Jumat 12 Mar 2021 15:37 WIB
Cerita di Balik Berita

Bertemu Jodoh di Ujian Jadi Wartawan

Menjadi wartawan sepertinya cocok dengan gayaku yang tak terlalu suka aturan kaku.

 Cinta,Mawar, Jodoh (ilustrasi)
Foto:

Ceritanya, aku kenalan dengan  seorang peserta tes. Namanya Paul. Dia sudah bekerja di Majalah Sukma. Paul bercerita dia ikut melamar menjadi wartawan dengan sejumlah temannya dari Majalah Sukma. Semua temannya dia ceritakan, termasuk Maya.

Dia bercerita sambil menunjuk satu per satu temannya dari kursi balkon di mana kami duduk. Aku tak tahu mengapa Paul mengenalkan secara detail teman-temannya kepada aku yang yang baru dikenalnya.

Jadi sebelum mengenal Maya, aku sudah tahu banyak tentang dia dari Paul. Sayangnya, Paul yang ramah dan suka bercerita itu belakangan tak lolos dalam rekrutmen wartawan itu.

Baca Juga: Bertaruh Nyawa di Kota Gaza: Israel Kirim Bom di Kala Subuh

Tes pertama adalah wawancara. Ada beberapa meja di lapangan di tengah gedung itu. Kami dipanggil satu-satu menghadap tim penguji.

Yang aku ingat, yang mewawancaraiku salah satunya adalah Effendy Choirie. Gus Coi begitu teman-teman wartawan memanggilnya, terlihat mengangguk-angguk membaca berkas lamaranku. Dia menanyakan mengapa aku ingin menjadi wartawan.

“Itu cita-cita saya Pak,” jawabku.

Dia juga menanyakan kegiatanku selama kuliah. Aku mengatakan banyak aktif di kepramukaan, baik di UGM maupun Kota Yogyakarta. Aku juga pernah ikut pelatihan dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan punya kelompok studi di kampus.

Terakhir, Gus Coi yang belakangan pindah profesi menjadi politisi itu,  menanyakan aku mau digaji berapa. “Terserah saja Pak, sesuai aturan perusahaan saja. Yang penting cukup untuk hidup di Jakarta,” jawabku.

“Berapa cukupnya untuk hidup di Jakarta?” dia balik bertanya.

Aku bingung menjawab. Aku coba hitung-hitung dengan cepat. ”Sekitar Rp 400 ribu cukup,” jawabku.

Waktu itu dolar AS masih sekitar Rp 1.500. Naik metromini di Jakarta sekali jalan hanya Rp 100. Jadi  dengan gaji segitu, menurutku cukup untuk hidup sendiri di Jakarta.

Sesi wawancara selesai. Aku tak yakin apakah jawaban-jawabanku tadi memuaskan pewawancara atau tidak. Tapi aku sudah jawab semuanya dengan jujur. Dan aku menunjukkan keinginanku yang kuat menjadi wartawan.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement