Taufiq Ismail: Di Zaman Penjajahan, Pelajar Wajib Baca 25 Buku

Republika
Taufiq Ismail
Rep: c14 Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Budayawan Muslim Taufiq Ismail mengatakan, pengajaran sastra merupakan cara menumbuhkan kecintaan membaca pada diri anak-anak muda. Penyair senior ini lantas meminta pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud, untuk serius menata ulang kurikulum terkait pengajaran sastra.

“Kita harus membuat generasi ini senang membaca buku. Dan itu untuk pelaksanaannya, mesti melalui kurikulum pendidikan. Bukan berarti kurikulum diubah, tapi diperkuat,” kata Taufiq Ismail saat dihubungi ROL di Jakarta, Sabtu (28/2).

Taufiq Ismail melanjutkan, sudah sangat lama pengajaran sastra di sekolah-sekolah negeri, terutama tingkat SMA, dipinggirkan oleh pengajaran tata bahasa. Setidaknya, kurikulum demikian berlangsung sejak tahun 1950 atau setelah kedaulatan RI diakui Belanda.

Kata Taufiq Ismail, itu disebabkan para perancang kurikulum pada waktu itu, mengutamakan pengajaran eksakta atau tata bahasa tinimbang humaniora-kreatif, termasuk sastra. “Meskipun itu tidak buruk juga. Tapi, ada hal-hal baik dari kurikulum Belanda yang tidak diteruskan lagi,” demikian Taufiq Ismail.

Bahkan, pendidikan sastra untuk para siswa Indonesia di zaman penjajahan Belanda, menurut Taufiq Ismail, masih lebih bagus ketimbang pendidikan sastra hari ini. Sebab, pada zaman penjajahan Belanda, ada kurikulum yang membina para siswa agar wajib membaca setidaknya 25 buku karya sastra.

“Seperti SMA kita zaman penjajahan dulu. Ada kewajiban membaca 25 buku dalam waktu tiga tahun. Kita harus kembali ke sana,” tuturnya.

 
Berita Terpopuler