Pengamat: Penambahan Masa Jabatan Presiden tak Urgen

Amandemen UUD sebaiknya bukan untuk memperpanjang periode presiden.

Republika TV/Havid Al Vizki
Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro menilai munculnya penambahan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode tidak relevan. Bahkan, menurutnya, hal tersebut tidak ada urgensinya sama sekali.

Baca Juga

"Bagaimanapun juga kita harus menjadi bangsa yang taat pada konstitusi. Konstitusi mengatakan dua periode,  ya sudah, bahwa akan ada amandemen konstitusi amandemen itu bukan untuk membahas perpanjangan waktu untuk presiden, karena kalau itu yang terjadi ini akan menjadi satu katakan preseden buruk," ujar Siti ditemui di Menteng, Jakarta, Ahad (24/11).

Menurutnya, wacana tersebut bukan yang pertama. Wacana menambah jabatan presiden tersebut pernah dilontarkan kader Partai Demokrat di periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meski pada akhirnya wacana mendapat berbagai penolakan.

"Jadi menurut saya apa yang sudah ada dalam teks, dalam konstitusi, itu yang harus diikuti, kalaupun ada pembahasan amendemen, amendemen itu membahas hal-hal yang tidak untuk memperpanjang periode presiden," katanya.

Ia menuturkan, perlu dicari tahu terlebih dahulu apa urgensinya mengutak-atik masa jabatan presiden. Jika alasannya adalah adanya distorsi yang terjadi di masyarakat, maka perlu dicarikan solusi agar hal tersebut tidak terjadi lagi.

Karena itu, ia lebih sepakat jika masa jabatan cukup satu periode dengan masa kepemimpinan enam hingga tujuh tahun. Dengan demikian, presiden akan fokus pada pekerjaannya.

"Kalau dua periode berturut-turut mereka baru dua tahun saja sudah mikir, apa yang bekal saya untuk nanti ikut dalam kontestasi, nah ini," ungkapnya. 

 
Berita Terpopuler