Sukarno 'Koreksi' Hadis Nabi Muhammad SAW Soal Samak

Sukarno 'Koreksi' Hadis Nabi Muhammad SAW Soal Samak

dok. Istimewa
Sukarno
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Karta Raharja Ucu

Mohammad Natsir, tokoh intelektual Islam mencium pemikiran berbahaya dari Sukarno. Natsir melontarkan kritik tajam atas pemikiran Sukarno mengenai kemerdekaan berpikir dalam Islam yang dituangkan Bung Karno dalam artikelnya di Pandji Islam, 22 April 1940.

Dalam artikel berjudul "Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara", Sukarno bercerita tentang samak. Anaknya, Ratna Djuami mengabarkan kepada Sukarno jika pancinya telah dijilat anjing.

“Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam panci!” Saya menjawab: “Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”

Tapi Bung Karno memberikan jawaban mengejutkan. Ia menganjurkan panci itu dicuci dengan sabun dan kreolin.

Anjuran Sukarno itu mengherankan Ratna, karena menurut ajaran Islam panci itu harus dicuci tujuh kali dengan air bersih. Sekali di antaranya dengan tanah.

Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanya: “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, di antaranya satu kali dengan tanah?”

Menjawab keheranan anaknya itu, Sukarno mengatakan pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak ada sabun dan kreolin. “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.”

"Mendengar penjelasan itu, muka anak saya menjadi tenang kembali," kata Sukarno. Pemikiran itulah yang disebut berbahaya oleh Natsir.

Baca Juga

Tulisan Sukarno tentang samak langsung dijawan Natsir di majalah yang sama. Dalam artikel berjudul "Sikap Islam terhadap Kemerdekaan Berpikir", Natsir —yang berkali-kali dipuji Sukarno karena kecerdasannya— melihat tanda-tanda bahaya dari pemikiran Sukarno itu.

Natsir memang tidak menyangkal manfaat berpikir merdeka. Ia mengakui, dengan berpikir merdeka, iman bisa diperkukuh dan tahayul yang melekat pada agama bisa dihilangkan. Akal merdeka membuka jendela alam pikiran dan memungkinkan masuknya udara segar.

Akan tetapi, udara segar itu bisa menjadi topan yang dapat mengacaubalaukan segala sesuatunya dan juga dapat menggoyahkan tiang-tiang agama. ”Akal merdeka zonder disiplin menjadikan khaos centang-perenang —Vrijheid zonder gezag is anarchie (kemerdekaan tanpa otoritas adalah anarki). Orang yang percaya bahwa ia dapat memecahkan segala misteri dengan akalnya, sebenarnya tidak lagi menggunakan akal merdekanya melainkan sudah terikat oleh salah satu macam taklidisme modern, yang bernama rasionalisme.

Pemimpin Masyumi itu kemudian melajutkan, "Sabun dan kreolin baru permulaan. Esok lusa orang akan bertanya: kalau kita terpaksa bertayamum, jangan pakai tanah lagi. Dulu tidak ada bedak wangi yang lebih higienis dari tanah, sekarang sudah ada bedak wangi. Dus, kalau kau mau shalat dan terpaksa tayamum, boleh berbedak saja!… Kesudahannya, yang kita b berdapat sebagai hasil akal merdeka itu bukan lagi interprestasi agama, tetapi adalah likuidasi agama …. Akal merdeka 100 persen tidak menggariskan batas buat dirinya sendiri. Semua mau ia atur, semua ia mau kritik, semua ia mau ubah, kecuali dirinya sendiri.”

Ia adalah api yang membakar umat Islam untuk terus menerus berpikir, tidak beku, tidak berhenti. Api yang harus terus menyala, dari ujung zaman yang satu ke ujung zaman yang lain, bukan abunya!.



Pendapat lain disampaikan Buya Syafie Ma’arif saat masih menjadi Ketua PP Muhammadiyah di diskusi Republika. Ia berkata sumbangan terbesar Bung Karno terhadap Islam di Indonesia adalah memacu orang Islam untuk tidak berpikiran beku.

Bung Karno, kata Buya Syafie, selalu menekankan pembaharuan Islam, pintu ijtihad harus dibuka lebar-lebar. "Pemikiran ini selalu dilontarkannya dalam berbagai kesempatan, saat ia menjadi presiden hingga menjelang akhir pemerintahannya," kata Buya.

Seperti di Endeh maupun masa pembuangan di Bengkulu, ketika menjadi presiden pun Bung Karno selalu mengingatkan agar kaum Muslimin di Indonesia mau mengambil api Islam dan membuang abunya. Sukarno berpendapat, Islam pernah menjadi mercusuar di dunia, ketika api Islam berkobar-kobar. Sayangnya, umat Islam kemudian mengalami kesurutan ketika api Islam padam di dalam dadanya.

”Yang padam bukan ajaran Islamnya, tetapi apinya. Tetapi karena apinya padam, ia punya masyarakat surut, ia punya agama surut,” ujarnya.

Bung Karno menurut Buya Syafie juga selalu menggelorakan semangat rethinking of Islam agar Islam bisa maju. Bung Karno tidak ingin umat Islam di Indonesia tertutup sama sekali oleh jumud, khurafat, bid’ah, tahayul-tahayul.

Dalam rangka rethinking of Islam ini, Bung Karno mengingatkan di luar Indonesia, kini di seluruh dunia Timur juga sedang melakukan rethinking of Islam. Yakni, memikirkan kembali maksud-maksud Islam yang sewajarnya.

”Jauhnya kaum intelektual muda terhadap agama, barangkali kita punya pengetahuan agama itu perlu di her-oritentasi, ditelaah, dikoreksi kembali, dipermudakan,” tulisnya.

Tentu saja pikiran-pikiran Bung Karno tentang Islam, menurut Dahlan, bernuansa politik yang tebal. Ini karena pada waktu itu umat Islam di dunia dari Maroko sampai Merauke menjadi korban dari imperialisme.

 
Berita Terpopuler