Kewenangan Penetapan Fatwa Halal Perlu Dibahas Bersama

Ormas Islam akan dilibatkan dalam pembuatan produk fatwa halal.

Republika/Kurnia Fakhrini
Kewenangan Penetapan Fatwa Halal Perlu Dibahas Bersama. Foto: Ilustrasi Sertifikasi Halal.
Rep: Fuji E Permana/Umar Mukhtar Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja mengubah beberapa pasal yang ada di Undang-undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Salah satu pasal yang diubah adalah pasal yang memberi amanat kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa halal.

Terkait pasal tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal MUI (Wasekjen MUI), Nadjamuddin Ramly menyarankan agar Kementerian Agama (Kemenag), MUI, dan ormas Islam membicarakannya. Sehingga dari pembicaraan tersebut bisa diambil keputusan bersama tentang siapa yang sebaiknya menetapkan fatwa halal.

Nadjamuddin juga mengatakan, ormas Islam dapat menetapkan kehalalan produk bertolak belakang dengan amanat UU JPH. Sebab UU JPH memberikan tugas kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa halal. Selain itu mengamanatkan MUI agar mengakreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

"Dengan demikian maka perlu dibicarakan bersama Kemenag, MUI dan berbagai ormas-ormas Islam yang sudah berbadan hukum, saya kira yang memiliki itu semua Muhammadiyah dengan perguruan tingginya, laboratoriumnya, pakar-pakarnya dan Nahdlatul Ulama yang memiliki itu juga," kata Nadjamuddin kepada Republika.co.id, Rabu (19/2)

Menurutnya, siapa yang sebaiknya menerbitkan fatwa halal hanya soal teknis saja. Tapi menteri agama juga harus tahu yang duduk di Komisi Fatwa MUI adalah ormas-ormas Islam. Di komisi fatwa ada Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Mathla'ul Anwar, Al Washliyah, Tarbiyah dan yang lainnya.

"Cuma mungkin kalau satu institusi (yang mengeluarkan fatwa halal) akan lama, ini soal cara saja, semoga ada harmoni dalam pembahasan Omnibus Law ke depan," ujarnya.

Mengenai adanya pasal di RUU Cipta Kerja yang membolehkan ormas Islam menetapkan fatwa halal. Nadjamuddin mengatakan nanti akan dibicarakan. Kalau MUI merasa mampu mengeluarkan fatwa halal untuk makanan, kosmetik dan lainnya demi memenuhi kebutuhan umat Islam, maka cukup MUI saja yang mengeluarkan fatwa halal.

Tapi, kata dia, kalau MUI keteteran dalam mengeluarkan fatwa halal akibat terlalu banyaknya permintaan, maka harus rasional. "Kita harus membuka nalar kita karena representasi MUI adalah representasi ormas Islam, MUI tidak punya anggota yang punya anggota adalah ormas Islam," jelasnya.

Ia mengatakan, kalau ada persetujuan ketiga institusi yakni MUI, Muhammadiyah dan NU. Menurutnya semuanya bisa berjalan bersama mengeluarkan fatwa halal. Selain itu, Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja masih berupa rancangan. MUI akan mengikuti terus perkembangan RUU Cipta Kerja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelumnya, Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) Kemenag Sukoso enggan menanggapi adanya perubahan aturan dalam rancangan Omnibus Law alias RUU Cipta Kerja, khususnya yang terkait dengan pelibatan ormas Islam dalam mengeluarkan fatwa halal

“Begini, itu kan masukan dari banyak pihak. Kalau kami secara resmi belum dapat. Kecuali kalau itu sudah dikirim ke kantor saya lewat institusi resmi. Kalau masih merupakan sebuah ide, opini, saya tidak bisa nanggapi dong,” ujar Sukoso saat dihubungi Republika.co.id, Senin (17/2).

Kendati demikian, menurut dia, setelah rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh DPR, ia siap menjalankan apa pun yang diperintahkan. “Kami menjalankan apa yang ada di dalam undang-undang dan perkara hasilnya Omnibus Law tentu itu perintahnya ke kita. Kita itu yang menjalankan pekerjaan,” ucapnya.

Dia menjelaskan, undang-undang tersebut tentunya merupakan produk DPR. Setelah disahkan baru bisa dijalankan oleh pemerintah. Namun, menurut dia, sampai saat Ombinus Law tersebut belum ditetapkan secara resmi oleh DPR.

“Jadi apakah itu sudah ditangani, sudah resmi keluar? Di meja saya belum ada itu. Kalau kami menanggapi sesuatu opini, pendapat, atau pandangan, waduh malah kami tidak bekerja,” katanya.

Staf Khusus Wakil Presiden Ma'ruf Amin Bidang Komunikasi dan Informasi, Masduki Baidlowi menjelaskan apa yang mendasari munculnya aturan yang melibatkan ormas Islam dalam menetapkan kehalalan suatu produk atau fatwa halal. Rencana dilibatkannya ormas dalam fatwa halal tercantum dalam draf Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Draf ini telah diserahkan ke DPR.

Masduki menyadari ada pandangan  yang menyebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) memonopoli fatwa halal. "(Dasar pelibatan ormas Islam dalam menetapkan kehalalan produk) itu kan ada pandangan bahwa MUI itu dianggap sebagai monopoli," kata Wakil Sekjen Pengurus Besar NU itu kepada Republika.co.id saat di kantor MUI, Jakarta, Selasa (18/2).

Menurut Masduki, pandangan seperti itu adalah pandangan yang memang harus dihormati sebagai sebuah pandangan. "Tapi ada pandangan lain yang berbeda yang juga harus kita hormati. Titik temunya di mana, nanti di DPR, itu akan dibahas dan diambil sebagai keputusan politik," kata dia.

Masduki menambahkan, tiap ormas Islam punya kesempatan untuk bicara di DPR terkait Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). Apalagi, dalam draf tersebut, Ormas Islam dilibatkan untuk menetapkan kehalalan suatu produk.

"Itu akan dibicarakan di DPR, karena sekarang draf Omnibus Law dari pemerintah itu sudah disetorkan ke DPR. Maka tiap ormas Islam, MUI, dan segala macamnya itu karena punya pandangan yang berbeda-beda nanti akan diberikan kesempatan di DPR untuk bicara," kata dia.

Masduki mengatakan, pemerintah tentu berharap, Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah melewati berbagai proses kompromi sebelum disahkan menjadi UU. Melalui kompromi itu pula, dia berharap ada titik temu atas perbedaan pandangan di kalangan ormas Islam soal aturan penetapan fatwa halal suatu produk.

"Yang penting nanti kita berharap bahwa ujung dari keputusan rapat yang menghasilkan Omnibus Law sebagai UU itu sudah mengkompromikan banyak hal sehingga ada titik temu," ucap dia.

 
Berita Terpopuler