Dampak Pandemi Terhadap Pariwisata di 5 Negara Muslim   

Pandemi Covid-19 berdampak besar bagi pariwisata di negara Muslim.

AP Photo/STR
Pandemi Covid-19 berdampak besar bagi pariwisata di negara Muslim. Masjid Hagia Sophia menjadi salah satu objek wisata Turki.
Rep: Kiki Sakinah Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pandemi global telah berdampak pada industri perjalanan dan pariwisata. Pada Hari Pariwisata Dunia yang diperingati setiap 27 September, sektor ini tampaknya tidak merayakan pestanya.  

Baca Juga

Menurut Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO), penurunan besar-besaran dalam permintaan perjalanan internasional terjadi mulai Januari hingga Juni 2020, telah membuat hilangnya 440 juta kedatangan internasional dan sekitar 460 miliar dolar AS dalam pendapatan ekspor pariwisata.  

Asia Pasifik adalah yang paling terpukul dengan penurunan turis sebanyak 72 persen selama periode enam bulan, sedangkan Afrika dan Timur Tengah mengalami penurunan 57 persen.  

Skenario kasus terburuk, dalam ringkasan kebijakan PBB, menunjukkan jumlah wisatawan internasional dapat menurun 58 persen menjadi 78 persen pada 2020, yang berarti penurunan pengeluaran pengunjung dari 1,5 triliun dolar pada 2019 menjadi antara 310 dan  570 miliar dolar AS pada 2020. Lantas, bagaimana dengan negara-negara Islam? 

Di antara negara-negara Islam dan dalam ekonomi Islam, Arab Saudi telah membuka kembali umroh mulai 4 Oktober 2020, meskipun secara bertahap. Langkah Saudi tersebut merupakan kabar yang sangat dinantikan oleh perusahaan di sektor perjalanan dan pariwisata, sejak haji ditangguhkan pada akhir Februari lalu. 

CEO di HolidayMe, portal daring yang menawarkan paket umroh untuk pelanggan Timur Tengah, Geet Bhalla mengatakan bahwa ia berpandangan umroh dan perjalanan keagamaan akan pulih terlebih dahulu dan itulah fokus bisnis mereka. Bhalla mengungkapkan itu pada webinar 20 Agustus 2020 yang membahas prospek pasar perjalanan ramah Muslim di lingkungan pasca-Covid-19.

Namun demikian, umroh sendiri tidak akan dibuka bagi jamaah internasional hingga November mendatang. Tidak hanya itu, pemerintah Saudi juga masih membatasi jumlah jamaah umroh sesuai dengan tindakan pencegahan kesehatan dan keselamatan Saudi. Sebelumnya, pelaksanaan haji 2020 juga dibatasi hanya 1000 jamaah. Karena itu, tidak ada kemungkinan sektor wisata religi akan pulih tahun ini. 

Berbicara di panel yang sama dengan Bhalla, Konsultan Pariwisata Berkelanjutan di FTS, Benjamin Carey mengungkapkan optimismenya. "Ada konsep keberlanjutan yang sangat jelas dalam Islam, dan ini perlu didorong. Covid-19 adalah gladi resik untuk keadaan darurat iklim tersebut," kata Carey. 

Namun demikian, konsep berkelanjutan yang jelas dalam Islam ini belum muncul dengan cara yang gamblang. Sebab, negara-negara Islam besar mendorong pariwisata domestik, sementara perjalanan internasional masih menantang.

Data UNWTO menunjukkan bahwa pada 2018, sekitar 9 miliar dolar AS perjalanan pariwisata domestik dilakukan di seluruh dunia, enam kali lipat jumlah kedatangan wisatawan internasional.  

Sekretaris Jenderal UNWTO, Zurab Pololikashvili, mengatakan UNWTO mengharapkan pariwisata domestik kembali lebih cepat dan lebih kuat daripada perjalanan internasional.

"Mengingat besarnya pariwisata domestik, ini akan membantu banyak destinasi pulih dari dampak ekonomi dari pandemi, sementara pada saat yang sama melindungi lapangan kerja, melindungi mata pencaharian dan memungkinkan keuntungan sosial yang ditawarkan pariwisata juga kembali," kata Pololikashvili.

Seperti apa kondisi dan langkah yang diambil negara-negara Islam di tengah kondisi pandemi virus corona? Berikut kondisi dan langkah-langkah yang dilakukan sejumlah negara Muslim dalam situasi pandemi, seperti dilansir di Salaam Gateway, Selasa (29/9):

 

1. Turki

Turki mencatat jumlah pengunjung pada 2019 sebanyak 51,9 juta. Negara ini merupakan daya tarik wisata terbesar di antara negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). 

Turki membuka kembali sektor pariwisatanya untuk penduduk setempat pada 1 Juni 2020. Namun yang paling dicari adalah dolar dan euro, karena itu Turki berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikan dirinya sebagai tujuan yang aman, dengan "program sertifikasi pariwisata yang aman" yang dikoordinasikan Kementerian Pariwisata. 

Turki sekarang memperkirakan 15 juta turis asing tahun ini, dari 60 juta yang diperkirakan sebelum pandemi melanda. Pada pertengahan September, pemerintah mengatakan lebih dari 10 juta orang asing telah tiba di pantainya. Wilayah pesisir Mediterania yang populer di Antalya saja sejauh ini telah menarik sekitar 2 juta turis asing. 

2. Arab Saudi 

Pada 2019, Arab Saudi mencatat 1,855 juta jamaah haji dari luar negeri, dan 7,457,663 juta jamaah umroh dari luar negeri. Sehingga,  jumlah pengunjung mancanegara sekitar 16-18 juta.  

Arab Saudi mulai mempromosikan pariwisata domestik dengan sangat gencar menjelang musim panas, ketika penerbangan dalam negeri dilanjutkan pada 31 Mei 2020. Momentum mulai dibangun menjelang liburan Idul Adha pada akhir Juli dan berlanjut hingga Agustus ketika kapal-kapal pesiar pertama di pantai Laut Merah Saudi berlayar. 

Otoritas Saudi mengurangi pembatasan perjalanan internasional mulai 15 September 2020. Namun, semua pembatasan hanya akan dicabut pada Januari 2021.

3. Uni Emirat Arab (UEA)

Pada 2019, jumlah pengunjung ke Dubai tercatat 16,73 juta, dan Abu Dhabi mencatat 11,35 juta. Di UEA, Dubai membuka kembali pantai hotel pada Mei, tetapi tidak lama kemudian di awal Juli, kota ini masuk semua untuk turis internasional. 

Sementara itu, UEA baru mulai mengeluarkan visa turis pekan lalu pada 24 September. Negara ini ingin dilihat sebagai tujuan yang aman bagi pengunjung. Dengan bangga, Turki menyiarkan mandat ini sebagai tuan rumah acara kriket besar, Liga Utama India (Indian Premier League).

Sejumlah wisatawan mengunjungi kawasan Menara Kembar Petronas di Kuala Lumpur, Malaysia, Senin (29/7/2019). - (Antara/Septianda Perdana)

4. Malaysia

Malaysia mencatat 26,1 juta pengunjung pada 2019. Malaysia memiliki pasar domestik yang signifikan, dengan lebih dari 100 juta perjalanan, setara dengan tiga perjalanan domestik per kapita. (Secara global, dengan lima perjalanan domestik per kapita, Amerika Serikat memiliki rasio perjalanan turis terhadap populasi tertinggi.)

Untuk merangsang perjalanan domestik, Malaysia mengalokasikan voucher diskon perjalanan senilai  113 juta dolar dan keringanan pajak pribadi hingga 227 dolar untuk pengeluaran pariwisata domestik. 

Ruzwana Bashir, Pendiri dan Chief Executive Officer Peek, sebuah pasar aktivitas perjalanan, melihat dorongan besar terhadap pariwisata lokal.

"Pemesanan lokal meningkat dua kali lipat, orang-orang tinggal lebih dekat dengan rumah. Kegiatan seperti kayak, atau menyewa perahu, atau sepeda, telah meningkat hampir 400 persen," kata Bashir pada KTT Dampak Pembangunan Berkelanjutan 2020 yang diselenggarakan oleh Forum Ekonomi Dunia dari 21 hingga 24 September 2020.

5. Indonesia

Indonesia mencatat 16,1 juta pengunjung pada 2019. Indonesia adalah negara yang paling terpukul di antara kelompok negara-negara Islam utama ini.

Pariwisata domestiknya menderita karena negara ini terus berjuang untuk mengendalikan pandemi. Sementara ibukota Jakarta terpaksa melakukan lockdown kedua awal September ini.

Menurut biro statistik pusat, data terbaru menunjukkan perjalanan udara meningkat pada Juli ketika 1,46 juta orang terbang di dalam negeri, dibandingkan dengan hanya 87 ribu pada Mei 2020. 

Jumlah tersebut masih jauh di bawah 4 hingga 6 juta pada bulan-bulan awal tahun sebelum virus corona mencengkeram ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini.

Secara keseluruhan,  meskipun upaya untuk meningkatkan pariwisata domestik dan internasional di negara-negara Islam utama ini patut dipuji, UNWTO memperkirakan kembalinya kedatangan turis 2019 untuk sektor global akan memakan waktu antara dua setengah hingga empat tahun.

Ketua Dewan Bandara Internasional (ACI World), Martin Eurnekian, mengatakan bagian yang paling mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa industri perjalanan, enam bulan setelah tragedi ini, tidak memiliki pendekatan yang jelas dan terkonsolidasi untuk keluar dari situasi saat ini. Pria asal Argentina ini berbicara tentang membangun kembali pariwisata di WEF's Sustainable Development Impact Summit 2020.

"Masih belum ada pendekatan umum di negara-negara dan kawasan dunia tentang apa yang dibutuhkan untuk memulai kembali industri ini," kata Eurnekian. 

Namun, dia setuju dengan World Travel & Tourism Council (WTTC) bahwa kemajuan teknologi akan mendukung pemulihan sektor tersebut. "Kami akan melihat percepatan adopsi teknologi biometrik sangat cepat," kata Eurnekian.

Mengadvokasi pengalaman end-to-end yang aman, terjamin, dan mulus, WTTC menyoroti contoh kasus, yaitu waktu naik pesawat berkapasitas 400 orang berkurang 66 persen dari 45 menit menjadi 15 menit, menggunakan teknologi biometrik.

Eurnekian, yang juga CEO Corporacion America Airports, perusahaan induk yang terdaftar di NYSE yang mengakuisisi, mengembangkan, dan mengoperasikan konsesi bandara, menjelaskan profil penumpang telah sedikit berubah.

"Kami menemukan bahwa sekitar 30 persen penumpang kami tidak senang dengan kami memberi tahu mereka bahwa kami sedang membersihkan semuanya dan mengubah protokol agar mereka aman. Mereka ingin bisa melakukannya sendiri. Mereka ingin memiliki bahan pembersih dan tisu serta barang-barang di bandara agar dapat menyeka permukaan di sekitar mereka," ujarnya.

Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang masih ingin bepergian, tetapi jika pembatasan membuat perjalanan ke luar negeri terlalu rumit, orang mungkin akan menghabiskan liburan mereka secara lokal. Bagi negara-negara Islam yang mengandalkan mata uang asing yang dibawa oleh pengunjung internasional, seperti Indonesia dan Turki, hal ini dinilai bukanlah berita bagus.

Sumber: https://www.salaamgateway.com/story/today-is-world-tourism-day-how-are-islamic-countries-doing   

 
Berita Terpopuler