Sabtu 03 Oct 2020 06:03 WIB
Cerita di Balik Berita

Jadi Wartawan Republika: Diciduk Intel di Ledakan JW Marriot

Pertama kali ditugaskan liputan ke Kepulauan Seribu, dompet saya dicopet.

Abdullah Sammy, Jurnalis Republika.

Kembali soal kisah awal meliput di singkat cerita masa mentoring pun berakhir. Saatnya  liputan sesungguhnya. Saya dapat pos di Polda Metro Jaya. Tempat yang konon katanya angker bagi wartawan baru.

Ternyata liputan di Polda tak seseram yang dikira. Justru lebih banyak lucunya. Terutama saat gelar barang bukti CD porno.

Hari pertama mau meliput ke Polda, saya mendapat telepon langsung dari Newsroom. Ada nama the legendary Maman Sudiaman yang memanggil. Singkat kata Kang Maman langsung kasih perentah. "Sem, elu langsung meluncur ke Marriott ya, barusan ada bom," ujar Kang Maman.

Sambil 'mengucek-ngucek' mata, saya berpikir, "ini serius enggak ya?" Selepas itu saya nyalakan televisi. Ternyata baru mulai breaking news berita ledakan. Karena rumah saya dekat dengan TKP, saya pun disuruh segera meluncur.

Sesampainya di TKP, kondisi benar-benar chaos. Beberapa tubuh masih berdarah-darah. Saat mengarah ke Ritz Carlton, kondisi malah lebih mengerikan.

Di depan mata kepala sendiri, saya menemukan kondisi yang benar-benar membuat ketakutan. Melihat tubuh yang tak lagi utuh. Saya ingat sempat menjumpai Presdir Holcim Indonesia yang kondisinya kritis sebelum akhirnya meninggal dunia. Saya sempat mengabadikan fotonya yang membuat beberapa orang kantor terkaget-kaget.

photo
Bom di Hotel JW Marriot dan Hotel The Ritz Carlton - (rumgapres)

Saya pun lalu lalang di TKP dengan kebingungan karena kondisi yang serba panik saat itu. Tapi karena celingak-celinguk dan muka yang potongan 'teroris', saya sempat digaruk oleh seorang intel. Saya diajak ngopi di trotoar. Dengan potongan cepak ABRI, pria itu bertanya identitas saya. Saya akhirnya jelaskan asal usul kepada si pria.

Kini giliran saya yang tanya beliau soal asal dari mana. Dengan enteng dia jawab, "Saya dari intel, Dek," ujar si cepak dengan nada suara berat. "Intel kok ngaku?" pikir saya dalam hati.

Lepas dari Ritz, saya disuruh geser ke RS Polri. Tidak tanggung-tanggung saya diperentah nginap di depan kamar mayat untuk meliput proses identifikasi korban atau pelaku teror. Selama lima hari dari pagi sampai malam saya tetap bertahan di RS itu hingga akhirnya Kang Maman beri perintah untuk geser ke Polda.

Selama proses liputan teroris itu, tulisan saya hanya dimuat secuil. Itu pun sudah dibongkar paksa struktur kalimatnya. Poinnya sepanjang awal liputan itu nyaris tak pernah ada tulisan saya yang  secara full bisa masuk koran. Tapi yang membanggakan dari liputan itu adalah keberhasilan sejak awal  menulis sosok Ibrahim sebagai otak pelaku bom. Dugaan bahwa Ibrahim belum tewas berhasil kami identifikasi.

Kami pun berhasil menemukan kontrakannya di belakang kawasan Mega Kuningan. Cara menemukannya sederhana yakni dengan  bertanya ke warga sekitar mengenai kostan atau kontrakan yang biasa ditempati karyawan Ritz Carlton.

Walhasil, di masa awal saya sebagai wartawan, ada beragam cerita bisa ditulis. Tulisan ini baru awal. Masih ada kisah lanjutannya.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement