Kamis 18 Jun 2020 05:11 WIB

Mimpi Seorang Istri (Bagian Kedua-Habis)

Yah, perempuan itu, pinta sang istri.

suami dan istri (ilustrasi)
Foto:

Esoknya, pagi-pagi Nugroho telpon Lolita, mengabarkan bahwa mungkin sampai siang dia tidak akan ke kantor karena ada urusan. Indriyani berpakaian sederhana, berkerudung dengan make up yang tipis, tidak pakai perhiasan. Nugroho membukakan pintu mobil untuk istrinya, Indriyani senyum manis sekali sambil duduk di kursi depan.

Mobil melaju anggun di tengah kota Bandung yang padat, seperti biasa kemudian mobil di parkir di halaman masjid besar, mereka kemudian berjalan menyusuri gang kecil yang padat itu. Sepanjang perjalanan mereka menyusuri gang sempit itu tak henti-hentinya pikiran Nugroho berkecamuk bertanya-tanya apa yang akan terjadi nanti, apakah istrinya akan mengamuk dan memarahi Arianah?

Mungkin saja, mungkin saja istrinya pandai menyembunyikan sikap dan meredam amarah untuk sementara dan meledakkannya di saat yang tepat. Nugroho tidak tahu dan tidak bisa menduga. Kejadian ini adalah pertama kali dalam kehidupan rumah tangga mereka, meskipun 20 tahun kebelakang Nugroho mengenal istrinya, tetapi kejadian ini adalah sesuatu yang benar-benar pertama kali.

Pikirannya jadi kelu, hatinya dingin, dinginnya menjalar ke seluruh tubuh, penuh ketegangan. Semakin mereka dekat menuju warung kecil itu semakin dingin tubuh Nugroho.

“Assalamu’alaikum.. “ Nugroho menyampaikan uluk salam setiba mereka di warung itu.

“Wa’alaikum salam..” sahutan perempuan dari dalam.

Arianah keluar, pakaiannya sederhana, kerudungnya sederhana jika tidak ingin dibilang jelek, dia tidak berdandan dulu karena tidak menduga Nugroho akan datang, samar tercium aroma minyak goreng dari tubuhnya, dia mungkin sedang bikin gorengan untuk jualan. Sejenak Arianah terpaku menatap perempuan yang datang bersama Nugroho.

Pandangannya dia arahkan ke Nugroho, sorot matanya bertanya siapa wanita ini. “Yanah, kenalkan ini istriku."

Indriyani menatap Arianah, kemudian mereka bertatapan, Arianah masih terkaget-kaget, kelihatan sekali dia bingung terhadap situasi yang ada.

Sedetik kemudian Indriyani tersenyum, senyum yang mampu melelehkan ketegangan tulang belulang dan otot Nugroho.

Indriyani senyum kemudian menghampiri Arianah, mereka bersalaman dua tangan yang saling berdekatan, dekat sekali. Selanjutnya tiba-tiba Indriyani memeluk Arianah, erat sekali, lama dan akhirnya mereka berdua saling terisak.

Nugroho terhempas duduk di kursi panjang di warung itu, tubuhnya lemas selemas-lemasnya, semua ketegangan berlalu. Mereka berdua saling melepaskan pelukan.

“Sebentar saya buatkan minum..” Arianah membalik tubuhnya dan siap berjalan ke dalam rumah.

Indriyani menahan lengan Arianah. “Tidak usah repot-repot, Mbak,” Indriyani berkata.

Mereka duduk bertiga di sana, Indriyani di bangku panjang bersama suaminya, Yanah di bangku panjang seberang mereka. Ketiganya menunduk, visualisasi itu menjadi lucu, pada situasi berkecamuknya hati masing-masing tetapi tak satupun yang berbicara.

“Istriku meminta aku mengenalkanmu Yanah," kata Nugroho memecah keheningan.

“Yanah temanku sekolah dulu." Nugroho melanjutkan lagi dan kemudian sunyi lagi.

“Maafkan saya Mbak, keadaan saya seperti ini, saya malu menerima tamu seperti kalian berdua," Arianah berkata setelah menemukan kepercayaan dirinya. Dia tak pernah bermimpi terlalu jauh, hari demi hari yang dia lalui dengan selamat sudah merupakan rasa syukur tersendiri.

“Sudahlah Mbak, tidak apa-apa,” Indriyani menimpali.

"Mbak Yanah, sebulan lalu saya bermimpi suami saya menikah lagi dengan seorang wanita yang saya tidak kenal, tapi sekarang saya mengenal wanita itu,” Indriyani berkata, lainnya terdiam dan tertunduk.

“Mbak Yanah sekarang saya ikhlas dan ridho jika suami saya menikahi Mbak Yanah. Perkawinan kami penuh kebahagiaan dan sekarang saya ingin membagi kebahagiaan saya dengan Mbak Yanah, semoga itu menjadi amal baik bagi saya,” Indriyani berkata lirih, ada ketulusan dalam bicaranya.

Arianah menangis, terisak-isak hingga bahunya terguncang hebat, Indriyani beranjak menghampiri, diraihnya tangan Arianah agar berdiri, dan mereka berpelukan. Arianah menangis hingga seperti anak perempuan kecil terisak-isak.

Nugroho menatap langit, air matanya tak kering-kering meski berulang kali diseka. Dia menatap langit, biru jauh di balik awan-awan yang berarak. Langit diam, tetapi Dia mencatat doa-doa yang dipanjatkan hamba-Nya yang punya niat baik dan tulus, dan mengabulkannya sesuai Kehendak-Nya.

-- Cianjur, Mei 2020. Berdasar kejadian nyata yang difiksinisasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement