Tokoh Santri yang Dikenang Jadi Pahlawan Bangsa (3-Habis)

Besarnya pengaruh pesantren dan santri dalam memperjuangkan NKRI tak bisa dipungkiri.

Gahetna.nl
Tokoh Santri yang Dikenang Jadi Pahlawan Bangsa (3-Habis). Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Besarnya pengaruh pesantren dan santri dalam memperjuangkan NKRI tak bisa dipungkiri. Terlebih, ketika para tokoh atau pahlawan nasional, perjuangan, revolusi dan lainnya juga banyak yang berasal dari kalangan santri.

Baca Juga

Di lingkungan pesantren itu, para santri yang kemudian dikenal bangsa sebagai pahlawan, memupuk sikap dan nilai perjuangannya atas penjajahan dari berbagai guru. Karenanya, di Hari Santri Nasional 22 Oktober ini, perlu dikenang kembali beberapa tokoh dari kalangan pesantren yang menjadi pahlawan.

5. Pangeran Diponegoro 

Tak asing di telinga memang, pahlawan nasional ini kerap menghiasi buku-buku sejarah Indonesia dari pendidikan dasar. Pangeran Diponegoro atau Bendara Pangeran Harya Dipanegara lahir di Ngayogyakarta, 11 November 1785. 

Pangeran Diponegoro dikatakan juga sangat kental dengan santri dan pesantren. Apalagi, ketika lingkungan keluarganya juga mendukung hal itu. Lahir dengan nama asli Abdul Hamid, ia memulai masa remaja sebagai santri di pondok pesantren Gebang Tinanar, Ponorogo yang diasuh oleh KH Hasan Besari.

Semasa mudanya, Pangeran Diponeogoro juga diketahui mempelajari Kitab Kuning dan ilmu nahwu pada berbagai guru. Di antaranya adalah Kiai Baidlawi Bagelelan, Kiai Baidlawi, dan Kiai Nur Muhammad.

Perannya dalam kolonialisme memang sangat kentara. Terlebih, jika menyinggung perang Diponegoro atau perang jawa selama lima tahun, tepatnya (1825-1830). Dari konflik itu, keberhasilan dalam mengakhiri perang diabadikan, apalagi, korban dalam perang itu juga didaulat sebagai jumlah paling besar dalam sejarah nasional.

Namun sayang, mengutip Buku Berangkat dari Pesantren oleh KH Saifuddin Zuhri, pangeran Diponegoro sempat ditangkap setelah peristiwa pengkhianatan diplomasi Jenderal De Kock di Kota Magelang untuk dibuang ke Manado.

6. Bung Tomo

Sejarah mencatat saat itu Presiden RI Pertama Soekarno mengirim utusan kepada KH Hasyim Asy'ari untuk bertanya mengenai hukum membela tanah air dari penjajah. Tak langsung menjawab, KH Hasyim Asy’ari berdiskusi dengan kiai lainnya di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya.

Alhasil, diputuskan jika melawan penjajah adalah perang suci alias jihad. Terlebih, karena saat itu juga semakin maraknya istilah ‘Resolusi Jihad Fii Sabilillah’ dari KH Hasyim Asy’ari.

Dari puncak seruan itu, muncul peristiwa 10 November di Surabaya. Namun demikian, sedikit yang tahu, ada arek Suroboyo dengan semangat berapi-api dalam mengemukaan pendapat dan gelisah karena keadaan.

Bung Tomo - (Youtube)

 

Berdasarkan tulisan Helmy Faishal berjudul Bung Tomo: Santri yang Pahlawan dan tayang di Republika, Bung Tomo ia sebut ikut dalam pusaran momentum Resolusi Jihad itu. Bung Tomo yang juga merupakan sosok santri, diketahui kerap kali berkunjung kepada KH M Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Menurut Helmy, mengutip KH A Mustofa Bisri, santri adalah siapa saja yang memiliki akhlak mulia dan kepatuhan terhadap agama. Dua hal itu, disebutnya melekat pada diri Bung Tomo.

"Yang menarik, pada suatu kesempatan, Bung Tomo pernah bilang ia bukanlah seorang Muslim yang saleh. Bagi saya, pengakuan Bung Tomo adalah pengakuan yang semakin memperteguh sikap kesantriannya," ujar Helmy.

 

 

 

7. Jenderal Sudirman

Lahir di Karangjati, Purbalingga, Jenderal Sudirman memiliki latar belakang sebagai guru di HIS Muhammadiyah. Latar belakang organisasi Islamnya itu, secara tak langsung mendekatkan dirinya dengan berbagai sosok Kiai yang kemudian menjadi gurunya. Bahkan, diketahui KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan menjadi sosok yang kerap ditanyai olehnya. 

Dalam buku Karomah Para Kiai oleh Samsul Munir Amin, semasa hidupnya, Jenderal Sudirman juga sangat dekat dengan Kiai Hasyim Asy’ari. Di masa kecilnya, ia diadopsi oleh pamannya yang merupakan priyayi. Hingga akhirnya ia ikut pindah ke Cilacap.

Sejak kecil, dirinya diketahui aktif dalam berbagai kegiatan yang diadakan Organisasi Islam Muhammadiyah. Bahkan, dirinya juga memperlihatkan bakat saat memimpin dan berorganisasi menyoal keislaman.

Patung Jenderal Sudirman, Jakarta. - (ANTARAAditya Pradana Putra)

 

Pada 1936, ia menjadi guru, sebelum akhirnya menjadi kepala sekolah di sekolah Muhammadiyah. Tak hanya aktif di dunia kependidikan, ia juga aktif di kelompok pemuda Muhammadiyah sejak 1937. Hingga akhirnya dikatakan dirinya mendapat pendidikan militer. 

Saat Jepang datang pada 1942, Jenderal Sudirman diketahui masih memilih untuk mengajar. Dan pada 1944 ia bergabung dengan PETA, hingga didaulat sebagai komandan Batalion.

 
Berita Terpopuler