Jumat 03 Jul 2020 21:26 WIB

Surat Terbuka untuk Dinas Pendidikan Pemprov DKI

DKI diharapkan mengubah kebijakan jalur zonasi bina RW menjadi bina kelurahan

Sejumlah orang tua murid berunjuk rasa di depan kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin (29/6/2020). Unjuk rasa yang diikuti ratusan orang tua murid tersebut menuntut penghapusan syarat usia dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta.
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Sejumlah orang tua murid berunjuk rasa di depan kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin (29/6/2020). Unjuk rasa yang diikuti ratusan orang tua murid tersebut menuntut penghapusan syarat usia dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Niken R.H. Anas Lutfi

Mohon agar Dinas Pendidikan Pemeritah Provisi DKI Jakarta berkenan segera mengubah kebijakan jalur zonasi bina RW menjadi bina kelurahan selagi masih ada waktu sebelum dimulainya tahun ajaran baru. Belum tentu ada SMP atau SMA di setiap RW. Sebagai contoh di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Hanya ada SMP 77 dan SMA 77, yang kebetulan letaknya berdampingan, di kelurahan Cempaka Putih Timur. Namun hanya beberapa siswa saja peserta PPDB SMP dan SMA yang berdomisili di RW yang sama dengan sekolah tersebut.

Sementara ada sejumlah siswa yang tinggal hanya sekitar 100 atau 200 meter dari sekolah itu tetapi secara administratif berbeda RW. Mereka sangat dirugikan kalau tidak diberi kesempatan yang sama. Sementara ini ketentuan zonasi di DKI Jakarta adalah berdasarkan jarak dari sekolah ke kelurahan setempat.

Semestinya untuk kuota tambahan ini juga berbasis kelurahan, bukan RW. Sekadar informasi, sejauh ini hanya ada sedikit sekali siswa SMP 77 yang berhasil masuk SMA 77 melalui jalur afirmasi, prestasi non akademik, dan zonasi. Totalnya baru ada 23 siswa yang sudah diterima di sejumlah sekolah di wilayah zonasi yang bersangkutan. Tetapi tidak ada satu pun siswa SMP 77 yang bisa lolos masuk SMA 77 melalui jalur prestasi akademik. Padahal ada sekitar 216 siswa lulusan SMP 77 yang mayoritas ingin mendaftar ke SMA 77 karena lokasi rumahnya dekat dengan sekolah itu.

Saat ini banyak orang tua dari kelompok menengah yang menjerit. Penghasilan mereka jauh berkurang semenjak pandemi covid-19. Bantuan sosial dari pihak manapun tidak mungkin mereka dapatkan karena memang tidak memenuhi kriteria miskin walaupun sebetulnya sangat terdampak. Di kala harus melakukan penghematan, mereka terpaksa mesti mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mendaftarkan anaknya di sekolah swasta berhubung terdepak dari sekolah negeri akibat umurnya kalah tua. Biaya sekolah per bulan pun relatif besar. Belum lagi ongkos transportasinya bila sekolah swasa yang bisa dijangkau ternyata jauh dari rumah. Pasti anak-anak mereka pun tidak bakal mendapatkan fasilitas Kartu Jakarta Pintar (KJP) karena bukan termasuk warga kurang mampu. Kasihan sekali nasib kalangan menengah ini. Mereka dianggap cukup mampu sehingga tidak berhak memperoleh bantuan, padahal kondisi ekonominya juga amat terpuruk.

Betapa kecewanya anak-anak yang sudah berkorban waktu dan belajar keras demi bisa melanjutkan pendidikan di sekolah yang teramat dekat dengan rumahnya namun pupus harapannya akibat kebijakan untuk memprioritaskan usia dalam PPDB yang diputuskan secara mendadak, bukan dari awal tahun ajaran lalu. Andai para pejabat berwenang mau membayangkan sejenak. Bagaimana kira-kira perasaan anak-anak kandungnya kalau dalam suatu kompetisi, tiba-tiba mereka diputuskan kalah walaupun sebenarnya hasilnya yang terbaik karena panitia lebih memilih anak-anak yang tidak mampu sebagai pemenang padahal sebelum lomba berlangsung tidak diumumkan lebih dulu adanya kriteria tersebut.

Keadilan itu untuk semua, bukan untuk masyarakat bawah saja atau mereka yang berada di kuadran empat. Apakah komposisi 25 % afirmasi, 40 % zonasi, dan 20 % prestasi akademik itu adil? Jalur afirmasi dan zonasi itu secara umum merujuk pada segmen yang sama. Di kalangan tidak mampu, umumnya anak-anak bersekolah pada usia yang lebih tua. Sementara di antara anak-anak yang berusia lebih tua, cukup banyak di antaranya yang berasal dari golongan ekomomi bawah. Kasarannya, total kuota untuk masyarakat kurang mampu itu berkisar 65 % sedang bagi yang berprestasi hanya 20 %. Anak-anak cerdas merasakan hal ini sebagai ketidakadilan. Saya amat prihatin melihat kondisi siswa-siswa yang kehilangan motivasi dan terpukul psikisnya atas sia-sianya perjuangan mereka selama ini. Tidak ada kata terlambat untuk mengubah kebijakan demi sesuatu yang lebih baik. Terima kasih banyak sekiranya para pejabat terkait berkenan mempertimbangkan serta segera mengimplementasikan masukan di atas.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement