Sabtu 18 Apr 2020 14:38 WIB
Serial Suara Batin di Era Virus Corona

Robohnya Kampung Kami

Ia guru kami. Tak mungkin kami kuburkan tanpa kami lihat wajahnya terakhir kali.

Pemakaman korban covid-19. (ilustrasi).
Foto:

Aku teringat lima tahun lalu. Budi dan Pak Ahmad sedang ke Jakarta. Mereka mampir ke rumahku.

Kutanya, “Menurut Pak Ahmad, berapa lama teman-teman di sana tahan hidup di wilayah pengungsian?”

Pak Ahmad mengutip kisah komunitas Amish (5) di Amerika Serikat. Komunitas ini bisa bertahan lebih dari 400 tahun. Padahal mereka hidup dengan filosofi dan gaya hidup yang sangat berbeda. Mereka menolak menggunakan listrik.

“Itulah daya tahan sebuah keyakinan. Mereka yang yakin, hati mereka ada di puncak gunung. Mereka bisa bertahan setua usia gunung sendiri," tegas pak Ahmad menyampaikan pandangan.

Kutanya kembali, “puluhan penduduk yang menyerang, membawa golok, batu, pentungan. Diiringi teriakan nama Tuhan dan girah agama, seberapa itu menakutkan? Bisakah ia membuat komunitas pak Ahmad akhirnya menyerah?”

“Itu risiko sebuah keyakinan minoritas.” Ujar pak Ahmad. Lalu ia mengutip novel Quo Vadis (6). “Di masa awal pertumbuhan agama Kristen, mereka justru lebih sulit.”

“Lihatlah narasi di novel itu. Banyak penganut kristen dicemplungkan ke gelanggang Colosseum. Mereka diadu dengan singa yang lapar. Mereka dimakan singa.”

“Belasan ribu penonton di stadium bukannya iba. Bukannya mereka menetes air mata. Mereka bertepuk tangan. Astaga!”

“Tapi lihatlah sekarang. Agama Kristen tumbuh menjadi agama terbesar.”

“Untuk alam keyakinan,” ujar pak Ahmad, “menang dan kalah itu tidaklah penting. Karena apa yang dulu seolah kalah ternyata menang. Apa yang dulu seolah menang sekarang kalah.”

“Seperti yang saya katakan tadi. Keyakinan sejati itu ada di puncak gunung. Riuh rendah di lereng gunung, hantaman badai di daratan tak akan mengganggu hati di puncak gunung. Ketinggiannya berbeda.” Tenang dan yakin Pak Ahmad tentang ini.

Budi, adikku menimpali. “Kak, kampung kami akan kokoh sejauh pak Ahmad bersama kami. Tapi jika pak Ahmad tiada, kampung kami roboh.”

“Jangan, jangan.” Cepat sekali pak Ahmad memotong. “Yang menopang kampung kita tak boleh seorang pribadi. Seluruh komunitas penopangnya. Pada waktunya seorang pemimpin akan mati. Harus lahir pemimpin baru.”

“Kampung tak boleh roboh!”

***

Dengan bantuan teman, aparat setempat, aku akhirnya berhasil menelepon Budi di sana. Kampungnya memang sedang diisolasi. Tanpa bantuan teman, berkomunikasi dengannya sulit. Entah mengapa ponsel Budi tak bisa dihubungi.

“Bud,” sapaku. “Aku ikut berduka atas wafat Pak Ahmad. Tapi mengapa pemakaman Pak Ahmad tak mengikuti protokol pemakaman korban covid-19? Kan itu berbahaya  buat semua. Juga berbahaya untuk Budi?” tanyaku.

Budi menjelaskan: “Kak, Pak Ahmad itu guru kami, pelindung kami, cahaya kami. Mustahil kami biarkan Ia dimakam sendirian bersama petugas.”

“Mustahil kami tak ikut memandikan dan mensucikan mayatnya. Mustahil kami tak cium tangannya terakhir kali. Jika gara-gara itu kami pun terpapar, mau apalagi? Tapi mustahil kami biarkan Pak Ahmad sendiri. Ditinggal.”

“Bagaimana nasib kampungmu kemudian? Kau pernah cerita jika tak ada Pak Ahmad, kampungmu akan roboh?”

“Aku dan teman teman belum berpikir soal itu, kak. Kami masih berduka. Sangat dalam. Matahari kami pergi.”

“Jikapun kampung ini akan roboh, robohlah. Robohlah kampung kami. Tapi keyakinan kami tak pernah roboh. Walau keyakinan kami selalu minoritas. Walau kami kembali terusir. Walau rumah ibadah kami kembali dibakar.”

“Keyakinan kami lebih penting dari kampung kami.”

Itulah percakapan terakhir dengan Budi.

Lama akan terdiam memahami hidup. Salahkah Budi? Naifkah Budi? Terlalu lugukah Ia? Susah aku menjawabnya.

Tapi yang pasti. Budi menjadi contoh kuatnya keyakinan. Kuatnya kesetiaan. Gelora itu hadir. Perkasa.

-- April 2020

Catatan

1). Catatan kaki dalam cerpen esai sangat utama. Ia berbeda dengan catatan kaki pada umumnya yang hanya menjadi penambah informasi. Pada cerpen esai, catatan kaki adalah pokok dari cerita. Ia asal muasal kisah. Sedangkan teks di atasnya hanyalah fiksi, dramatisasi agar kisah lebih menyentuh.

2). Kisah dalam cerpen ini sepenuhnya fiksi. Tapi ia berangkat dari kisah nyata di Kolaka, Sulawesi Tengah.  Plastik jenazah Covid-19 dibuka oleh keluarga. Jenazah itu dicium dan dipeluk oleh mereka yang duka.

https://www.google.co.id/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1323859/viral-keluarga-pdp-corona-buka-plastik-jenazah-begini-ceritanya

3). Ini hanya fiksi. Tapi kisah serupa terjadi dalam kisah nyata untuk kasus Ahmadiyah di NTB. Drama pengusiran Ahmadiyah itu dapat dibaca di

http://www.wahidinstitute.org/pdf-docs/GatraEdisi-V.pdf

4). Kuburlah Kami Hidup-Hidup diambil dari judul buku puisi esai karangan Anick HT (2014)

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/kuburlah-kami-hidup-hidup-menyoal-proses-bernegara-yang-belum-selesai

5). Komunitas Amish, satu sekte dalam agama Kristen, sudah hadir sejak abad ke 17. Komunitas itu bertahan hingga kini. Wilayahnya bahkan menjadi obyek parawisata.

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Amish

6. Quo Vadis, novel terkenal yang merekam drama pertumbuhan awal agama Kristen

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Quo_Vadis_(novel).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement