Talak Sebelum Dukhul, Al-Baqarah Ayat 236-237 (3-Habis)

Ayat ini membicarakan tentang perceraian terhadap istri yang belum digauli.

Republika/Prayogi
Talak Sebelum Dukhul, Al-Baqarah Ayat 236-237 (3-Habis). Sejumlah warga mengurus proses perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID,

Baca Juga

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَنْ يَعْفُوْنَ أَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِۚ وَأَنْ تَعْفُوْآ أَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۚ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْۚ إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ ٢٣٧  

Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah separuh dari mahar yang telah kamu tentukan itu. Kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. Pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan (237)

Selanjutnya pada ayat 237 Allah menjelaskan,

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

Jika kamu menceraikan istri–istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.

Ayat ini menjelaskan bahwa suami yang menceraikan istrinya yang belum digauli, tetapi ia telah menetapkan maharnya, maka ia wajib membayar separuh mahar yang telah ditetapkan itu. Hal ini berbeda dengan penjelasan ayat sebelumnya yang menetapkan bahwa suami yang menceraikan istrinya tidak wajib membayar mahar apabila istri belum digauli dan mahar belum ditetapkan.

Bagaimana kalau mahar itu telah dibayarkan tunai ketika akad seperti yang umumnya terjadi sekarang? Dalam keadaan seperti ini, maka separuh untuk istri dan separuhnya lagi dikembalikan kepada suami.

Sebaliknya, kalau sebagian maharnya berutang, maka kekurangan itu diberikan kepada istri sehingga menjadi separuh dari yang telah ditetapkan. Seandainya sudah lebih dari separuh, maka istri mengembalikan kelebihannya. Ini yang bisa dipahami dari mafhum ayat.

 

Seandainya perceraian terjadi disebabkan salah satu dari suami istri meninggal, maka mahar sepenuhnya menjadi hak istri. Jika yang meninggal suaminya, maka mahar diserahkan kepada istri.

Akan tetapi, kalau istri yang meninggal, maka mahar diserahkan oleh suami kepada wali istrinya. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para fukaha. Karena menurut mereka syarat wajib mahar itu ada dua, yaitu dukhul atau mati (Lengkapnya tentang hal ini lihat Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuh, Juz VII, hal. 288-290)

Apakah ada pengecualian dari kewajiban ini. Dalam lanjutan ayat dijelaskan hal itu.

إِلَّآ أَنْ يَعْفُوْنَ أَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِۚ

Kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.

Kewajiban ini harus dilaksanakan kecuali jika istri yang kamu ceraikan itu memaafkan dengan ikhlas seluruh haknya atau sebagiannya. Kemudian terkait maksud kalimat alladzi biyadihi ’uqdah al-nikah (الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ) para ulama berbeda pendapat.

Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kalimat ini adalah suami. Ini merupakan pendapat Jabir bin Muth’im, Sa’id bin Musayyab, Syuraih, Sa’id bin Jabir dan lain-lain.

Ini juga pendapat Qaul Jadid Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan sahabatnya. Hal ini karena mereka melihat bahwa istri dihalalkan untuknya, ia juga yang berhak menikahi kembali ketika terjadi talak raj’i dan ia juga yang bisa melepaskannya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ayat tersebut menetapkan jika suami memaafkan istri dengan tidak mengambil kembali separuh sisa mahar yang telah diberikan, maka istri boleh mengambil seluruh mahar tersebut (Al-Syaukani. Fathul Qadir (Manshurah: Dar al-Wafa’, 1418H/1997), Jilid I, hal.439).

 

Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud kalimat itu adalah wali. Ini merupakan pendapat An-Nakha’i, ‘Alqamah, al-Hasan, Thawus, Az-Zuhri, Asy-Sya’bi dan lain-lain.

Ini merupakan pendapat Qaul Qadim Syafi’i dan Malik. Maka ayat ini dapat dipahami bahwa para suami wajib membayar separuh mahar yang telah ditetapkan untuk istri yang ia ceraikan sebelum dukhul.

Kecuali istri memaafkan secara tulus dengan membebaskannya dari membayar kewajiban ini. Istri berhak melakukan hal ini jika mereka telah dewasa. Akan tetapi jika mereka tidak mampu mengelola uang secara mandiri, maka wali istri yang mewakilinya untuk memaafkan dan membebaskan suami dari kewajiban ini (Ibid.).

Sebenarnya Alah sangat suka terhadap orang yang saling melapangkan, bukan yang saling menuntut dan memberatkan. Allah berfirman,

وَأَنْ تَعْفُوْآ أَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۚ

Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.

Di sini Allah menganjurkan supaya saling melapangkan, membebaskan dan menambahi. Istri dianjurkan agar membebaskan suami dari separuh mahar yang menjadi haknya, begitu juga walinya.

Adapun suami dianjurkan untuk menambahi dengan tidak mengambil kembali separuh mahar yang telah diserahkan kepada istri ketika perceraian terjadi. Allah memotivasi semua pihak untuk saling melapangkan itu dengan mengatakan bahwa pemberian maaf itu lebih dekat kepada takwa.

Selanjutnya, Allah mengingatkan manusia untuk selalu mengingat yang baik-baik dan melupakan yang buruk-buruk. Allah berfirman,

وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْۚ

Janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.

Menurut al-Syaukani, yang dituju oleh ayat ini adalah kedua belah pihak suami dan istri. Hendaknya masing-masing pihak tidak melupakan kebaikan yang lain kepadanya.

Pihak istri atau walinya diharapkan dapat bermurah hati untuk membebaskkan suami dari kewajiban membayar mahar. Sebaliknya dari pihak suami didorong untuk memberikan lebih dari kewajibannya. Kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan (Q.S. al-Rahman [55]: 60), bahkan Allah menegaskan bahwa siapa yang berbuat baik kepada orang lain pada hakikatnya ia berbuat baik untuk dirinya sendiri, begitu juga sebaliknya (Q.S. al-Isra‘ [17]: 7).

Di penghujung ayat ini, Allah mengingatkan supaya manusia mematuhi semua aturan-Nya karena Allah Maha Melihat. Allah berfirman,

إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.

Allah mengakhiri ayat ini dengan mengingatkan bahwa Dia Maha Melihat semua tingkah dan perbuatan yang dilakukan oleh suami istri dan pihak-pihak terkait. Baik sebelum perceraian, ketika perceraian itu terjadi ataupun sesudahnya. Artinya manusia dilarang mempermainkan aturan Allah dengan mematuhi semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

-----

Tafsir  Tahliliy  ini  disusun  oleh  Majelis  Tarjih  dan  Tajdid  Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais, MA

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2018

 

https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/11/07/talak-sebelum-dukhul-3-tafsir-surat-al-baqarah-ayat-236-237/

 
Berita Terpopuler