Rabu 30 Sep 2020 12:11 WIB
Cerita di Balik Berita

Dituduh Wartawan PKI Oknum TNI karena Bongkar Kasus Korupsi

Saya juga ditantang duel kabag humas dan diteror wartawan bodrek.

Buku Cerita di Balik Berita (99 Kisah Wartawan Republika)
Foto: Republika
Buku Cerita di Balik Berita (99 Kisah Wartawan Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarwoto, Mantan Jurnalis Republika

Pada pertengahan 1997, semasa zaman Orde Baru (Orba), pada suatu malam saya mendapat telepon dari seseorang yang tak lain adalah Kakansospol Pemda Tulungagung. Kakansospol itu dari anggota TNI yang masih aktif berpangkat letnan kolonel (Letkol).

Ia marah-marah. Ia tidak terima berita yang saya tulis. Berita yang saya tulis adalah kasus "bancakan tanah pengairan" yang dilakukan pejabat setempat, yang di dalamnya saya sebut rinci nama-nama oknum yang terlibat, di antaranya Kakansospol itu.

"Kamu ini wartawan PKI. Jangan berkedok membela rakyat, lalu kamu memusuhi pejabat. Apalagi, melawan anggota TNI seperti saya ini. Gara-gara tulisanmu, kamu tahu, rumah yang sudah saya bangun tingkat dua harus dihentikan. Kamu ini benar-benar telah menyengsarakan anggota TNI. Jadi, kamu pantas di-glangsing (ditembak mati--Red)," ancam Kakansospol, lalu memutus sambungan teleponnya.

Malam saya dituduh PKI dan diancam akan ditembak oleh Kakansospol, paginya saat liputan di Pendopo Kabupaten Tulungagung, saya ditantang duel oleh Kabag Humas. Tanpa ba-bi-bu, baju saya ditarik. lnsiden ini sempat dilihat banyak pejabat dan wartawan karena saat itu kebetulan ada acara pemerintahan di Pendopo Kabupaten Tulungagung.

Tak hanya itu, Kabag Humas yang berbadan tinggi besar itu menyeret tubuh saya yang kecil ini sampai ke halaman pendopo dengan penuh emosi dan matanya melotot menakutkan. ”Jangan macam-macam dengan saya. Cara halus saya bisa, cara preman pun saya bisa," gertaknya. Beruntung saya tak terpancing emosi, saya tak meladeni kemarahannya, dan akhirnya beberapa pejabat segera melerainya.

Setelah diancam Kakansospol dan ditantang duel oleh Kabag Humas, sore harinya gantian oknum wartawan bodrek meneror melalui telepon. "Rumahmu apa belum pernah digerujuk bensin sama orang? Apa mau rumahmu dibakar orang sekarang? Masak ada orang dapat rezeki kok digagalkan," kata seorang "wartawan bodrek" yang mendapat jatah tanah pengairan yang jadi bancakan pejabat itu.

Mendapat teror terus-terusan dari berbagai pihak itu, membuat saya ciut nyali juga. Takut dan stres. Jangan-jangan mereka itu benar-benar akan mewujudkan ancamannya dengan menyewa orang Iain, seperti kasus Udin, wartawan yang mati dibunuh itu. Apalagi dalam membongkar kasus itu, terdapat dua sekwilda (Tulungagung dan Trenggalek), Iima camat, kepala pengairan, kepala BPN, dan sejumlah oknum wartawan.

Baca Juga: Mengais Berkas Kematian Wartawan Udin Bernas di Tong Sampah).

Alhamdulillah, selama belasan tahun menjadi wartawan Republika, saya masih selamat. Dan, kini ada perasaan bangga jika mengenangnya. Bangga karena saya bisa mengembalikan tanah pengairan itu kembali menjadi hak petani-petani miskin yang sudah turun menurun menggarapnya dari aksi "bancakan" yang dilakukan para oknum pejabat. Kisah inilah yang membuat saya bangga menjadi seorang wartawan. Ya, wartawan Republika.

*Disarikan dari buku Cerita di Balik Berita, 99 Kisah Wartawan Republika

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement