Selasa 23 Mar 2021 04:00 WIB

Tiga Tuntunan Alquran tentang Musyawarah

Perang Uhud menjadi saksi sejarah bagaimana keluhuran akhlak Rasulullah Diuji.

Alquran
Foto:

Kata musyawarah terambil dari kata syawara yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebih. Quraish Shihab berpendapat, makna ini berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil/ dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah, pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna di atas. 

Dari sini kita kemudian berpikir, Rasulullah saja sudah bermusyawarah tapi hasilnya kegagalan, terlebih kita yang terkadang ‘lupa’ atau menganggap musyawarah adalah hal yang kurang penting sehingga tidak perlu dilakukan. Karenanya, ayat ini pun mengajarkan kita adab-adab dalam musyawarah. Pertama, berlaku lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras. Kedua, mau memberi maaf—sebab bisa saja terjadi perbedaan pendapat dari pihak lain, ada kalimat yang menyinggung dan bila mampir ke hati akan mengeruhkan pikiran, bahkan pertengkaran.

Karenanya, dalam musyawarah, akal dan ilmu saja tidak cukup. Perlu kebersihan hati, lurusnya niat dan akhlak yang luhur (norma kesopanan) agar tujuan musyawarah tercapai. Dengan demikian, untuk mencapai hasil musyawarah, habluminallah (hubungan dengan Tuhan) pun harus harmonis. Oleh karena itu, adab ketiga dalam bermusyawarah adalah dengan memohon ampun (istaghfir) pada Allah.

 Selain surah di atas, ada beberapa ayat lain yang menggunakan kata musyawarah yakni al-Baqarah/2: 223 tentang pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti soal menyapih anak. Allah memberikan petunjuk agar persoalan rumah tangga dimusyawarahkan oleh suami isteri. Kedua, pada surah asy-Syura/ 42: 38 yang menjanjikan bagi orang mukmin yang senantiasa bermusyawarah ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Namun, yang perlu dicatat, lapangan musyawarah adalah persoalan yang menyangkut dengan pihak lain juga soal kemasyarakatan. Oleh karena itu, para sahabat betul-betul menyadari hal ini. Mereka menjaga diri untuk tidak memberi masukan ketika pendapat Rasul berdasar dari petunjuk illahi.

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement