Sabtu 03 Oct 2020 06:03 WIB
Cerita di Balik Berita

Jadi Wartawan Republika: Diciduk Intel di Ledakan JW Marriot

Pertama kali ditugaskan liputan ke Kepulauan Seribu, dompet saya dicopet.

Abdullah Sammy, Jurnalis Republika.

Tapi nyatanya dunia wartawan seperti narkoba. Sekali coba bisa ketagihan. Jadi mending yang mau coba-coba jadi wartawan lebih baik jangan daripada ketagihan 'miskinnya'. Sekali masuk jadi wartawan sulit untuk keluar. Walau susah kaya dan segan miskin, menjadi wartawan tetap membawa kebanggaan.

Mana ada pekerjaan dengan gaji kecil tapi bisa sesombong wartawan? Rasanya tak ada lagi pekerjaan yang bisa membuat kita bertransformasi tiap hari.

Sehari kita bisa semeja dengan menteri atau pengusaha superkaya di Indonesia. Tapi keesokan hari kita bisa bertatap muka dengan orang termiskin bin melarat.

Itulah yang kira-kira saya alami dan membuat saya mulai ketagihan dengan dunia wartawan yang awalnya saya benci. Namun menjadi wartawan dengan skill menulis pas-pasan memang tak pernah mudah.

Jujur, di antara wartawan seangkatan saya dengan kemampuan menulis yang terburuk. Tulisan saya menjadi sasaran olok-olok satu kantor. Pernah dalam satu momen, saya datang ke Gedung Republika untuk ditertawakan karena tulisan saya yang hancur-hancuran.

"Tulisan kamu jelek banget. Gak layak dimuat." Begitu kata-kata dari salah satu redaktur yang membuat saya malu. Tapi kata-kata itu sekaligus membangkitkan semangat di diri saya.

Sekalipun penuh tantangan, kepuasan menjadi wartawan Republika saya sudah rasakan sejak hari pertama meliput untuk Harian Republika. Saat itu kira-kira Juli 2009, saya menghadap untuk menjumpai mentor yang tak lain adalah Abang Selamat Ginting.

Jadi saat pertama kali menghadap Bang Ginting, dia langsung kasih penugasan seperti ini. "Kamu tolong liput kegiatan masyarakat di Untung Jawa ya!" perintah dia.

Saya bertanya-tanya di belahan dunia mana itu Untung Jawa. Bang Ginting tak memberi jawaban. Hanya meminta saya untuk segera berangkat saat itu juga.

Saya pun membuka komputer kantor untuk mencari tahu dari jejaring maya di Planet mana itu wilayah Untung Jawa. Alhamdulillah, ternyata masih di Planet Bumi bukan di Bekasi. Letaknya di perairan Kepulauan Seribu. Setelah mendapat informasi soal cara menjangkau kapal yang paling dekat ke sana, saya meluncur dengan Suzuki Smash butut. Segera jalur Buncit-Muara Angke saya lahap.

photo
Kapal penumpang berangkat menuju tempat wisata Kepulauan Seribu di Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta, Sabtu (4/7/2020). - (Antara/Rivan Awal Lingga)

Dasar wartawan baru, sesampai Muara Angke saya malah celingak-celinguk kebingungan. Lepas menitip motor di pos polisi, saya tanya ke kanan kiri tentang di mana kapal menuju Untung Jawa. Ternyata ada orang baik yang mengantar saya hingga ke atas kapal. Saking baiknya itu bapak, sampai-sampai dompet saya pun diantarkannya, tapi diantarkannya bukan ke atas kapal yang sama. Melainkan masuk ke dalam sakunya. Amsiong, pikir saya.

Duit yang pas-pasan masih juga ditilep sama itu copet. Di atas kapal saya berpikir keras. Sebab ini bukan lagi menjadi liputan perdana melainkan jadi gembel untuk pertama kalinya. Duit hanya ada lima puluh ribuan. Itu pun hanya cukup untuk menyebrang satu kali ke Untung Jawa. Pulangnya sepertinya harus berenang karena duit sudah melayang.

Akhirnya dengan penuh harap, aku teleponlah Abang Ginting dengan harapan mendapat belas kasihan. Tapi Bang Ginting tidak mau tahu. Aku disuruh tetap berangkat ke Untung Jawa walau pulangnya tinggal kolor.

Ternyata sesampai di sana saya bukan menjadi gembel tapi malah jadi raja. Saya disambut langsung oleh sang lurah Untung Jawa. Ternyata si lurah adalah adik kelas bang Ginting di SMA.

Saya langsung disuguhi berbagai hidangan laut yang lezat. Saya pun akhirnya meliput dengan lancar jaya. Beberapa warga saya wawancara dan saling bertukar nomor.

Pulang pun saya diantar naik kapal pemerintah bareng si lurah. Akhirnya saya pulang dengan sebuah laporan yang dengan bangga bisa diserahkan pada Bang Ginting.

Sampai di meja Bang Ginting, saya langsung dapat penugasan kedua. Kali ini perintahnya ke Bogor menyusuri jalur kereta. 

Saya pun balik kanan menuju jalur kereta hingga sampai ke Bogor. Selesai ke Bogor, esok harinya di pagi buta saya disuruh merapat ke Pasar Induk Kramat Jati. Penugasan di masa mentoring yang seakan tanpa henti. Singkat cerita masa mentoring dengan Bang Ginting mengajarkan saya tentang militansi dalam liputan.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement