Ibu Nyingge Lagi

Setiap orang punya daya tahan sendiri menghadapi kesepian.

Renda Purnama
Ibu Nyingge Lagi
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Aku baru saja menyelesaikan shalat Maghrib ketika Yakub, adikku yang bungsu, menelepon. Mula-mula, menanyakan apakah ibu ada di rumahku. Ketika aku jawab tidak, dia mengabarkan hal yang membuatku terperangah. Ibu tak ada di rumah. Sudah empat hari tak pulang-pulang.

Rumah dibiarkan tidak terkunci. Tak ada barang yang hilang, tak juga berantakan. "Berarti ibu nyingge," ujarku.

Tapi, aku khawatir ibu diculik orang. "Adikku waswas sebelum menutup telepon. Ketika aku ceritakan telepon Yakub kepada istriku, ia sedikit kaget. Pasti ada masalah lagi," kata dia.

Ibu memang sering sekali begitu. Jika tak mampu menyelesaikan masalah, ia nyingge. Sependek ingatanku, sebelumnya sudah dua kali ibu nyingge.

Pertama, ketika ada masalah dengan pacarku dulu saat masih kuliah. Saat keluarga pacarku nompohke rumah, ibu malah pergi entah ke mana sambil menangis. Untung waktu itu masih ada bapak sehingga masalah bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

Kedua, ketika Radi, adikku nomor dua yang jadi dosen, ada masalah dengan mahasiswinya. Istrinya curhat pada ibu dan meminta solusi. Bukannya mendapatkan jawaban bijak, ibu malah pergi dari rumah.

Sekali lagi, sambil menangis.

Kali ini, kira-kira tiga empat bulan lalu setelah acara haul 1.000 hari meninggalnya bapak, ibu curhat kepadaku. Memang dari tiga anaknya hanya aku satu-satunya anak yang jadi tempat berbagi setelah bapak meninggal. Tiap aku pulang ibu akan bercerita banyak hal, meski sampai larut malam.

"Bagaimana kalau aku menikah lagi?" Sebelum mengajukan pertanyaan itu, ibu bercerita ada lelaki yang mendekatinya. Seorang ustaz.

Pertanyaan itu kontan saja membuatku naik pitam. Entah mengapa bagiku kesetiaan itu penting. Toh, banyak orang yang ditinggal mati pasangannya masih bisa hidup sendiri dan berbahagia tanpa harus menikah lagi.

Tentu tidak nyaman hidup sendirian.Tapi, semua orang tohpada akhirnya akan sendirian. Orang harus belajar kembali kepada akar. Yang bermula sendirian akan berakhir sendirian. Kurang apa cinta bapak pada ibu. Sejak awal pacaran, meski saat bertandang ke rumah ibu, bapak selalu diolok-olok enthok: (bebek), toh bapak bergeming. Padahal, waktu itu ibu sudah dijodohkan sama famili jauhnya yang AKABRI. Akhirnya, bapak juga yang menang.

Aku tegas menjawab: "Nggak!" Lalu berlalu pergi. Ibu diam saja. Tatapannya kosong.

Setelah kupikir matang, aku terlalu berlebihan ketika menolak keinginan ibu menikah lagi. Setiap orang punya daya tahan sendiri menghadapi kesepian. Aku tahu ibu mencintai bapak. Juga sebaliknya.

Aku sadar ibu tidak muda lagi. Usianya sudah 50 tahun. Jadi rencananya menikah lagi adalah perkara melalui sisa hidup dengan pasangan yang bisa diajak me ngobrol banyak hal dan melakukan berbagai hal bersama. Tidak mudah mengikis cinta bapak di dalam pikiran ibu. Tapi, pada akhirnya seseorang butuh teman untuk berbagi di sisa hidupnya yang menua dan terus ringkih.

Setelah kejadian itu, ibu tak pernah lagi mengungkapkan keinginannya itu. Jika saat itu tiba, dengan besar hati, aku akan menjawabnya: "Iya."

Ibu perlu menikah lagi dan berbahagia. Aku yakin di alam kubur sana, bapak akan setuju dengan keputusanku. Sayang, ibu memilih nyingge.

Namun, ibu nyingge tak pernah lama. Paling lama dua hari. Jadi kalau sampai empat hari pasti ada masalah serius. Dan itu artinya aku harus segera mencari ibu, malam ini juga. Tentu saja aku mengajak istriku. Lagipula sudah hampir tiga bulan aku tak pernah pulang.

"Sekarang?" tanya istriku.

"Iya."

"Aku tahu di mana ibu berada."

Aku sudah menunggu di atas motor ketika istriku berkali-kali keluar-masuk ruang tamu. Seperti sedang mencari sesuatu.

Namun, beberapa menit mondar-mandir seperti ayunan dimainkan anak-anak ia belum juga menemukan apa yang dicarinya.

"Mama cari apa?" Aku bertanya sambil menggeber-geber gas.

"Helm!"

"Tuh yang dipakai apa?"

Istriku memegang kepalanya. Kami tertawa bersama. Mungkin istriku menertawai dirinya sendiri yang makin lama sepertinya makin pelupa.

Malam di Madura meninggi dan basah ketika aku sampai di rumah ibu. Kurasakan dingin menyergap perlahan. Suara sirene, entah milik mobil polisi entah ambulans melengking di kejauhkan. Lamat dan menegangkan.

Ketika memasuki ruang tamu, kucium bau teh hijau menguar. Ibu sudah di rumah, batinku. Benar saja. Kulihat ibu tengah tertidur di kamar tengah. Tanpa menganggunya, aku dan istriku tidur di kamar depan.

Esoknya istriku membantu ibu memasak. Aku membersihkan rumah. Tak ada niat bertanya kenapa ibu nyingge sampai begitu lama. Nanti juga ia akan bercerita sendiri. Sebab, begitulah kalau kami bertemu. Ibu akan bercerita banyak hal. Soal kampung, soal orang-orang pengajian, soal anak didiknya yang belajar ngaji, soal anak kos, soal tetangga, soal arisan, soal adik saya, soal anak adik saya, juga soal dirinya.

Saat hari beranjak senja itulah segalanya dimulai. Kali ini, soal Pak Maliki yang menceraikan Bu Yasmin. Tetangga jauh. Pasangan itu memang cukup akrab dengan ibu. Keduanya menikah sudah delapan tahun jalan. Dan belum juga dikaruniai anak. Bagi kebanyakan laki-laki Madura, menikah dan tak punya anak seperti aib. 'Tak kalake'. Dan anak adalah pusaka.

"Di pengadilan agama alasannya apa?" tanyaku menyelidik.

"Katanya karena istrinya ndak patuh sama suaminya. Kamu tahu kan suaminya orang Masalembu. Tapi, tiap Lebaran ndak pernah mau ikut pulang. Alasannya karena mabuk berat kalo naik kapal laut."

"Cuma itu? Kok diizinkan sama pengadilan?"

"Nyatanya surat cerainya keluar gitu."

"Apa karena istrinya mandul?"

"Mandul kerap jadi alasan banyak laki-laki untuk menceraikan istrinya dan kawin lagi. Intinya sih cuma pengin kawin lagi. Sebab kalau sudah cinta, mandul atau tidak ya tetep jalan aja berdua."

"Katanya sudah periksa ke dokter. Dokter bilang keduanya sama-sama sehat."

"Terus?"

"Ternyata setelah itu Pak Maliki kawin lagi."

"Ya, kan. Ya, kan. Itu akal-akalan klasik."

"Tapi itu kurang canggih, sih. Sudah agak lapuk cara macam gitu."

"Yang canggih gimana?"

"Kalau saya sih, saya milih ikut situs `ayopoligami'. Nanti istri saya, saya ajak juga."

"Ya harus sabar. Kan nanti istri saya di-training bagaimana caranya ikhlas suaminya kawin lagi. Kalo sudah mantep, baru hajar. Beres. Ndak perlu menceraikan istri, bisa punya istri lagi."

"Jaga mulutmu!"

Aku tertawa. Ibu tertawa. Senang membuatnya tertawa. Apa sih yang bisa diberikan seorang anak melleng macam aku pada orang tua selain kebahagiaan? Membuat janda beranak tiga ini tertawa saja aku merasa sejuk. Tapi, aku melirik istriku. Ternyata dia sudah tidur. Aku menarik napas lega.

"Lantas?"

"Dua tahun kawin, dia ceraikan lagi istri keduanya."

"Dicerai lagi? Alasannya? Terlalu perhitungan soal duit dalihnya."

"Klise. Mana ada istri yang nggak perhitungan soal duit di zaman krisis macam begini, apalagi kelas menengah. Hidup boros itu sama saja mengantar pada jurang ke hancuran ekonomi keluarga. Selama dalam batas normal, kupikir wajar. Tapi, yang namanya akal-akalan ada juga dalihnya bukan?"

"Dengan yang kedua ini belum punya anak juga? Belum."

"Pasti Pak Maliki kawin lagi kan?"

"Iya. Kok tau? Nebak aja."

Hari sudah makin redup. Dari jendela rumah, kulihat langit mulai berwarna kemerah-merahan. Tapi, ibu masih terus bercerita tentang Bu Yasmin. Katanya, suatu hari, Bu Yasmin pergi ke dokter kandungan lagi. Bukan periksa kandungan, periksa penyakit lain. Sang dokter yang dulu juga memeriksa Bu Yasmin dan Pak Maliki bertanya agak kaget karena Bu Yasmin tak didampingi Pak Maliki.

"Sudah cerai, Dok."

"Kok bisa?"

"Katanya saya mandul, Dok."

"Sebenarnya, waktu periksa itu saya sudah tahu akar masalahnya di mana. Tapi, saya katakan kalian berdua subur semua itu untuk menjaga keutuhan keluarga. Sebenarnya yang mandul itu ya suami ibu."

Bu Yasmin akhirnya kawin lagi dan dikaruniai anak satu, cewek. Dan ibu saya cerita lagi, kalau Pak Maliki cerai lagi dan kawin lagi. Duh.

Sebenarnya, cerita di atas sudah selesai, aku sudah beranjak tidur. Sudah ngantuk berat. Mendadak ibu memanggil lagi. Ah, cerita soal nyingge nih, batinku.

"Cong, kamu tahu ibu ke mana kemarin?"

"Ndak."

"Ke rumah calon suami ibu."

"Yakin ibu mau menikah lagi?"

Ibu mengangguk pelan. "Iya, jadi istri ketiga."

"Mampus," batinku. "Jawaban apa yang harus kuberikan, Tuhan?"

KETERANGAN:

- Nyingge : Kabur dari rumah.

- Nompoh : Mendatangi rumah orang lain meminta pertanggungjawaban atas sebuah masalah.

- Tak Kalake' : Mandul.

- Melleng : Nakal. Suka melanggar aturan.

- Cong, Kacong: Sapaan akrab untuk anak lelaki.

TENTANG PENULIS: EDY FIRMANSYAH, Seorang penulis kelahiran Pamekasan, Madura.Kumpulan cerpen tunggalnya yang pernah terbit adalah Selaput Dara Lastri(IBC, Oktober 2010). Cerpen- cerpennya tersebar di banyak media cetak maupun media daring, baik nasional dan lokal. Bisa dihubungi via Twitter: @semut_nungging.

 
Berita Terpopuler