Penantian Panjang Pengganti Sandi, Pendamping Anies

Menyelesaikan penganti Sandi saja berlarut-larut. Apalagi negara yang luas.

Republika/Sri Handayani
Sampai saat ini pengganti Sandiaga di kursi Wakil Gubernur DKI belum ada. Foto: Sandiaga dan Anies Baswedan.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Usni Hasanudin, Kaprodi Ilmu Politik FISIP UMJ

Dari 34 provinsi se-Indonesia, hanya Jakarta yang tak pernah tertidur dari diskursus politik dan kekuasaan. Di setiap putaran arah jarum, lorong gelap, dan golongan tanpa pandang strata, selalu memperbincangkan dua tema tersebut. Pun selalu menciptakan berbagai spekulasi publik.

Banyak kalangan memakluminya, karena Jakarta masih menyandang label kekhususan sebagai ibu kota negara. Meskipun muncul wacana memindahkan pusat pemerintahan, Jakarta tetap memiliki daya tarik sendiri bagi masyarakat Indonesia. Bukan sekadar warga Jakarta.

Kepemimpinan kepala daerah, salah satu isu yang santer diperbincangkan. Seperti ketidakadaan wakil gubernur (wagub) dalam 18 bulan terakhir. Selama itu pula Anies Baswedan seorang diri memimpin Jakarta.

Semenjak tanpa pendamping hingga kini, Anies tergolong mampu melalui seluruh momentum politik dengan baik. Di sudut berbeda, ragam permasalahan Jakarta ikut ambil bagian. Belum rampung satu problem, muncul masalah baru. Nyaris takada penyelesaian secara sempurna.

Rumit dan kompleks. Itulah kesan permasalahan yang ada di Jakarta. Termasuk masalah klasik, seperti banjir dan kemacetan. Ini mencerminkan saling tindih berbagai kepentingan. Elemen-elemen kekuatan politik saling unjuk pengaruh di tanah Betawi.

Kondisi tersebut dibumbui peran media sosial. Seiring itu pula banyak masalah yang semestinya tak memiliki keterkaitan dengan politik kekuasaan, diseret menjadi persoalan politik. Permasalahan pun semakin rumit. Itulah Jakarta. Itulah politik. Menyelesaikan satu soal untuk tak terselesaikannya persoalan lain.

Pada konteks kepemimpinan politik Jakarta, semestinya tak membiarkan Anies mengakhiri masa baktinya tanpa pendamping. Di sisa kepemimpinannya hingga Oktober 2022, Jakarta akan selalu diwarnai berbagai permasalahan. Anies juga memiliki keterbatasan. Sosok DKI-2 yang belum terjawab sebaiknya cepat diselesaikan.

Bagi para pemangku kepentingan, harus ambil peran. Bukan justru membiarkannya menjadi liar. Karena di pihak lain, tak semua warga Jakarta mengetahui perundang-undangan berlaku. Publik hanya paham, Anies hingga kini belum memiliki wagub pascamundurnya Sandiaga Uno pada medio 2018.

Kita mungkin masih teringat bagaimana Sandi kala membacakan surat pengunduran dirinya pada Ralat Paripurna DPRD DKI Jakarta, 27 Agustus 2018. Sampai hari ini, pos yang ditinggalkan tetap tak bertuan.

Kopi malam dan ditemani beberapa kolega, sambil berseloroh. "Menyelesaikan penganti Sandi saja berlarut-larut. Apalagi menyelesaikan negara yang sangat luas."

Pada sisi lain, kita juga tak boleh menafikan keterpilihan Anies-Uno dilandasi pilihan mayoritas warga Jakarta melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017. Keduanya dinilai lebih cakap dan kompeten ketimbang dua pasangan lainnya.

Warga Jakarta menaruh harapan besar kepada keduanya. Walaupun pada akhirnya Sandi mengundurkan diri sebagai pendamping Anies untuk menapaki pengabdian ke level lebih tinggi, posisinya tetap kosong. Ini menjadi hak publik. Tak boleh dicaplok kelompok tertentu. Sehingga, harus segera ditunaikan.
 
Merujuk sistem perundangan yang berlaku, batas waktu pengisian kekosongan jabatan publik memang tak tertuang secara spesifik. Undang-undang hanya memberikan kewenangan institusi yang berhak mengisi kekosongan, adalah partai politik pengusung, DPRD, dan eksekutif. Kewenangan yang diberikan undang-undang hakikatnya untuk menjalankan hak rakyat yang diwakili.

Hak publik tak boleh teroksidasi, karena dapat menimbulkan citra negatif. Berkarat atau memunculkan warna yang tak sedap dipandang akibat bercampurnya berbagai kepentingan. Begitu pun dalam menjalankan hak publik. Interaksi kepentingan politik semestinya tak menghalangi hak publik untuk posisi penganti Sandi.

Kita sangat menaruh harapan, agar tak menimbulkan oksidasi politik publik. Bukan saja sosok Anies Baswedan, tetapi ketidakpercayaan publik terhadap partai politik dan DPRD DKI Jakarta.

Berdasarkan informasi melalui berbagai media, tahapan mengisi penganti Sandi telah memasuki tahapan baru. Seiring terbentuknya Panitia Pemilihan (Panlih) Wagub DKI Jakarta oleh DPRD.

Setelah dua partai politik pengusung, Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menyodorkan nama Ahmad Riza Patria dan Nurmansjah Lubis. Kedua nama itu, tentu berdasarkan pertimbangan terbaik melalui mekanisme internal masing-masing.

Kedua tokoh yang diajukan, meskipun kader terbaik partai, bukan berarti sejalan dengan harapan publik dan dapat diterima seluruh elemen masyarakat Jakarta. Namun, publik setidaknya memiliki harapan, siapa pun yang kelak mendampingi Anies dapat bekerja sama menuntaskan berbagai persoalan Jakarta.

Yang utama, mampu menginterpretasikan sekaligus mengintegrasikan dirinya ke dalam program-program yang telah menjadi agenda Anies-Sandi saat masa kampanye. Menuntaskan, tidak mungkin dilakukan dengan cara berjalan masing-masing. Berbagi peran dan kewajiban merupakan kunci keberhasilan.

Karena itu, untuk menyelesaikan program kampanye dan pembangunan Jakarta yang berkesinambungan, harapan publik terhadap figur pendamping Anies dapat meminimalisasi ketegangan yang disebabkan banyaknya kepentingan politik di Jakarta. Dia juga harus mampu mengagregasikan, mengartikulasikan, dan mengakomodasi berbagai kepentingan politik Jakarta. Sosok mumpuni yang memahami Jakarta, adalah syarat yang diperlukan.

Kini tahapan sedang berjalan. Kemampuan, kelebihan, maupun kekurangan tetap menjadi bagian dari dua calon yang diusulkan. Setidaknya, harapan publik agar kondisi Jakarta sesuai jargon "Maju Kotanya, Bahagia Warganya" dapat dirawat.

 
Berita Terpopuler