Senin 05 Oct 2020 06:17 WIB
Cerita di Balik Berita

Liputan ke Iran: Diinterogasi Tentara di Bandara

Saya dilarang keluar dari ruang imigrasi bandara sebelum jelas tujuan datang ke Iran.

Ahmad Syalaby Ichsan, Jurnalis Republika
Foto:

Sekitar pukul 08.00 waktu setempat saya tiba di Bandara Internasional Imam Khomeini. Saya berjalan mengikuti rambu-rambu yang sudah dipasang pihak bandara. Seingat saya, ada dua jalur besar yang harus dilalui yakni penumpang asing dan penumpang domestik. Tentu saja saya ikut jalur pertama untuk masuk ke pos imigrasi. Saya sempat diwawancarai seorang perempuan berhijab panjang serba hitam.

Pertanyaan yang sebenarnya standar. Saya ditanya mau ke mana. Saya hanya jawab mau ke Teheran untuk menghadiri International Conference of Youth and Islamic Awakening. Dia bertanya kembali, saya mau menginap di mana?

Saya bilang nanti akan dijemput dan diurus panitia. Dia meminta saya menghubungi panitia. Saya pun berkata jika saya tidak memegang nomor kontak panitia. Mereka akan langsung datang menjemput.

Dia pun meninggalkan saya dan meminta saya untuk menunggu. Sejurus kemudian, datang dua orang lelaki berpakaian militer. Mereka bertanya sekali lagi.

“Kamu mau ke mana? Di mana menginap?” Saya pun kembali mengulang jawaban yang sama. Mereka kembali meminta saya menghubungi panitia. Saya kembali bilang tidak memegang nomor kontak mereka.

Mereka bilang saya tidak bisa pergi dari bandara sebelum memberi kepastian akan ke mana. Saking paniknya, saya mencoba menelepon Kedubes Iran di Jakarta. “Kok enggak nyambung. Duh ternyata belum ganti SIM Card,” batin saya.

Saya pun meminta mereka menghubungi nomor kontak kedubes tersebut. “Tidak nyambung. Mungkin masih malam di sana,” batin saya lagi.

Saya kembali melobi mereka untuk keluar dari sana. “Tolonglah tuan. Saya ini kan Muslim. Kita sama-sama Muslim bersaudara,” ujar saya. Permintaan itu tidak ditanggapi juga. Dia kembali meminta saya untuk duduk di bangku itu.

Saya bingung harus bagaimana. Saya pun meminta mereka mengontak nomor Bapak Saleh Lapadi yang saya dapat dari ICC Jakarta. Tidak ada yang menjawab.

Sejurus kemudian, saya teringat masih menyimpan nomor handphone atase pers Kedubes Iran di Jakarta. Saya berdoa dalam-dalam agar orang itu masih bangun meski sudah amat larut di Jakarta.

Lewat telepon petugas imigrasi, saya tekan nomor demi nomor telepon itu. “Ada nada sambung. Alhamdulillah.” Saya berbicara sebentar dan protes karena tidak ada yang menjemput sambil meminta nomor kontak panitia —meski tidak terdengar jelas. Setelah itu, saya memberi telepon tersebut kepada petugas imigrasi tadi.

Mereka berbicara dengan bahasa Persia yang tentu saya tidak mengerti. Setelah menutup telepon, dia pun mengizinkan saya untuk pergi.

Perasaan saya bercampur antara senang dan bingung. Senang karena bisa segera meninggalkan kursi imigrasi sekaligus masih bingung mau ke mana karena tidak ada juga yang menjemput. Saya lantas ke konter pulsa di dalam bandara untuk mengganti SIM Card agar bisa leluasa menelepon. Saya coba hubungi kembali nomor atase pers tersebut.  Tidak ada yang menjawab. “Duh, mungkin tidur lagi,” hati saya berkata.

Saya menunggu sambil menahan perut yang mulai keroncongan. Saya kembali coba kontak nomor itu. Kembali gagal. Puluhan kali saya coba hubungi, puluhan kali pula nada putus-putus pertanda telepon mati saya dengar.

Di tengah penungguan itu, saya melihat sosok berwajah Indonesia. Saya lantas menyapa orang itu. Alhamdulillah, kebetulan dia juga akan menghadiri konferensi yang sama sebagai peserta di Teheran. Saya pun curhat sambil meminta bantuan akan masalah ini ‘penjemputan’ ini.

Pria bertubuh besar itu memberi pilihan mau ikut rombongan mereka untuk menginap di Qom, salah satu kota di dekat Iran, atau menghubungi nomor Kedubes RI di Teheran. Saya memilih yang kedua agar bisa sesuai dengan rundown panitia — yang hingga saat itu belum kelihatan batang hidungnya.

Dia pun membantu saya untuk menelepon Kedubes RI. Sesudah itu, dia meminta saya menunggu sebentar karena mereka akan menelepon dan menjemput saya. Sesuai dengan perintah teman itu, saya menunggu.

Benar saja. Telepon saya berbunyi. Suara perempuan paruh baya meminta saya agar jangan pergi ke mana-mana. Saya diminta menunggu di pintu keluar bandara.

Tidak sampai setengah jam, petugas Kedubes RI datang bersama seorang lelaki. Tidak lama kemudian, kami langsung ngacir pergi dari bandara untuk menuju restoran terdekat. Driver itu sempat berkata: “Mas seharusnya kontak kami dari awal. Banyak kejadian seperti mas yang dibiarkan stranded di bandara. Tidak jarang yang harus dipulangkan,” ujar driver itu yang saya jawab dengan keheningan.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement