangen anak saya yang pertama Teh, ini fotonya lucu ya,’ ujar Sabrya Nuri (25 tahun, bukan nama sebenarnya, red)  membuka pembicaraan.

Sabrya mengatakan, sebelum pandemi ia tinggal di rumah dua lantai yang sangat nyaman bernilai miliaran. Kemudian, usaha suaminya tak berjalan mulus sehingga mereka harus menjual rumah dan dua kendaraannya untuk bertahan hidup.

Saat awal menikah, Sabrya dan suaminya memiliki sebuah cafe. Ternyata, saat menjalankan bisnis cafe itu suaminya malah berselingkuh dengan partner bisnis cafenya. 

Sabrya dan keluarganya, malah harus pindah ke rumah yang lebih kecil. Karena, usaha suaminya tersebut yang tak berjalan baik. Awalnya, kehidupan keluarga Sabrya dengan dua orang anak bahagia. Hingga akhirnya, Sabrya memiliki bukti perselingkuhan suaminya. Kehidupan Sabrya pun berubah drastis. 

Suami Sabrya, ternyata lebih memilih untuk hidup bersama pasangan barunya. Sabrya pun, tak bisa mempertahankan rumah tangga yang ia jalani sudah sekitar 5 tahun. Perceraian, mulai diproses seiring pandemi covid 19 terjadi. Sabrya, resmi bercerai pada April lalu.

Sabrya, harus keluar dari rumah nyamannya. Ia, memulai hidup baru dengan mengontrak rumah bersama anak bungsunya. Karena, si cikal Shaka yang berumur 3,5 tahun di bawa oleh mantan suaminya.

Sabrya mengaku tak memiliki pilihan, suaminya meminta saat berpisah anak mereka dibagi dua. Namun, Sabrya tak menyangka berpisah dengan anak sulungnya membuat penderitannya semakin lengkap.   

“Saya tak menyangka setelah membawa anak yang pertama, mantan suami saya mulai menutup komunikasi sedikit-sedikit sampai akhirnya benar-benar ditutup seluruhnya,” kata Sabrya dengan suara parau. 

Saat ini, menurut Sabrya, ia harus menyimpan kerinduan yang besar pada anak pertamanya yang masih tergolong balita. Karena, semua akses dimulai dari Whats App, Face Book, maupun Instagram di block oleh mantan suaminya. Padahal, selama ini media sosial menjadi alat satu-satunya untuk Sabrina melepas kerinduan pada anaknya. Walaupun, hanya dengan melihat foto dan video. 

‘Sekarang, saya ga bisa liat foto atau status-status anak saya. WA di block, semua di block akses komunikasi dan medsos ditutup. Akses saya sebagai ibu di blok tak bisa melihat anak sendiri,’ katanya.

Bahkan, menurut Sabrya, hal yang paling membuatnya terpukul adalah ia mendengar kabar dari temannya, yang bertemu dengan mantan suami dan anaknya, tentang perlakuan yang kurang baik dari ayahnya. Bahkan, cerita tak baik tentang cara mantan suaminya membesarkan anak, kerap ia dengar. 

Sabrya mengaku, ia banyak menerima infromasi dari temannya yang bertemu dengan anak sulungnya itu. Kondisinya, memperihatinkan dan tak layak. Anaknya, tak terurus, kotor, kelaparan dan selalu dibawa keluar malam hari.

“Yang terparah, ada aduan dari teman saya dan teman mantan suami, anak saya itu dicekokin minuman dengan bangganya oleh ayahnya. Entah atas dasar apa, mantan saya tega memberikan minuman ke anak di bawah umur,” paparnya sambil menyeka air mata.

Sabrya mengatakan, masih bersadarkan cerita temannya, mantan suaminya itu datang dengan bangganya membawa sebotol minuman. Lalu, meminta anak lelakinya untuk minum atau mungkin mencicipi.

“Malam itu, karena mabuk mantan suami saya sampai ga bisa jalan. Lalu ditolong teman-temannya. Anak saya, malemnya nangis-nangis mungkin dia ga nyaman dengan minuman yang dicicipinya. Sementara, ayahnya mabuk ga berdaya. Anak saya, sampai ditolong oleh teman-teman ayahnya. Dari mulai memberi makanan sampai memandikan sampai ayahnya sadar tak mabuk lagi,’ kata Sabrya menceritakan.

Sabrya mengaku, untuk menyelamatkan masa depan anaknya, ia pun berusaha mencari bantuan ke pihak yang berwenang. Salah satunya, mengadu ke P2TP2A dengan membawa saksi dan bukti. Hanya satu keinginannya, anaknya bisa kembali diasuh dalam pelukannya. 

Hasil laporan ke P2TP2A itu, kata dia, menyatakan anak tak bisa dicari karena tak tahu keberadaannya. Selain itu, tak bisa mengikuti konseling karena ada tahap mediasi. Nantinya, hak asuh bisa diobrolkan kembali oleh orang tua.

‘Rasanya terpisah dengan anak itu sedih dan terpukul. Sangat berat menahan rindu. Berbulan-bulan ga ketemu dan berkomunikasi. Saya hanya ingin memastikan anak saya baik-baik saja,’ katanya lirih.

Sabrya mengatakan, ia terus berharap bisa mendapatkan akses bertemy dengan anaknya. Karena, ia tahu anaknya pun merasakan kerinduan yang sama pada dirinya. Waluapun, menurut informasi selain tinggal dengan mantan suaminya anaknya diasuh oleh selingkuhan mantan suaminya yang sekarang telah menjadi istrinya.

 “Doa dan keinginan saya cuma satu, ingin bertemu dengan anak saya dan aksesnya tak ditutup lagi. Tapi, saya juga bingung harus mencari kemana dan harus melakukan apa,” katanya.

 

 

Setiap anak berharap memiliki orang tua utuh dan hidup bahagia. Sayangnya, tidak semua anak beruntung mendapatkanya dan harus merasakan perceraian orang tua (Ilustrasi Kesedihan Anak) - (Pxfuel)

Selain anak Sabrya, seorang anak korban perceraian lainnya, Raffana (14 tahun, bukan nama sebenarnya, red) harus merasakan pahitnya kenyataan hidup akibat kedua orang tuanya berpisah di saat pendemi ini. Sebelum pandemik, ibunya Raffana sebenarnya sudah mencium ada yang tak beres dengan suaminya. 

Bahkan, menurut Raffana, saat duduk di bangku SD, ia sering memergoki ayahnya sedang menghubungi perempuan lain. Hal itu, diungkapkan oleh Raffana pada ibunya. Namun, ibunya tak percaya. Hingga akhirnya, kecurigaan Raffana terbukti karena pandemi. 

Saat semua orang harus bekerja di rumah, Ayah Raffana aktivitasnya tak berubah. Bahkan, pulang kerja selalu larut malam. Hal itu, membuat kecurigaan ibunya semakin besar. Pertengkaran demi pertengkaran kedua orang tuanya harus disaksikan oleh Raffana. Hingga akhrinya, kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah.

‘Ya sedih banget harus berpisah dengan ayah dan dua adik saya,” ujar Raffana singkat sambil menunduk dan kembali memainkan handphonenya berusaha menyembunyikan kesedihan.

Raffana mengatakan, ia sangat terpukul dengan perpisahan kedua orang tuanya. Apalagi, saat kedua orang tuanya meyakinkan dirinya untuk memilih tinggal bersama ayah atau ibunya. Ia, sangat bingung. Akhirnya, ia memilih tinggal dengan ibunya. Walaupun, Raffana setiap hari hanya di temani neneknya karena ibunya harus bekerja di luar kota. Sementara dua adiknya yang masih kecil-kecil harus di bawa oleh ayahnya.

‘Sedih, ga bisa main sama adik-adik lagi,” katanya singkat berlinang air mata.

Gambaran kehidupan Anak Balita Sabrya maupun Raffana, merupakan protret sehari-hari yang terjadi di Negara kita akibat angka perceraian di masa pandemic yang tinggi. 

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Dirjen Badilag MARI), angka perceraian di Pulau Jawa Meningkat akibat pandemi Covid 19. Penggugat, umumnya berada di Pulau Jawa. Khususnya di Provinsi Jawa Barat, di Kota Semarang dan Surabaya. 

Pada awal PSBB bulan April dan Mei 2020 angka perceraian di Indonesia di bawah 20 ribu kasus. Namun, pada Juni dan Juli 2020 jumlah perceraian meningkat menjadi 57 ribu kasus.   

Menurut Komisioner KPAI bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, kasus perceraian yang tinggi memang berimplikasi pada kasus kekerasan anak. Hal itu, diketahui dari 9 data yang masuk ke KPAI ada data aduan keluarga dan pengasuhan alternatif. Salah satunya, laporan anak korban perceraian karena akses bertemu dengan orang tuanya sulit. Selain itu, anak pun kebingungan, bagaimana pengasuhan antara ibu dan bapak yg sudah bercerai. 

"Ini malah muncul karena kekerasan di antara dua belah pihak yang bersikeras kedua-duaanya ingin mengasuh akhirnya akses ketemu dua-duanya akan terjadi problem. Ini persoalan kita," katanya. 

Masalah lainnya, kata dia, termasuk anak yg ditelantarkan. Dari data KPAI 2019 kasus kekerasan pada anak ini ada 896 kasus. Sementara, pada 2020 per 31 Agustus datanya sudah melebihi 2019. Yakni, mencapai 963.

"Ini kan sisa masih ada 3 bulan lagi. Jadi kayaknya kasus kekerasan anak bisa melebihi angka 1.000 untuk kasus keluarga dan pengasuhan anak ini," katanya.

 

Perceraian (Ilustrasi) - (The Guardian)

Tentu saja, kata dia, ini akan ada dampak kekerasan baik fisik maupun psikis. Termasuk juga, keberlangsungan pendidikan anak. Karena, dalam situasi pandemi PJJ butuh pendampingan orang tua.

Sementara, kata dia, kalau sudah bercerai maka kedua orang tuanya tak ada lagi fokus untuk mendampingi anaknya. Kondisi ini, akan berdamoak pada pendidikan anak. Bahkan, bisa putus sekolah.

"Situasi pandemi ini membutuhkan kesiapan anak agar tak stres, mereka butuh pendampingan. Nah adanya perceraian dari sisi pengasuhan ini akan terabaikan," katanya.

Jasra merinci, banyak hak yang akan terampas dari anak korban percerain. Di antaranya hak kesehatan, hak kasih sayang, hak pendidikan, hak lingkungan ramah, dan hak-hak lainnya.

"Orang tua tak memenuhi haknya biasanya kami mediasi. Kan mantan suami istri ada tapi tak ada mantan anak," katanya.

Seharusnya, kata dia, orang tua yang bercerai paham akan kondisi anak. Sehingga, dampak perceraian bisa diminimalisir. "Harusnya keluarga besarnya yang memperhatikan saat orang tuanya abai," katanya.

Terkait Raperda Perlindungaan Anak yang sedang disusun Pemprov Jabar, Jasra berharap perubahan peraturan daerah tersebut harus sudah mengevaluasi aturan sebelumnya. Yakni, mana yang sudah berhasil dan mana yang harus dtingkatkan. 

"Kalau ternyata dalam pelaksanaanya ada gap, saya berharap Perda yang baru bisa menjawab gap itu," katanya.

Di Indonesia, kata dia, ada 31 hak anak yang harus dipenuhi pemerintah daerah dan masyarakat. Revisi Perda perlindungan anak yang dilakukan Provinsi Jabar diharapkan bisa menjawab semua persoalan. "Kami harap, Perda tak hanya seperti menu makanan. Yakni, ada daftar tapi tak bisa semuanya dicicipi," katanya.

Jasra menilai, setelah Perda Perlindungan anak ini disahkan harus ada pihak organisasi perangkat daerah (OPD) yang bertanggung jawab. Jadi, jangan norma saja tapi tak implementatif. Yakni, harus dijabarkan lagi dalam peraturan gubernur (Pergub) dan Peraturan Bupati (Perbup).

"Perda Perlindungan anak,  harus mampu menjawab persoalan anak. Termasuk bagaimana mengatasi kasus di dalam rumah yang selama ini kita tahu dari laporan. Kekerasan anak kan seperti gunung es yang terungkap sedikit," katanya. 

Sementara menurut Anggota Komisi V DPRD Jabar yang juga Anggota Panitia Khusus (Pansus) Penyelenggaraan Perlindungan Anak (PPA), Siti Muntamah, angka percerain di tengah pandemic ini tinggi. Karena, salah satu dampak dari pandemi covid 19 ini  selain kesehatan, sosial, ekonomi, dampak terbesarnya adalah perceraian yang naik sampai 4 kali lipat. Kondisi ini, memperihatinkan bagi semua karena keluarga harusnya menjadi benteng terakhir dari perlindungan yang diberikan pada anak. 

“Saya sedih, apa pun judul persoalannya sebaiknya harus mempertahankan keutuhan keluarga. Ini, pekerjaan rumah terbesar dari kabupaten/kota di Jabar. Karena perceraian tinggi tak hanya di Bandung tapi juga Bandung Raya,” katanya.

Siti mengatakan, ada beberapa dampak yang akan dialami anak korban perceraian. Yakni,  anak akan merasa terjatuh harga dirinya, terjatuh masa depannya, terjatuh keberadaanya dan merasa menjadi tidak penting. Jelas, semua anak akan menjadi korban dalam hal ini.

“Jiwa anak pasti terguncang apalagi saat harus memilih salah satu orang tuanya. Bagaimana jiwa dan merannya anak melihat yang bercerai,” katanya.

Siti menjelaskan, berdasarkan konvensi PBB hak dasar yang harus diterima anak ada 4. Yakni hak terhadap keberlangsungan hidup, hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan, dan hak paritsipasi. Namun, di Indonesia ada 31 hak anak yang harus dipenuhi, di antaranya hak pendidikan, kesehatan ramah anak, hak lingkungan ramah anak dan hak-hak lainnya.

Siti menilai, saat kedua orang tua bercerai maka ada berbagai hak yang terampas dari seorang anak. Yakni, pertama hak tumbuh kembang. Karena, tumbuh kembang anak tergantung kondusivitas keluarga. Karena, yang memberikan cinta kasih sayang dan perhatian pada seorang anak seharusnya keluarga terdekat yaitu orang tua. 

“Tapi saat bercerai hak ini menjadi kurang sempurna,” katanya.

Hak kedua yang akan tercabut, kata dia, perlindungan anak. Karena, anak seharusnya merasakan perlindungan kedua orang tunya. Namun, perceraian kerap memaksa anak harus memilih tinggal dengan ibu atau dipaksa ikut dengan ayahnya. Bahkan, ada anak yang harus terpaksa tidak ikut dengan ayah atau pun ibunya tapi harus tinggal dengan keluarga yang lain. 

“Ini jadi hal yang berat dirasakan anak. Jadi, perlu mendorong hadirnya penguatan keluarga melindungi hak penting yang harus diperoleh anak,” katanya.

Siti khawatir, tingginya perceraian di masa pandemi ini akan menemukan anak-anak yang dirudung kesedihan mendalam dan mengalami kekecewaan kuat. Selain itu, anak pun dikhawatirkan akan kehilangan tempat melabuhkan berbagai persoalan yang dihadapinya. “Kalau kondisi ini terjadi, dikhawatirkan akan menjadi persoalan sosial seperti kenalakan remaja mungkin,” katanya.

Dikatakan Siti, untuk melindungi semua hak anak di Jabar, saat ini pihaknya sedang mematangkan Raperda PPA. Aturan ini dirumuskan, agar ada perlindungan anak Jabar. Karena, saat ini Perda yang ada di Jabar sudah kurang relevansinya terhadap pemenuhan anak berdasarkan konvensi hak anak. Yakni, kalau di Perda sebelumnya lebih menyorot pada perlindungan anak untuk perlindungan khusus. “Untuk Raperda hari ini  akan dibuat sesuai dengan konvensi hak anak yakni memperhatikan pencegahan dan perlindungan khusus anak,” katanya.

 Tujuan dari Raperda PPA ini, merupakan bagian dari konvensi anak. Serta, bagian integral dari provinsi layak anak. Selain itu, memberikan cakupan lebih luas karena ada pencegahan dan perlindungan khusus. Serta, semua pihak terlibat dalam perlindungan anak siapa melakukan apa.

“Ya, dengan Raperda ini diharapkan dan diupayakan secara bertahap setiap daerah dari mulai kota/kabupaten sampai RT/RW memiliki langkah pemenuhan hak anak,” katanya.  

***

 

 

Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

 
Berita Terpopuler