Rabu 25 Jan 2023 22:44 WIB

Monster Lembah Jamur

Ia dipanggil raksasa bahkan ada yang memanggilnya monster.

Monster Lembah Jamur (Ilustrasi cerpen)
Foto: Republika
Monster Lembah Jamur (Ilustrasi cerpen)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Didik Wahyudi*

Ketika kecil, tubuhnya itu adalah gangguan. Ia terus diejek oleh teman-temannya. Ia dipanggil raksasa. Ada juga Si Encus yang menyebutnya monster.

"Monster gila!"

Encus melorot celananya, memamerkan bokongnya yang gelap dan berbisul-bisul. Marseso membenci semua itu, tetapi tidak berani berbuat apa-apa. Jika ia membalas mengatai mereka, apalagi sampai menendang bokong Encus, semua orang akan benar-benar menganggapnya sebagai monster gila.

Ukuran tubuh Marseso memang beda. Anak itu dua kali lebih besar dari rata-rata anak pada umumnya. Marseso dapat melakukan banyak hal yang tidak mampu dikerjakan oleh anak-anak seusianya. Dia jauh lebih kuat ketimbang mereka.

Alih-alih mendapatkan simpati karena keistimewaannya itu dia justru dikata-katai dan dianggap tidak normal. Bahkan, ada pula desas-desus mengatakan Marseso bukan anak bapaknya --yang meninggal saat Marseso baru berusia empat bulan dalam kandungan ibunya-- melainkan anak Dalbo, makhluk halus yang bertubuh tinggi-besar. Jadinya, dia pun memilih diam dan menyendiri.

Dia tidak bermain bersama anak-anak sebayanya. Tidak juga dengan orang-orang dewasa. Marseso berkawan dengan sungai dan ikan-ikan. Dia bersahabat dengan sawah dan belalang.

"Wahai makhluk Tuhan yang budiman. Apakah kalian membenciku?"

"Tidaaaak! Kami menyayangimu!" Jawab sungai dan ikan-ikan.

"Apakah kalian menganggap aku sebagai monster yang mengerikan?"

"Tidak, engkau bukan monster yang mengerikan!" Jawab sawah dan belalang.

Marseso pernah bertanya kepada ibunya mengapa Tuhan memberinya tubuh seperti dalbo. Kata ibunya, karena Tuhan ingin Marseso melindungi teman-temannya.

"Mereka belum mengerti, Mar. Nanti pada waktunya semua orang akan sadar pada kelebihan yang diberikan Gusti Allah kepadamu."

Marseso merenungkan kata-kata ibunya itu. Mungkin ada benarnya juga. Sebab ada banyak hal yang Marseso ketahui butuh waktu untuk berubah menjadi indah.

Kembang-kembang bakung butuh waktu untuk mekar. Dan ulat-ulat yang menjijikkan pun pada waktunya akan berubah menjadi kupu-kupu yang indah.

"Leni menyukai kupu-kupu."

Marseso meloloskan senyum yang mencuat dari lubuk hatinya. Leni anak Pak Jaiz, imam mushola dan guru mengaji Marseso. Gadis itu tidak satu sekolah dengan Marseso. Sekolah Leni adalah sekolah madarasah yang lebih banyak pendidikan agamanya.

Suatu kali sekolah Marseso ikut dalam Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) di kecamatan. Marseso yang masuk regu voli ditolak oleh panitia karena dicurigai mencuri umur.

"Inti olahraga adalah sportivitas. Tidak boleh curang."

Panita tidak mau menggubris penjelasan sekolah Marseso. Akhirnya, karena setiap siswa kelas lima wajib mengikuti lomba, Marseso pun diikutkan lomba baca puisi.  

Marseso menggigil saat namanya dipanggil. Dadanya berdebar keras. Perutnya mules. Lututnya terasa lemas. Ratusan pasang mata kini memperhatikan panggung.

"Monster!"

"Monster!"

"Monster!"

Kata-kata ejekan yang biasa ia dengar dari teman-temannya itu mendadak terus bergema di kepalanya sendiri. Marseso ingin menangis.

"Tuhan, Kita Begitu Dekat. Karya Hadi WM... Eh... Abdul Hadi WM."

Hadirin tertawa. Teman-temannya menjadikan insiden itu bahan ejekan sepanjang hari.

Pulang sekolah, Marseso memilih jalan lain, yang lebih jauh demi menghindari ejekan teman-temannya.

"Tuhan, Kita Begitu Dekat! Abdul Hadi WM!"

Marseso mengulang-ulang dalam hati. Dia masih merasa malu karena kesalahan tadi.

"Tuhan, Kita Begitu Dekat! Tuhan, Kita Begitu Dekat!"  

Marseso berteriak dan menendang daun-daun pohon paku.

"Abdul Hadi WM! Abdul Hadi WM! Tuhan, Kita Begitu Dekaaaaat!"

"Ssstttt! Ssstttt! Sssttt!"

Suara seorang gadis mengagetkan Marseso. Sahabat para ikan itu terdiam. Bulu kuduknya meremang. Ia mundur sejengkal.

"Apakah itu hantu penunggu tempat ini?" Marseso bertanya pada dirinya sendiri.

"Ssst!"

Leni melongokkan kepala dari balik pohon kepuh raksasa, tepat saat Marseso akan kabur. Dengan langkah ragu-ragu, Marseso mendekat.

Leni mungkin satu-satunya anak di desa yang tidak mengejek Marseso. Tetapi, biar begitu, Marseso tetap segan berteman dengan Leni. Pertama, karena Leni tidak satu sekolah dengannya. Dan, kedua, Leni anak Pak Jaiz, guru mengajinya.

Leni ternyata sedang menggambar sepasang kupu-kupu. Dua binatang bersayap indah itu sedang bermain di sekitar bunga matahari di dekat mereka. Marseso hanya mengamati, tanpa kata-kata. Ia tak ingin ucapannya mengganggu Leni atau membuat sepasang kupu-kupu itu merasa terusik dan pergi.

"Mereka makhluk Tuhan yang indah, kan?"

Leni terus menggoreskan garis-garis pada kertas gambarnya. Marseso terpukau pada kemampuan Leni. Kepala, sayap, dan bunga matahari itu seakan amat mudah dibentuk. "Luar biasa." Marseso memuji dalam hati.

Dan, makin lama, bocah itu makin tenggelam dalam pertunjukan Leni, hingga lupa pada kegundahan yang semula dirasakannya.

"Terima kasih kamu sudah berbuat baik," kata Leni setelah sepasang kupu-kupu itu pergi. "Suatu saat Tuhan akan membalas kebaikanmu ini. Percayalah."

"Apa kau mengenal mereka?"

Marseso memetik bunga terompet.

"Iya, aku mengenal semua binatang dan tumbuhan sepanjang jalan ini. Aku menyukai mereka, terutama bunga matahari dan kupu-kupu."

"Kau bisa berbicara dengan mereka?"

"Setahuku, manusia yang bisa bercakap-cakap dengan binatang adalah Nabi Sulaiman. Aku berbicara pada mereka dengan perasaanku saja."

Mereka menyusuri jalan menurun yang dinamakan "Lembah Jamur". Pada musim penghujan Marseso sering ke sana untuk memetik jamur.

"Marseso, apa yang biasa kamu lakukan di sungai?" Tanya Leni.

"Aku bermain dengan anak-anak ikan."

"Aku ingin menggambar anak-anak ikan. Tetapi bapak pasti melarang aku main ke sungai."

Marseso ingin memberikan bunga terompet kepada Leni tetapi tidak jadi. Mereka melewati deretan pohon-pohon bambu. Angin mengayun-ayunkan batang dan daun-daunnya, membuat bunyi gemerisik yang khas.

"Marseso, sekali lagi terima kasih kamu sudah bersikap baik, " kata Leni.

Tujuh tahun kemudian, saat menggiring bebek-bebeknya pulang, Marseso terkenang kembali peristiwa sepanjang hari itu. "Semua sudah berlalu."

Marseso berbisik dalam hati. Ya, semua kepahitannya dahulu memang sudah berlalu.

Tiga tahun berturut-turut membawa tim tarik tambang desanya meraih trofi bergilir Dandim, cukup memberinya tempat khusus di hati orang-orang desanya. Dan, lima hari lalu, Marseso dan timnya mampu sekali lagi membawa pulang trofi itu untuk keempat kalinya.

***

Kunjungan itu begitu mendadak. Tak ada yang menduga bahwa desa mereka akan kedatangan pejabat. Komandan Kodim dan beberapa anak buahnya menyambangi gubuk Marseso.

Para pemimpin desa, dari RT sampai lurah, buru-buru mendekat. Mereka tak mau kehilangan peristiwa penting itu dan segera menuju gubuk Marseso. Pak Lurah menyampaikan sambutan tidak resmi, dan di akhir pertemuan, Komandan Kodim memberikan pidato singkat yang mengagetkan.

"Selama empat tahun terakhir ini," kata Komandan Kodim, "para remaja di desa ini telah mencapai prestasi tim yang membanggakan. Kami telah memperhatikan bibit-bibit berkualitas di sini. Bibit-bibit yang apabila dibina dengan baik akan bermanfaat untuk bangsa dan negara. Pada kesempatan ini, saya ingin mengundang semua orang dalam tim tarik tambang desa ini untuk menjadi bagian dari keluarga besar TNI Angkatan Darat. Untuk itu, kami telah siapkan agar semuanya bisa mengikuti pendidikan Bintara TNI Angkatan Darat. Semoga Allah memberkati."

Bebek-bebek di kandang mendadak ribut, seolah bersorak gembira menyambut pidato itu. Gemuruh takbir bersahut-sahutan dengan riuh sorak dan tepuk tangan warga yang ikut menyaksikan pidato Komandan Kodim itu.

Ibu Marseso, yang berdiri di samping Marseso, tak henti-henti mengusap airmatanya. Untuk sesaat, wanita itu bisa melupakan penyakit sesak nafasnya. Penyakit itu kian parah sejak Marseso mengatakan keinginannya untuk melamar Leni tiga bulan lalu.

*) Penulis bernama Didik Wahyudi lahir di Surabaya, Jawa Timur. Karya-karyanya dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Buku puisinya berjudul "Pelajaran Bertahan" (2019). Ia aktif di komunitas "Keluarga Padusan". Saat ini ia tinggal di Surabaya dan dapat dihubungi melalui surel [email protected] atau Instagram https://instagram.com/okwedangkopi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement