Selasa 06 Apr 2021 15:05 WIB

Pulang Kampung di Masa Lalu, Dipaksa Kembali ke Desa

Di kota tak ada pengharapan lagi, maka mereka terpaksa pulang ke kampung.

pulang kampung ilustrasi.
Foto:

Di Rendeh, di barat Bandung, menurut Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie 14 September 1933, ada beberapa orang Belanda yang bertani dengan meminta bantuan penduduk Rendeh untuk mengerjakannya. Namun, setelah pekerjaan selesai, orang Belanda itu tak mau membayar upah.

Mereka biasa berkumpul untuk minum-minum. Jika tak ada uang, mereka menjual kacang hasil dari lahan mereka dengan harga yang sangat rendah, kemudian dipakai untuk minum-minum.

Polisi tidak bisa menindak karena mereka tidak berbuat kejahatan. Tetapi, ulah mereka itu merugikan orang Belanda lain yang benar-benar serius bertani di Rendeh dan juga merugikan petani lain karena harga kacang dikacaukan oleh mereka.

Orang-orang yang suka merantau digambarkan Bintang Timur sebagai orang yang kuat dan pandai. Mereka yang lemah dan tidak pandai digambarkan merasa selamat dengan menunggui tungku dapur ibunya. Ini yang membuat ekonomi desa tidak maju-maju karena yang pandai dan kuat pergi ke kota.

Petani/pedagang kaya tidak menurunkan pekerjaannya kepada anak-anaknya karena anak-anaknya memilih bekerja di kota. Maka, banyak orang tua berpandangan agar anak-anaknya tidak pergi ke kota, anak-anaknya dibiarkan bodoh, tidak disekolahkan. Ketika orang Belanda, Arab, Cina datang di desa itu lantas maju karena mereka berhadapan ketidakmajuan orang-orang desa.

Bintang Timur lantas menulis laporan tentang orang Sunda yang pulang kampung karena terdesak malaise di kota. Koran itu tak menyebut nama orang yang pulang kampung itu, tetapi menyebut sebagai orang yang terpandang. Dari kalangan bangsawan. Orang ini disebut telah 20 tahun pindah ke kota. Orangnya pintar dan cerdik.

Pertama-tama yang ia lakukan sepulangnya dari kota adalah membuka warung di antara lima warung milik orang Cina yang sudah ada terlebih dulu. Warung-warung Cina itu tidak hanya menjual kebutuhan yang diperlukan warga, tetapi juga menampung barang-barang dari warga untuk dijualkan di kota, seperti arang, teh, temulawak.

Belum genap enam bulan warung milik orang desa yang pulang kampung itu berdiri, berdiri pula warung lain. Lima warung Cina itu kemudian dibeli oleh orang desa yang pulang kampung itu.

Bintang Timur menyebut kasus lain, cerita orang yang pernah belajar di Delft, tetapi memilih pulang kampung di selatan Bandung. Orang ini bisa berbahasa Inggris, Jerman, Prancis, dan Belanda.

Di desa ia berlangganan berbagai surat kabar yang juga bisa dibaca oleh warga lain di desanya. Ia membantu usaha pertanian dan perkebunan orang tuanya. Ia mengurus pula empang.

Dari koran-koran yang ia langgan, ia dan warga lainnya mengetahui harga hasil pertanian di pasar. Informasi ini biasanya hanya didapat dari tauke yang datang di desanya. Benar atau tidak informasi tauke itu, mereka harus percaya sehingga mereka menjual hasil pertanian mereka sesuai dengan harga yang disebut tauke-tauke itu.

Kisah lain yang disebut Bintang Timur edisi 2 Oktober 1933 adalah kisah dua anak saudagar Sibolga di Sumatra yang pulang kampung dari Batavia dan Bandung. Mereka pulang kampung untuk membantu mengembangkan perusahaan ayahnya. Mereka berhasil mengembangkannya sehingga firma Djohan Djohar mempunyai kantor di Medan dan perwakilan di Tokyo dan Kobe.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement