Ahad 05 Jul 2020 13:37 WIB

FSGI: Zonasi Berdasarkan RW akan Memunculkan Masalah Baru

FSGI berpandangan tidak semua RW memiliki sekolah negeri.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas melayani warga yang melaporkan anaknya usai lolos dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2020/2021 melalui jalur zonasi di Posko Pelayanan PPDB Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa (30/6/2020). Pemprov DKI Jakarta menetapkan tahap pelaporan diri siswa yang lolos seleksi PPDB zona zonasi berakhir pada Selasa siang dan dilanjutkan PPDB tahap akhir apabila terdapat sisa kuota di sekolah dengan hanya diperuntukkan bagi calon siswa beridentitias diri asal Jakarta.
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Petugas melayani warga yang melaporkan anaknya usai lolos dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2020/2021 melalui jalur zonasi di Posko Pelayanan PPDB Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa (30/6/2020). Pemprov DKI Jakarta menetapkan tahap pelaporan diri siswa yang lolos seleksi PPDB zona zonasi berakhir pada Selasa siang dan dilanjutkan PPDB tahap akhir apabila terdapat sisa kuota di sekolah dengan hanya diperuntukkan bagi calon siswa beridentitias diri asal Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim menilai sistem zonasi berdasarkan RW akan memunculkan masalah baru. Hal ini menanggapi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Sebelumnya, PPDB DKI Jakarta menuai kontroversi karena memasukkan indikator usia dalam seleksi SMP dan SMA negeri. Untuk memuat calon peserta didik yang belum tertampung, Pemprov DKI Jakarta menambah kuota dengan zonasi berdasarkan RW.

Baca Juga

"Ketika basis pendaftarannya adalah zonasi berdasarkan RW, bukan kelurahan, maka ini justru akan menjadi masalah baru. Sebab, tak semua RW memiliki sekolah negeri, khususnya SMP dan SMA. Kecuali taman bermain, memang banyak," kata Satriwan, Ahad (5/7).

Ia mengapresiasi penambahan kuota siswa per kelas empat orang yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Hal ini diharapkan bisa menjadi solusi jangka pendek untuk calon peserta didik yang tertolak karena usia. Namun, basis pendaftarannya harus dipikirkan kembali.

Pemprov DKI, kata dia juga mesti mendata berapa jumlah calon siswa yang tertolak gara-gara faktor usia, padahal masih satu zona kelurahan. Pemetaan dan pendataan ulang menurutnya menjadi sangat penting agar bisa dibandingkan dengan ketersediaan rombongan belajar (rombel) setelah penambahan kuota empat per kelas. "Itu apakah bisa meng-cover, atau tidak?" kata dia lagi.

Lebih lanjut, ia juga mengusulkan agar DKI menambahkan jumlah kelas di satu sekolah atau membangun sekolah negeri baru khususnya SMA dan SMK.

"Dalam lima tahun terakhir, DKI memang tidak membangun SMA negeri yang baru," kata dia lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement