Ratna Puspita, M.Si. menjelaskan hal yang harus menjadi perhatian dalam melakukan survei adalah penyusunan instrumen, yakni kuesioner. Pertanyaan-pertanyaan kuesioner sebaiknya tidak dibuat menggunakan penafsiran pribadi, melainkan disusun berdasarkan hasil bacaan.
Misalnya, penelitian soal ketahanan keluarga, peneliti harus menentukan apa yang dimaksud dengan ketahanan keluarga? Apa batasan ketahanan keluarga? Kemudian, tentukan pula dimensi dan indikator dari ketahanan keluarga. Jika di dalam ketahanan keluarga ada soal ketahanan legalitas, apa yang dimaksud dengan ketahanan legalitas.
Membaca jurnal atau penelitian sebelumnya untuk menentukan batasan, dimensi, dan indikator atau ukuran. Hal ini agar kuesioner yang disusun oleh peneliti menjadi lebih valid.
Azhar Irfansyah, M.A. menjelaskan tentang penyusunan pertanyaan dalam kuesioner. Kuesioner terdiri dari keterangan survei, data pribadi responden yang relevan dengan survei, dan daftar pertanyaan yang terkait dengan konsep atau varaibel yang hendak diteliti.
Pada data pribadi, misalnya, zodiak tentu tidak relevan dalam penelitian, sedangkan golongan darah bisa relevan. Namun, elemen-elemen seperti jenis kelamin, dan usia, biasanya relevan.
Dalam menyusun kuesioner, pertanyaan sebaiknya jelas, singkat, membantu responden dalam mengingat, membuat responden bersedia menjawab, menghindari bias, membantu responden mengutarakan, menyaring responden, dan hindari pernyataan negatif ganda yang bakal menmbingungkan. “Negatif bukan julid, tapi yang dikonfirmasi bahwa tidak. Sebaiknya konfirmasi ‘iya’ atau sebisa mungkin bentuk pertanyaan interogatif positif. Hindari juga bahasa teknis dan ndakik-ndakik yang tidak dipahami orang banyak. Jangan sampai dalam satu kuesioner, ada pertanyaan yang memuat dua pertanyaan,” kata Azhar.
Sebagai penutup, Azhar mengingatkan agar peneliti berlatih menceritakan data. Penceritaan atau storytelling akan membuat data lebih mudah dikomunikasikan kepada masyarakat.