Kompromi dan Politik Islam

Kisah teladan dari Amerika Serikat Hingga Dua Orang Khalifah

Republika/Dessy Suciati Saputri
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berbincang dengan awak media Istana di Istana Merdeka.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh DR, Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara

Sebaik-baiknya ucapan adalah yang dibenarkan oleh tindakan.
Jalinlah  persahabatan dengan cara membuat mereka
menangisimu  saat kau telah tiada dan membuat
mereka menyayangimu saat kau masih ada

                           (Sayidina Ali Ibn Abi Thalib)

                                 *****

Pak Joko Widodo, jamak disapa Pak Jokowi, Presiden Republik Indonesia saat ini,  dikenal juga sebagai mantan walikota Solo, dan mantan gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Di Solo, pria ini menjabat selama dua periode secara berturut-turut, walau pada periode kedua ia tak sempat menyelesaikannya.

Beliau, entah telah menjadi suratan takdirnya atau karena kecemerlangan kalkulasi politik,  kemudian memasuki Jakarta. Di daerah penuh serigala politik ini, Jokowi pun  mengikuti pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Sukses. Fauzi Bowo, gubernur incumbent, pesaingnya, harus tersingkir. Jadilah beliau gubernur untuk beberapa saat. 

Sembari menjabat gubernur DKI Jakarta, pria ini melanjutkan langkahnya memasuki dunia politik puncak. Beliau, entah dengan nasihat siapa dan bagaimana, mengejutkan politik Indonesia dengan menjadi calon presiden tahun 2014. Hari-hari menjelang dan selama pertarungan politik pemilu itu, menjadi hari-hari yang berat.

Begitulah politik, selalu memiliki sudut-sudut tak terlihat yang tersebar dimana-mana. Skeptisisme datang dan pergi berbaju isu, dan sejenisnya. Antusiasme pemilih, sesuatu yang selalu dapat direkayasa, menjadi kenyataan lain, berbeda, tersaji dimana-mana. Kemenangan akhirnya jatuh ke genggamannya. Jadilah ia presiden 2014-2019.

Kritik demi kritik berakhir dengan persidangan, menemani pemerintahan periode pertamanya. Bagi sebagian orang pemerintahannya tak dapat dibilang menggelorakan hati banyak orang. Pembangunan fisik menandai wajah Indonesia mutakhir, justru teridentifikasi sejumlah kalangan sebagai mercusuar.

Korporatisasi negara terlihat menandai wajah kritik sebagian kalangan Intelektual, termasuk kalangan Islam terhadap pemerintahannya. Sikapnya terhadap pembangunan –penimbunan laut- dikenal dengan nama “reklamasi pantai utara Jakarta” berkaliber dan bercorak kapitalistik tulen, mengundang tanya atas nalarnya.  

Pembangunan moral bangsa, juga tak cukup mampu menjauhkannya dari  kritik demi kritik. Terus-menerus disepanjang pemerintahnnya, kritik itu mengalir deras. Ummat Islam, tentu tak semuanya, menemukan diri tersingkir, diperlakukan tak adil. Ummat Islam, anehnya, malah teridentifikasi secara artifisial sebagai warga negara, tentu sebagian, yang diragukan level Pancasilais-nya.

Tak cukup jelas tujuan dan maknanya, tetapi ungkapan 'Saya Pancasila dan saya NKRI', menarik respons kritis lebih luas kalangan Islam. Tak itu saja, hukum dalam identifikasi ummat Islam, terlihat pincang dengan dimensi yang cukup menakutkan. Hukum bekerja dengan semangat yang sulit dikatakan tak kelewat birokratis.

Tembok besar ini harus dibongkar dengan peristiwa yang belum pernah tersaksikan sepanjang sejarah Indonesia. Ummat Islam menggerakan dan melipat-gandakan energi politik mereka hanya untuk memaksa dirinya menegakan hukum terhadap Basuki Tjahaya Purnama. Basuki, pria yang suka disapa Ahok ini adalah Gubernur DKI yang naik ke jabatan itu bersama-sama Jokowi dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI.

Penolakan ekspresif ummat Islam ini dikenal dengan peristiwa 411 dan 212, yang menghebohkan itu. Berhasil memang, tetapi telah menyisakan luka teramat dalam disanubari ummat Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam ini.

                    ******

Mungkin banyak pihak mengganggap ekspresi ummat Islam itu tidak lebih dari sekadar kerumunan orang-orang kebingungan (ini tesis klasik Walter Lippman), jurnalis top yang bersama Louise Brandise menjadi penasihat Woodrow Wilson, Pak Jokowi mantap melangkah maju mengikuti pilpres 2019 untuk periode jabatan 2019-2024. Itu memompa level kritis multi dimensi.

Protes pun bermunculan, terutama selama proses pemilu itu. Tetap hukum politik punya cerita sendiri. Dalam kenyataannya protes terhadap hal-ihwal pemilu itu berlalu bersama hiruk-pikuk pemilu itu sendiri. Kesangsian beralasan atas kebenaran jumlah pemilih dalam Daftar Pemiih Tetap (DPT) dari fungsionaris-fungsionaris Pak Prabowo, tak lebih dari sekadar hiasan buram demokrasi.

Protes itu tak membawa Komisi Pemilu ke titik meyakinkan menurut akal sehat alam hukum pemilu. Hukum pemilu malah bekerja dengan rasa pemilu-pemilu tak kredibel umumnya. Kesempatan kampanye yang terasa tak cukup menyegarkan nurani politik dan hukum yang sehat pun, tersaji sebagai material pemilu itu.

Namun waktu terus berjalan, dan kemenangan Pak Jokowi seperti telah tergariskan oleh alam politik. Protes pun bermunculan, berdarah-berdarah ditengah Ramadhan Al-Mubarrakh bagi Ummat Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Tetapi semua protes itu hanya meninggalkan bekas, tak lebih dari sekadar kembang-kembang layu di taman politik. 

Mahkamah Konstitusi yang tak punya sejarah mengenal satu demi satu soal hitam disepanjang jalannya pemilu itu, entah bagaimana ceritanya, dimohonkan Pak Prabowo untuk mengoreksi hasil pemilu. Kemenangan sebagai akhir yang jelas  dalam proses ini pun bernar-benar muncul setelah MK menyatakan keputusannya. Anehnya keputusan itu disambut kehebohan kecil.

Lalu politik bekerja lagi dengan cara yang lazim. Suatu hari yang telah sirna dari ingatan, muncul berita akan ada pertemuan kecil, tetapi bernilai tinggi,  antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Dimana? Di statusnya kereta api moderen yang baru di bangaun, entah apa namanya. Bagaimana tepatnya? Dalam perjalanan dari  Lebak Bulus-Senayan. Heboh lagi.

Apa-apaan ini? Begitulah politik. Selalu ada jalan sempit menuju kompromi untuk  mengakhiri semua debat dan antagonisme. Begitulah titah sejarah. Seni mengakhiri perbedaan, menemukan dan memperbesar kesamaan, selalu menanti ditengah lorong kecil politik.

 

Kompromi, memang telah menjadi tabiat politik klasik. Kompromi jenis ini pernah diterapkan secara praktis oleh Spartakus. Ia menyertakan dua lawannya ke dalam kekuasaan. Jadilah mereka bertiga mengelola kekuasaan. Spartakus aman dengan kekuasaannya. Dan Spartakus, kelak dikenang dunia hukum dan politik sebagai otak, sekaligus peletak dasar konsep Triumvirat.

Politik dan hukum, apalagi hukum konstitusi, dimanapun selalu berputar pada hak dan kepentingan. Apa akibatnya? Orang tidak selalu dapat mengerti awal dan akhir sebuah pekerjaan politik. Orang tidak dapat mengerti dengan mudah mengapa Franklin Delano Rosevelt yang sakit-sakitan tetap menjadi calon presiden Amerika tahun 1933. Apalagi pada tahun itu, Amerika Serikat sedang berada di puncak krisis keuangan, yang dipicu oleh jagoan-jagoan keuangan di Wall Street.

Ya, memang tidak mudah juga orang mengerti mengapa Franklin D. Rosevelt mengabaikan gagasan “balanced budget” dari Henry Morgentahu Jr, menteri keuangannya. Tak selalu mudah juga orang dapat mengerti mengapa Franklin D. Rosevelt justru lebih merespons gagasan “permanent deficit budget” ala Harry Hopkins, Merriner Eccless, dan Henry Walace, penasihat-penasihat dekatnya.

Mengapa Felix Frankfurter – pria terhormat dari Harvard Law School ini, yang juga merupakan seorang penasihat FDR, harus jumpa dengan John Meynard Keynes? Mengapa sebelum jumpa John, ia harus lebih dahulu ke Inggris? Apakah John adalah pria Inggris, dengan ilmu ekonomi top? Apakah John seorang socialis democrat, sama dengan FDR? Tak jelas memang.

Namun faktanya setelah pertemuan antara Felix dengan Keynes, muncul artikel Keynes di New York Times. Artikel ini berisi, secara garis besar, cara menangani krisis keuangan. Usai artikel itu terbit, Felix pun menunjukannya ke Presiden, dan segera setelah itu Keynes pun jumpa dengan Presiden Franlink D. Rosevelt. Setelah jumpa Presiden,  ekonomi dan tata negara Amerika berjalan menyusuri alur yang tersedia dalam gagasan Keynes. 

Perihal tidak mudahnya menemukan alasan-alasan tepat dibalik bekerjanya politik, juga terlihat dalam kasus lain. Mengapa John F. Kennedy, pria muda, tampan dan pintar, sebagai orang Katolik pertama dalam sejarah kepresidenan  Amerika, mengikuti dan memenangkan pemilu Presiden Amerika Tahun 1961.

Lalu kemudian mengapa kemudian Lee Harvey Oswald menembaknya Kenedy di Dalas, Texas? Mengapa Komisi Warren yang ditugaskan menyelidikinya pun tak dapat menyedikan jawaban kongklusif hingga kini? Mengapa Lee Harvey Oswald harus mati beberapa jam sesudah menembak Kenedy, presiden tampan ini? Tak jelas hingga sekarang.

Dan tak mudah juga mengerti mengapa Henry Kisingger, pria kelahiran Jerman, yang dikenal begitu hebat dalam urusan diplomasi ini, tak  respek terhadap Richard Nixon, bosnya sendiri? Mengapa ia begitu berkuasa di gedung putih? Mengapa Richard Nixon dikuras energi politiknya untuk mengurus masalah Timur tengah dibanding mengurus Watergate yang sedang melilitnya? Tak jelas hingga kini. Begitulah politik?

                             ****
Tampilan politik kekuasaan untuk sejumlah alasan, tak beda dengan gambaran dramaturgi. Yang tampak tak selalu mewakili yang tak tampak. Yang terlihat tak selalu mewakili yang tak terlihat. Apa yang diucapkan tak selalu sama dengan yang tak diucapkan. Tindakan tidak selalu sama dengan isi pikiran dan ucapannya.

Lalu bagaimana merindukan hadirnya kekuasaan, yang menurut orang-orang arif, memanusiakan manusia? Adakah sejarahnya? Sejarah pemerintahan dalam khasanah Islam mencatat beberapa di antaranya. Kehebatan, bahkan kegemilangan mereka dalam hampir semua aspek, dipandu dengan kepastian tak terbantahkan bahwa semua itu ditentukan oleh derajat pertalian ketat antara hati, otak dan tindakan dengan tuntunan Sang Khaliq.

Tak tinggi hati, karena tahu itu hanya menghasilkan keburukan demi keburukan, menjadi penanda mengagumkan Umar Bin Abdul Azis dan Harun Ar-Rasyid,  dua pemimpin top dalam khasanah pemerintahan Islam. Tak mengabaikan rakyat kecil, memandu diri mereka dengan keadilan yang belum terlihat setelah masa Khulafa Ar-Rasyidin, adalah warna personal mereka di sepanjang jalan pemerintahannya yang gemilang.

Keduanya sangat takut pada Allah Azza wa Jallah, Dia yang Maha Agung, yang penglihatannya tak memiliki hambatan, yang pengetahuannya menembus semua tirai, yang keadilannya tak memiliki cacat, menjadi hiasan lain yang mengagumkan diri mereka.

Dia juga tak menumpuk harta saat berkuasa, termasuk untuk sekadar berjaga-jaga, membekali anak-anaknya, atau hal lain buruk lainnya yang terbit dariisisi lain kepribadian mereka sejauh itu.  Adil, cinta damai, cinta kemanusiaan tanpa pandang ras dan agama, itulah Umar Bin Abdul Aziz yang seornag pemuda tampan dan kaya sebelum memangku kekuasaan sebagai khalifah. 

Dari sanalah sejarah menemukan kenyataan sebelum dirinya diangkat jadi khalifah. Umar bertekad, bukan sekadar mengubahnya, tetapi mengkahirinya ketika kekuasaan ada pada genggamannya. Dia tahu hembatan besar disepanjang jalan rencana reformasi strukturalnya yang fundamental.

Maka, Umar pun membebani dirinya dengan satu tekad membaja; dirinyalah yang pertama kali harus berubah. Dirinya harus jadi teladan. Teladan itu disajikan sebagai metode mematikan antipati, sesuatu yang telah begitu kuat tertanam dalam kehidupan politik penguasa sebelumnya.

Itulah yang diyakinkan pada diri Umar sebagai prasyarat tak tergantikan untuk meraih sukses yang diimpikannya. Sangat tipikal, ia komit dengan tekad itu. Ia tahu lebih dari siapapun kala itu, bahwa Al Hajaj, pendahulunya yang pendendam pada lawan-lawannya. Ia tahu itu menjadi penyebab terbesar lain terjadinya kekacauan demi kekacauan dalam wilayah kerajaan.

Tipikal pria sholeh, juhud terhadap tipuan dunia, dan Umar membuktikan kebesarannya melalui tindakan. Seolah mengatakan tindakanlah yang mendefenisikan siapa anda sebenarnya. Umar konsisten dengan itu. Ia mengubah penampilan, terutama berpakaian dari sebelumnya yang wah menjadi sangat sederhana.

Keluhuran martabat, dengan pengetahuan dan ilmu membawanya ke kebijaksanaan yang tak pernah terlihat pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Salah urus kas kerajaan, dengan cara mengambil harta kerajaan membagi-baginya kepada sanak keluarga dan penyokong kerajaan, ditandai sebagai akibat yang menyumbang kerusakan dan melemahkan kerajaan. Ia hentikan praktik itu.

Tidak ada main rampas dan sita, itulah Umar. Adil pada siapa saja, termasuk yang beragama Kristen, itu juga Umar. Cintanya pada oran-orang lemah, yang diperlakukan dhalim oleh pendahulu membawa dirinya pada tindakan perbaikan secara radikal. Harta orang yang diambil secara tidak sah oleh kerajaan, diharuskan untuk dikembalikan kepada yang berhak.

Umar menukar satu tawanan muslim dengan sepuluh tawanan Romawi, yang memang jumlahnya banyak. Ia cinta Islam, tetapi tidak mau prajurit diperalat untuk mendapat harta rampasan, termasuk tawanan wanita. Memperlakukan budak sesuai perintah Islam, ditemukan sebagai tipikal lain Umar, Khalifah juhud ini. Anak-anak gadis beragama Kristen yang ditawan, dan diperlakukan sebagai budak, dilepas.

Umar mendekorasi dirinya, tidak hanya dirinya dengan kejuhudan, tetapi juga pemerintahannya dengan keadilan khas orang-orang juhud. Itu sebabnya orang-orang Kristen tak ragu mengadukan masalah-masalah mereka kepadanya. Umar juga menghapus pajak penduduk Cyprus dan Ilea. Kaum Kristen, karena itu menurut Yusuf Al ‘Isy, menganggap Umar sebagai raja Agung yang adil, dan memujinya dengan banyak pujian.

Terhadap kaum Alawiyin, Umar mengembalikan harta-harta mereka yang dirampas oleh pemerintahan sebelumnya. Itu dilakukan sebelum pengaduan mereka mendatanginya. Tanah yang penah diwakafkan oleh Rasulullah Sallallahi Alaihi Wasallam, yang pernah diminta kembali oleh Fatimah, tetapi ditolak pada masa Khalifa Abubakar dibiarkan tetap seperti sediakala, justru diambil oleh Marwan.

Tanah itu lalu beralih ke Umar sebelum menjadi Khalifah. Ketika tahu status tanah itu, Umar mengembalikannya seperti yang diwasiatkan oleh Rasulullah Sallallahu Aalaihi Wasallam. Tanah itu dijadikan sedekah kepada bani Hasyim.

 

Semua itu dilakukan Umar dalam kerangka, untuk sebagian perbaikan moneter kerajaan yang telah rusak sebelumnya.  Menurut Yusuf, Bany Umayyah punya dua tujuan dalam kebijakan moneter. Pertama mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, sebagai kebanggaan gubernur karena berhasil mengumpulkannya. Kedua, memuaskan para pejabat dengan memberi mereka harta sebanyak-banyaknya.

Umar datang lalu mengubah semuanya, dengan risiko tidak menambah perbendaharaan kerajaan. Tetapi dengan menertibkannya saja telah menjadi lebih dari cukup untuk membiayai pemerintahan dan kehidupan rakyatnya.

Walau kebijakannya membebaskan budak, sehingga bisa bepergian sesuka mereka, menimbuilkan risiko berupa tanah yang dikelola mengecil dan pajak berkurang, Khalifah Umar bin Abdul Aziz  tak menghiraukannya. Ia lakukan itu sepenuhnya karena menaati perintah Islam.  Begitulah Umar disepanjang panorama pemerintahannya sejak tahun 717-720.

                       ****

Alkisah, pada suatu hari, Khalifah Umar dengan kejuhudan dan keadilan tiada tandingannya, menemukan anak-anaknya mengenakan pakaian kusam. Melihat itu air matanya mengucur, berlinang jatuh disudut-sudut pipinya.

Adanya Air mata Umar  tertangkap mata anak-anaknya. Lalu mereka berkata kepada ayahandanya: "Apa yang menyebabkanmu menangis wahai Amirulmukminin?

Jawab Umar: "Aku takut hatimu sedih ketika anak-anak yang lain melihatmu mengenakan kain compang-camping...?"

Anaknya kemudian menjawab:"Ayahanda, hati ini akan sedih jika tidak mendapatkan ridha Allah atau durhaka kepada ibu dan bapaknya. Bukan soal pakaian ini. Maka aaku harap Allah ridha kepadaku dengan ridha ayahanda kepadaku."

Bahkan ketika terbaring sakit menjelang ajalnya menjemput, seseorang yang bernama  Maslamah Bin Abdul Aziz menemuinya. Kepada Umar Maslamah berucap: "Wahai Amirulmukminin kau telah menjauhkan mulut anak-anakmu dari harta mereka yang telah ditetapkan. Kau membiarkan mereka menjadi beban karena tidak memiliki apa-apa?"

Mendengar pertanyaan itu Umar sembari berbaring menjawab, " Tolong dudukan aku dan panggil anak-anaku."

Maka anak-anak Umar yang jumlahnya 12 orang dianggil agar menemui ayahnya. Mereka mendekati Umar, sang Amirulmukminin. Dan ketika mendekat Umar tak kuasa menahan air mata juhudnya yang mengalir membasahi pipinya. Kemudian dia berkata: “Demi jiwaku yang muda aku meninggalkan mereka dalam keadaan tanpa harta.”

Setelah itu dia berkata:

"Maka wahai anak-anaku, sesungguhnya aku telah meninggalkan kebaikan untuk kalian dari Allah. Aku telah mempersembahkan kebaikan kepada umat ini melewati seorang muslim atau orang yang mengadakan perjanjian.

Wahai putra-putraku, aku telah memikirkan mana yang paling utama memberikan harta haram kepada kalian sehinga tidak perlu miskin, atau membiarkan kalian memperoleh rezeki sendiri dan menjauh dari neraka  dengan sifat warak. Kemiskinan kalian lebih baik daripada ayahanda kalian masuk jahannam barang sehari. Berdirilah wahai anak-anakku, semoga Allah memberi kalian rezeki dan melindungi kalian,'' kata Umar kepada para anaknya.

                              

                          ******

Begitulah jejak-jejak sejarah mencatat kegemilangan dan keagungan Umar Bin Abdul Aziz, sang Amirulmukminin ini. Dirinya dituntun ke alam juhud, tenggelam didalamnya dengan keadilan, cinta kemanusiaan, dan di atas semuanya, dengan cahaya Islam. Dan roda waktu berputar menjemput Harun bergelar Ar Rasyid, 66 tahun kemudian. 

Harun adalah Harun, anak Khalifah Mahdi dengan Khaizzuran istri khalifah,  yang  lahir pada tahun 766, mencapai sukses besar pada usia 19 tahun. Pasukan yang dipimpimnya menyerang, mengepung  Konstantinus IV, dan merebut benteng Samalu selama 38 hari. Sukses.

Dengan pasukannya yang berjumlah 100.000 Harun terus bergerak maju melalui Pagunungan Taurus, bertemu dan mengalahkan Nicetas, jenderal terkenal. Juga merebut Magida di gerbang Cicilia. Dari sana, tulis Bobrick, Harun dan pasukannya berderap ke Chrysopolis dan terus ke Konstantinopel.

Sukses besar inilah yang mengantarkan Harun, menurut Bobrick, ke gelar “Ar-Rasyid” yang artinya “yang mendapat petunjuk.” Harun yang telah bergelar Ar Rasyid bukan putra mahkota utama. Yang pertama diposisi itu adalah Hadi, abang kandungnya, yang reputasinya tak setara Harun. Tetapi Mahdi, ayahnya, dengan pertimbangan tertentu, mengangkat Harun sebagai khalifah.

Hadi, kakak kandung Harun ternyata  menolak Harun menggantikan dirinya menjadi khalifah. Apa yang dilakukan Harun? Kendati semua prajurit berada di sisinya, Harun memberi dukungan penuh kepadanya. Ya Harun mengalah. Membiarkan abangnya menggenggam kekuasaan.

Kendati begitu Hadi, abangnya tetap mencurigai Harun. Harun pun mau dibunuh oleh Abangnya, untuk memastikan Ja’far, anaknya menjadi khalifah, menggantikan dirinya. Tetapi takdir punya hukum sendiri. Hadi meninggal dunia, karena diracun oleh salah satu istrinya. Pada malam itu juga, takdir membawa Harun menjadi Khalifah.

Takdir masih belum berhenti bicara. Pada malam itu juga istri Harun melahirkan seorang anak laki-laki. Kelak dinamakan Abdullah, dan menjadi khalifah. Praktis pada malam itu terjadi tiga pristiwa;  Hadi meninggal dunia, Harun naik tahta dan istrinya melahirkan seorang laki-laki yang kelak menjadi khalifah juga. Malam penuh peristiwa ini, kelak disebut “malam takdir.”

Harun Ar Rasyid gagah perkasa dengan semua reputasi sebelum menggenggam jabatan khalifah. Tapi itu bukan modal utamanya membuat Harun gemilang dalam memerintah, membuat kekhalifaan Umayah berjaya dimasanya. Islam lah yang membawanya ke level keemasannya. Organisasi pemerintahan direformasi secara radikal. Reformasi strukturalnya dipandu dengan ketegasan dan kerendahan hati serta keadilan.

Harun Ar-Rashid, sang khalifah, dalam kenyataan tak mempu menjauh dari kebutuhan mengasah kepekaan kemanusiaan. Untuk urusan itu, Harun kukuh dengan Shalat sebagai benteng terkuatnya. Setiap pagi Harun memberikan seribu dirham untuk amal dan melakukan Sholat seratus rakaat.

Harun, mungkin satu-satunya khalifah Umayah yang membebani dirinya dengan kewajiban-kewajiban berat. Harun juga mungkin merupakan satu-satunya khalifah yang memaksa dirinya melaksanakan begitu banyak sujud dengan shalat hariannya.

Persis seperti sholat, Harun membebani dirinya sebegitu berat dengan kewajiban mengunjungi pasar. Tidak itu saja, ia harus tahu keadaan disetiap sudut kota. Semuanya dibebankan kepada dirinya sebagai cara tepat mengetahui keadaan kehidupan rakyatnya.

Mengapa cara berat dipilih Harun? Ini karena bila ada masalah lidahnya tak mampu kelu untuk meminta nasihat para cendekia, ilmuan, dan ulama. Suatu saat ia mengatakan kepada As Sammak, ilmuwan top kala itu. Dia bertanya,"Apa yang hendak kau katakan padaku, tanyanya? Sammak pun menjawab: "Saya ingin anda selalu ingat bahwa kelak anda akan berdiri sendirian dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Kemudian anda akan dimasukan ke surga atau neraka."

Kalimat ini menghentak seorang pembantu Harun. Ia menilai kalimat Sammak  terlalu tajam untuk seorang penguasa. Dan benar, Harun terlihat tertekan. Kepala rumah tangga itu berteriak “Ya Allah” bisakah seorang meragukan kepemimpinan orang beriman akan masuk surga setelah beliau memerintah dengan adil?"

Melihat itu Sammak tetap tenang, tidak goyah. Sammak malah mengabaikan kepala rumah tangga itu dan menatap Harun dengan tajam. Dengan tatapan khasnya itu, sang Ilmuwan berkata: "Anda tidak akan didampingi orang ini untuk membela anda pada hari itu.”

Namun, jengkelkah atau  marah atau sejenisnya Harun kepada Sammak atas kata-kata tajamnya itu? Tidak.  Tidak sama sekali.

Bahkan,  bertahun-tahun setelah itu, Sammak kemudian dipanggil lagi ke Istana. Seorang pelayan segera memasukan kendi ke pertemuan itu, dan Harun segera menempelkan ke bibirnya. Tetapi segera disambut Sammak dengan sebuah pertanyaan mematikan.

Pertanyaan Sammak kali ini adalah,"Kalau seteguk air itu diambil darimu, berapa banyak yang akan anda berikan untuk mendapatkannya? Harun menjawab:" Separuh kerajaanku!".

Sammak, sang ilmuwan top ini segera menyusulkan kata-kata, “Minumlah dan semoga Allah menyegarkan anda.”

Namun Sammak ternyata kemudian belum menyelesaikan perkataannya. Dia ternyata masih mengajukan pertanyaan lagi. Sammak bertaka: "Pertanyaannya sekarang adalah jika anda tidak bisa menghilangkan air itu dari tubuh anda, apa yang anda berikan agar bisa melakukannya? Lagi-lagi Harun menjawabnya dengan kata: “Separuh kerajaanku. Sebuah kerajaan bernilai tak lebih dari seteguk air, kata Sammak menyudahi pertanyaannya.

Harun terlihat selalu tak berdaya menghadapi ilmuwan. Tidak hanya kepada Sammak, ilmuwan lan yang sering diminta nasihatnya. Ketika sedang berhaji, Khalifah bergelar Ar-Rashyid ini, jumpa seorang badui yang berpakaian seadanya. Itu terjadi ketika dia melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Kala itu si badui berlari mendahului Harun. Ia pun mengawali tawafnya sebelum Harun ar-Rasyid sang khalifah.

Melihat itu pengawalnya lalu menghentikan si Badui ini, sembari berkata: "Lancang sekali kau..! Mendengar bentakan pengawal Harun, Badui itu menjawab: “Allah menjadikan semua orang setara di tempat ini, karena dia berfirman. Masjid al-Haram dibuat untuk semua manusia secara sama."

Mendengar itu Harun menerima jawaban itu dan melepaskannya. Namun, ketika sang Khalifah hendak mencium Hajar Aswad, dan sholat di depannya, sekali lagi si Badui mendahuluinya.

Sadar akan hal itu, Khalifah Harun ar Rasyid lalu berkata: "Aku akan duduk di sini bila engkau mengizinkan." Mendengar sang khalifah berlata seperti itu Badui pun menjawabnya: "Rumah ini bukan miliku. Jika kau suka, duduklah. Jika tidak, jangan."

Harun Ar-Rasyid kemudian  duduk sembari mengajukan satu pertanyaan kepada Baduy itu. "Aku ingin bertanya kepadamu mengenai kewajibanmu?. Bila engkau benar dalam soal ini, maka engkau benar dalam semua soal"

Kemudian si Badui pun menjawab:" Apakah engkau bertanya untuk kepentinganmu atau untuk memperdayaku? "

Harun menjawab: “Untuk belajar.”  Lalu si Badui pun berkata, "Kalau begitu duduklah dalam posisi yang patut sebagai seorang murid. Harun pun setuju.

Dalam posisi itulah Harun, Sang Ar-Rasyid ini menyimak jawaban si Badui. Si Badui lalu mengulangi pertanyaan Khalifah, “Kewajiban apa yang telah dibebankan Allah kepadamu.” Dan setelah itu segera si Badui mengalirkan jawabannya yang membuat Harun, sang Ar-Rasyid terpana.

Jawabannya si Badui begini, "Dengan itu apa kau maksudkan satu kewajiban, lima, tujuh belas, tiga puluh empat, atau delapan puluh lima. Atau kewajiban untuk seumur hidup? Harun merasa terhibur, dan berkata aku bertanya pada mengenai kewajibanmu, dan engkau beri penjelasan.

Lelaki Badui itu menjawab dengan hikmat. Wahai Harun, begitu lelaki badui mengawali jawabannya, jika agama tidak melibatkan penjelasan, Allah tidak akan memanggil manusia untuk beri penjelasan dan pertanggungjawaban di hari penghakiman. Sesudah itu si Badui lalu menjelaskan tentang jumlah kewajiban, satu demi satu. Dan Harun terpana, takjub.
Semuanya indah, bahkan terlalu indah untuk dilupakan. Semuanya manis, bahkan terlalu manis untuk dikenang.

Atas penjelasan itu, Harun menyadari bila kerajaan dengan kesuksesan yang begitu mengagumkan melampaui London dan Paris pada masanya, akhirnya suatu saat toh akan hilang tak berbekas. Semuanya pasti berlalu menjadi kenangan indah dan seindah keadilan menyebar di seluruh ruang dan waktu di sepanjang jalan pemerintaham. Atas teladan dari peri laku Harun Ar Arsyid itulah dia dikenang sebagai pemimpin bagi orang-orang yang mengenal diri. 

Akhirnya, akankah jalan berat sekaligus mulia ini akan disusuri Pak Jokowi, seorang Presiden yang hari-hari ini sedang mengurus Corona yang terus merajalela?  Tak ada satu pun yang tahu apa yang ada di dalam sanubarinya. Peptah sudah mengatakan: Dalamnya lautan dapat dikenali, dalamnya hati selalu tak teraba.

Tapi harapannya, meski lingkungan politik telah berbeda sangat jauh dari era khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Harun ar-Rasyid, -- bahkan kini penuh dengan perna-pernik baru yang bisa memenjarakan kalbu, Pak Jokowi bisa mengambil itiba' atau contoh dari mereka. Keagungan dan kenikmatan kekuasaan memang bisa  memenjarakan setiap penguasa yang berenang di dalamnya, tapi semua bisa di atasi. Syaratnya, bila pribadi sang penguasa setia pada iman nuraninya dan juga dengn bekal ilmu yang memadai.

Masih ada waktu, begitu kata Ebiet G Ade seperti dalam rilis lagunya yang terbaru.


Jakarta, 5 April 2020.

  
 
  

 
Berita Terpopuler