Menggagas Kampung Budaya di Kota Malang

istimewa
Ki Demang
Red: M Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ki Demang (Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Kota Malang)

Kota Malang adalah kota yang menyimpan banyak sejarah dan cikal bakal kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur, Kota Malang mempunyai banyak peninggalan situs bersejarah. Di Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, misalnya, terdapat Sumur Windu Kendedes, Mandala Empu Purwa, Makam Joko Lulo dan Makam Mbah Reni (penemu topeng Malangan pertama kali).

Semua situs itu telah ditetapkan sebagai Situs Budaya Polowijen dan di resmikan oleh Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Kota Malang pada 30 Oktoteber 2016 lalu.

Untuk membangun kesadaran warga atas pentingnya situs budaya, warga Polowijen menggelar Sarasehan Budaya Polowijen dengan menghadirkan para tokoh masyarakat dan pelaku seni budaya di Kota Malang. Diharapkan Polowijen akan menjadi kampung budaya yang mendorong wisata budaya dan pengembangan ekonomi kreatif di kota Malang untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Panawijen sebagai Kota Suci

Di dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa ada sebuah wilayah bernama Panawijen. Di wilayah ini, ada seorang yang disebutkan sebagai Empu Purwa. Dari Sang Empu inilah terlahir seorang perempuan bernama Dedes, yang dikemudian hari dikenal sebagai Ken Dedes.

Dalam perjalanan sejarah dari seorang Ibu Ken Dedes inilah terlahir raja-raja yang sangat mumpuni di kerajaan Singosari bahkan sampai menjadikan sebuah kerajaan besar Majapahit.

Budayawan Malang, Romo Djathi Kusumo di tahun 1993  telah membuat film dokumenter Ken Dedes dan menjadi sutradara.  Dokumen film itu, sebagaimana janjinya akan diberikan kepada masyarakat Polowijen agar bisa ditonton khalayak ramai.

Menurut cerita Romo Djathi, Empu Purwa datang pertama kali ke tanah Jawa tepatnya di lereng Gunung Arjuna yang waktu itu bersama istrinya yang sedang mengandung putri Ken Dedes. Ia meyakini bahwa Panawijen sebagai tanah suci sehingga Empu Purwa mendirikan asrama perguruan yang merupakan wiyata mandala keagamaan‎ ‎Budha jaman itu.

Mengingat Polowijen yang dulu namanya Panawijen sebagai kampung kuno yang mempunyai banyak situs bersejarah, hendaknya masyarakat turut serta melestarikan dan membangun budaya dengan cara merawat dan membangkitkan kejayaan seni tradisi yang dulu pernah ada. Pada titik inilah, perlunya fasilitas yang menjadi kebutuhan masyarakat untuk membangun kesadaran kembali belajar berkesenian seperti karawitan, latihan tari topeng Malangan.

Menurut catatan tokoh masyarakat Polowijen, Muhammad Effendi, Polowijen telah mengalami masa 3 kejayaan yang sangat terkenal. Pertama, Ken Dedes yang melahirkan raja-raja besar di Jawa dengan situs sumur Windunya. Kedua, Topeng Malangan yang tersebar di Malang Raya. Dan ketiga, hasil usaha ekonomi masyarakat seperti olahan keripik buah sangat terkenal dan sudah mendunia dipasarkan di banyak negara.

Selain situs Ken Dedes dan Mandala tempat pertapaan Empu Purwo, situs budaya Polowijen juga asal lahirnya topeng Malang yang diciptakan dan dikembangkan oleh Tjondro Suwono atau akrab dipanggil Mbah Reni.

Nah, Mbah Reni ini kemudian  mendapat julukan Kyai Sungging Adi Linuwih Bupati R.A.A Soeriohadiningrat (I889-1928) sebagaimana tertulis di buku Belanda terbitan 1938, yang oleh sejarawan Ong Hok Ham melakukan penelitian tentang Topeng Malang.

Topeng Malang dalam perkembangannya banyak ditemui di Kabupaten Malang, diantaranya di Tumpang, Jabung, Srenggeng, Pakisaji, dan Jatiguwi di Kabupaten Malang.

Cerita sejarah ini harus ditangkap oleh masyarakat sekitar bahwa keberadaan situs-situs budaya di Polowijen sudah semestinya dapat membangkitkan ekonomi kreatif sekaligus menjadi daya tarik wisata budaya yang menjadi khasanah dan referensi pengembangan pariwisata di Kota Malang.

Sentra-sentra industri kreatif seperti kerajinan topeng, gerabah, seni pahat, desain,  fashion, handycraft, seni pertunjukan serta kuliner dapat tumbuh seiring dengan meningkatnya sosialisasi dan informasi keberadaan situs Polowijen.

Dalam konteks ini, masyarakat harus bangkit untuk membangun gerakan budaya, mulai dari budaya berkesenian, budaya kerja kreatif, budaya hidup sehat, budaya lingkungan bersih, budaya gotong-royong, budaya kerja  yang menjadi inti dan ruh kehidupan bermasyarakat.

Masyarakat tak cukup mengerti cerita kebesaran dan kejayaan kampung Polowijen. Lebih dari itu, masyarakat perlu membangun kembali kesadaran masyarakat tentang arti penting berkebudayaan sehingga dapat menggali potensi, membangkitkan ekonomi, memunculkan inspirasi dan kreasi-kreasi baru yang menarik sebagai salah satu upaya melestarikan warisan sejarah, kebudayaan dan wisata budaya di Polowijen.

 
Berita Terpopuler